Pidato Nadiem Makarim dan Dilema Masyarakat Islam di Dunia Industri

Pidato Nadiem Makarim dan Dilema Masyarakat Islam di Dunia Industri

Nadiem Makarim dalam pidatonya ada satu hal terlupa tapi penting

Pidato Nadiem Makarim dan Dilema Masyarakat Islam di Dunia Industri

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan viralnya naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) di media-media sosial. Terlepas dari apa yang bisa dibaca dari “bocornya” naskah tersebut beberapa hari sebelum disampaikan oleh sang menteri pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019, pidato yang terbilang singkat – berbeda dari gaya pidato pejabat yang biasanya panjang dan mengawang-awang – itu nyatanya mendapat sambutan hangat banyak orang.

Hal itu karena isinya pembenaran terhadap fenomena menyangkut eksistensi guru dan profesinya sebagai pendidik di negeri ini. Salah satu masalah yang diangkat di dalam pidato tersebut adalah soal para guru yang (seharusnya) tugasnya mendidik dan “membentuk (generasi) masa depan bangsa” tapi niat mulia itu justru terganggu oleh aturan-aturan dan “tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.”

Berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dan alami, saya kira subyek yang dibicarakan ini meliputi seluruh golongan pendidik. Tidak hanya guru-guru di sekolah menengah dan dasar, melainkan juga dosen-dosen di perguruan tinggi. Tuntutan untuk memajukan profesionalisme sebagai pegawai suatu lembaga justru lebih menyibukkan guru dan dosen daripada waktu mereka mendidik murid-murid dan para mahasiswa dan waktu untuk mengembangkan diri mereka sendiri dalam wawasan keilmuan.

Mungkin perlu dibuktikan terlebih dahulu lewat sebuah riset, tapi persoalan bentroknya idealisme pendidik dan sistem administrasi memang terlihat dan dirasakan oleh banyak guru dan dosen di lapangan, sekalipun kita mencoba menyangkalnya dengan, misalnya, argumen manajemen pendidikan.

Fenomena yang disinggung oleh Mendikbud di atas kiranya dapat kita pandang dengan gagasan Nurcholis Madjid (Cak Nur) tentang masyarakat industrial dan nilai keagamaanya. Gagasan ini memang sudah lama tapi, seperti pemikiran-pemikiran beliau lainnya, terasa masih kontekstual dengan dunia kita saat ini.

Dalam salah satu karya besarnya, Islam, Kemodernan dan keindonesiaan (edisi baru, 2008) Cak Nur mendedah bahwa masyarakat industrial adalah masyarakat yang tunduk pada norma-norma atau nilai-nilai formal industri. Nilai-nilai formal industri itu berorientasi pada sistem perencanaan yang dengan sendirinya menghasilkan sistem pembukuan, perkantoran dan apapun terkait administrasi dan birokrasi. Setiap individu harus tunduk pada sistem administrasi dan birokrasi yang mengatur dan mengawasi kegiatan kerjanya itu.

Ketundukan pada sistem tersebut menjebak anggota-anggota masyarakat industri dalam rutinitas-rutinitas kerja yang menunda upah dan kesenangan sampai pada waktu yang disepakati bersama, seperti awal bulan, hari Minggu sebagai hari libur dan sistem cuti.

Ketundukan pada sistem perencanaan menghilangkan otonomi manusia, sehingga masyarakat industri cenderung bersikap pasrah atau fatalistis. Pada tahap ini terciptalah apa yang disebut Cak Nur dengan “masyarakat mesin”. Setiap individu dalam masyarakat industri tak ubahnya seperti mesin yang bekerja secara mekanik dan dituntut untuk meningkatkan produksi.

Akhirnya manusia dalam dunia industrial mengalami dehumanisasi, kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Sementara kebijaksanaan dan kearifan, kata Cak Nur, hampir-hampir tak berfaedah bagi masyarakat industrial.

Para pendidik juga bagian dari masyarakat industrial. Betapa tidak, pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka geluti adalah instrumen penting dalam upaya masyarakat menuju kemakmuran. Agar tujuan itu tercapai, guru dan dosen harus tunduk pada sistem dan aturan yang dibuat melalui perencanaan. Perencanaan melahirkan sistem administrasi dan birokrasi yang mengatur jadwal dan seluk-beluk kegiatan pendidikan dan akademik sampai ke detil-detilnya.

