Pijakan Kemanusiaan Gus Dur

Pijakan Kemanusiaan Gus Dur

Apa yang membuat Gus Dur menjadi abadi?

Pijakan Kemanusiaan Gus Dur

Kemanusian adalah nilai lain yang mengikat seluruh tulisan Gus Dur di buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita. Prinsip ini sangat terang benderang hadir pada setiap pembelaannya kepada mereka yang dianggap tertindas. Pembelaannya dilakukan tanpa pandang bulu. Salah satunya adalah pembelaan terhadap komunitas Tionghoa seperti ditulis dalam “Umat Budha dan Kesadaran Berbangsa” (hal 137). Gus Dur menolak anggapan bahwa masyarakat Tionghoa sebagai “warga keturunan”. “Mereka adalah orang Tionghoa sebagaimana halnya orang Papua, Orang Aceh, Sunda dan sebagainya” (hal 137).

Kalaupun mereka memiliki ikatan dengan tanah leluhur, itu lebih banyak terkait dengan ikatan kultural historis. “Sama dengan orang Minahasa dan orang Minangkabau menggunakan nama-nama Barat seperti Frederick Woworuntu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan mereka Barat” kata Gus Dur (hal 137).

Gus Dur juga membela Ulil Abshar Abdalla saat diserang tokoh agama di kalangan Nahdlatul Ulama. Gus Dur hendak membela kebebasan berpikir yang sudah ditunjukan dalam lintasan sejarah Islam. Dia bela juga Inul Daratista.

Yang menarik, meski kritiknya sangat tajam, Gus Dur masih bisa objektif terhadap dua tokoh ini: Rizieq Shihab dan Abu Bakar Baasyir. Dalam “Kepala Sama Berbulu, Pendapat Berlain-lain” ia mengkritik cara aparat “mengambil” Abu Bakar Baasyir, tokoh yang diduga terlibat terorisme, yang dianggap Gus Dur salah prosedur dan tidak memenuhi ketentuan hukum (hal 329). Saat terjadi pro-kontra apakah Abu Bakar Baasyir terlibat terorisme atau sekadar korban konspirasi internasional, Gus Dur justru mengambil jalan tengah dengan mengusulkan membentuk sebuah komisi independen demi mengusut lebih tegas dan adil kasus ini (hal 326).

“Pembelaan” yang sama juga ditunjukkannya kepada Rizieq Shihab. Melihat kasus kasus penangkapanya pada 2002, Gus Dur justru “memuji” sikap pimpinan Front Pembela Islam itu yang dinilai sebagai orang yang “taat hukum”. Karena penangkapan dianggap tak sesuai prosedur sebagaimana ditetapkan undang-undang, Rizieq diketahui melakukan protes kepada aparat. Ketika aparat tak mendengarkan, melalui pengacaranya ia mengajukan gugatan ke pengadilan. Ini berarti, ia mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan demikian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh sementara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang ditetapkan oleh UUD 1945 (hal 328)

Sikap ini berbeda dengan Abu Bakar Baasyir. Pimpinan Pesantren Ngruki itu menolak memberikan keterangan hukum untuk kepentingan Pembuatan Berita Acara (BAP), dan itu artinya Baasyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. Sikap memandang manusia sebagai manusia juga ditunjukkannya saat merespon isu invasi Amerika dan sekutunya terhadap Irak.

Di buku ini Anda memang tak akan banyak menemukan konsep utuh dan mendalam dari pikiran-pikiran Gus Dur. Tulisan-tulisan di buku ini rata-rata singkat dan lebih banyak ditujukan untuk pembaca media cetak. Pijakan-pijakan teoritiknya juga terkesan mengulang-ulang. Begitulah ia sering mengutip perkataan sahabat Umar bin Khattab yang populer ini : la islama illa bi jama`ah wala jama`ata illa bi al-imarah wala imarata illa bi ath-tha`ah (tak ada Islam tanpa kelompok, tak ada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tak ada kepemimpinan tanpa ketundukan). Begitu juga kaidah fikih tasharruf al-imâm `ala al-ra`iyyah manûthun bi al-mashlahah (kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait dengan kesejahteraan yang dipimpin). Yang baru adalah lebih pada ketajaman analisisnya dan kelincahan argument yang terkadang mengejutkan terhadap berbagai situasi kontemporer di setiap tulisannya .

Elaborasi yang dalam, trengginas, dan orisinil akan banyak Anda temukan pada Islam Kosmopolitan. Tulisan-tulisan di bukuberisi kumpulan tulisan sejak era 80-an itu seolah-olah menjadi bingkai dengan argumen yang mendalam dan memiliki ketersambungan dengan tulisan dan pikiran-pikirannya setelah era-kepresidenan hingga akhir hayatnya, seperti yang ada dalam buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita. Penjelasan terkait nomenklatur dalam yang dimunculkan dalam buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita bisa And abaca lebih komperhensif dalam berbagai tulisan di buku Islam Kosmopolitan.

Sumber: Alamsyah M Djafar, (In) toleransi (Elexmedia: Jakarta, 2018)