Sistem tersebut terwujud dalam bentuk akreditasi dan sertifikasi. Dengan ini, kegiatan belajar-mengajar, meneliti dan pengabdian masyarakat adalah rutinitas para pendidik untuk mencapai angka akreditasi dan sertifikasi. Pelanggaran terhadap sistem ini akan membuat para pendidik kehilangan atau tertundanya pengakuan terhadap produktivitas mereka yang berimbas kepada tertundanya kesenangan berupa upah atau gaji dan lain-lain. Dengan demikian, seorang pendidik dinilai berharga atau berguna jika tuntutan-tuntutan sistem administrasi di atas terpenuhi, sehingga nasibnya sangat bergantung pada akreditasi dan sertifikasi.

Pada tahap inilah para pendidik sebagai pekerja dalam masyarakat industrial juga mengalami dehumanisasi. Artinya, dirinya dikuasai oleh suatu sistem non-manusiawi yang kemudian melahap waktu, tenaga dan pikirannya untuk mematuhi dan memenuhi standar-standar yang dipancang oleh sistem itu.

Satu-satunya momen ketika para pendidik dapat membebaskan dirinya dari sistem administrasi adalah apa yang disebut Cak Nur dalam buku yang disebutkan di atas dengan “nilai-nilai bawah tanah” sebagai perlawanan terhadap nilai-nilai formal masyarakat industrial. Dalam masyarakat industrial, ungkap Cak Nur, ada kecenderungan laten untuk membebaskan diri dari nilai-nilai formal yang memaksanya tunduk sebagaimana diuraikan di atas. Upaya keluar dari kungkungan itu adalah melalui hari-hari libur, cuti atau waktu senggang (leisure time, dalam istilah Bertrand Russell).

Pada waktu senggang inilah masyarakat industrial menemukan kemanusiaannya. Jika saat bekerja seseorang harus tunduk pada nilai-nilai formal dan dengan itu ia mengalami dehumanisasi, maka pada waktu senggang ia mengalami humanisasi karena dirinya terbebas dari beban-beban mekanis dan ekonomis di waktu kerja dan menikmati kesenangan sebagai manusia, entah itu bersama keluarga, teman-teman maupun dirinya sendiri. Dalam bahasa sederhana, pada waktu senggang seseorang tak lagi jadi “mesin”.

Kesenangan dan kebahagiaan, karena itu, adalah “nilai-nilai bawah tanah” yang merupakan lawan dari nilai-nilai formal sebagai “nilai-nilai atas tanah” bagi masyarakat industrial. Sekalipun waktu senggang merupakan hasil dari bentuk pengorbanan seseorang melalui kerja yang akan memberinya kelengkapan material (gaji, honor, dan lain-lain) demi menikmati waktu senggang itu, tapi di masa-masa inilah manusia menikmati kemanusiaannya.

Karena itulah bukan sesuatu yang aneh jika kita menemukan pekerja, termasuk para pendidik, yang begitu ceria dan tergesa-gesa pulang ketika jam kerja usai atau hari libur atau cuti tiba, sementara jiwanya dipenuhi beban ketika waktu bekerja kembali dimulai. Tak heran pula jika para pendidik dan para pekerja lainnya terkadang mencoba mencuri waktu kerja agar dapat mengubahnya menjadi waktu senggang, seperti bolos kerja, izin sakit ringan, memanfaatkan perjalanan dinas dan lain-lain.

Jika bagi umumnya pekerja waktu senggang dimanfaatkan untuk pembebasan diri dan kesenangan, maka bagi para pendidik waktu ini dapat menjadi kesempatan untuk membebaskan eksistensi mereka sebagai orang-orang yang menggeluti ilmu dan pengetahuan. Ketika terlepas dari nilai-nilai formal industri dengan segala bentuk sistem administrasi, para pendidik dapat menikmati waktu senggang dengan bersenang-senang dalam keilmuan.

Di waktu senggang para guru berkesempatan menambah wawasannya lebih luas lagi tentang apa yang diajarkannya kepada murid-murid dan menemukan metode mengajar yang lebih tepat dan mantap. Di waktu senggang pula para dosen mendapat peluang untuk menguji pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya, entah melalui diskusi-diskusi pinggiran dengan sesama akademisi atau lewat menulis catatan-catatan ilmiah kecil.

Semuanya itu dilakukan tanpa dihantui oleh tuntutan akreditasi dan sertifikasi, murni untuk bersenang-senang dan berbahagia. Bukankah tujuan akhir kehidupan manusia adalah demi kebahagiaan?! Semoga saja pidato Mendikbud yang viral itu mengandung semangat ini.