Piala Raja (Bag. 2 Habis)

Piala Raja (Bag. 2 Habis)

Piala Raja (Bag. 2 Habis)
ilustrasi

Gumpalan awan berarak pelan di atas langit istana. Aku menyiapkan kereta unta untuk Yang Mulia dan memastikan kondisi unta dalam keadaan prima. Unta yang paling baik dan gagah, sebagaimana negeri kami yang menguasai tanah yang demikian luas.

Yang Mulia telah duduk di kereta unta, di dalam bilik yang memiliki pelindung terpaan sinar matahari. Lima prajurit kavaleri unta mengelilingi kereta unta milik Yang Mulia. Kami bergegas ke arah kafilah-kafilah yang bergerak ke utara.

Di dalam bilik kereta, aku duduk bersela dengan Yang Mulia. Beliau tiba-tiba bercerita bahwa tujuannya memintaku untuk memasukkan piala raja ke dalam karung Benjamin adalah untuk membuat Benjamin ditahan di istananya. “Sungguh bahwa ada hal-hal yang ingin aku ketahui daripada dia,” katanya.

Suara-suara langkah derap unta-unta, debu, dan misteri yang berputar-putar di kepalaku, jadi semacam peristiwa yang ingin aku ketahui, meskipun tanda-tanda untuk sampai ke kesimpulan tidak ada atau bahkan tidak akan pernah ada. Tapi aku merasa aku memasuki sebuah sejarah yang besar, entah apa entah bagaimana.

*

Tidak lama, kami melihat rombongan kafilah di horison. Mereka belum keluar dari perbatasan. Kami semakin memacu unta kami. Pengemudi unta dan penjaga bilik seakan memperoleh kekuatan untuk bersemangat memacu. Ketika jarak kami telah dekat dengan rombongan kafilah. Sang pemimpin pasukan pengamanan Menteri segera berteriak mengumandangkan himbauan untuk berhenti. Seluruh kafilah yang berjalan tenang sejurus menoleh sebab terkejut bukan kepalang.

“Seluruh kafilah harap berhenti!”

Mendengar perintah itu—dan karena mereka kenal siapa dan dari mana pasukan unta itu datang—rombongan kafilah berhenti. Lalu mereka diminta untuk mendekat kepada pemberi perintah.

“Kami datang bersama Yang Mulia Menteri,” kata sang pemimpin pasukan itu. Ia membusungkan dada menjelaskan mengapa mereka mendatangi mereka.

“Yang Mulia, akan keluar dari bilik kereta unta,” tambahnya. “Semua yang di sini harap mendengarkan.”

Kemudian Yang Mulia keluar; para kafilah mendekat.

“Sesungguhnya ada sebuah piala raja yang hilang. Sebab piala adalah tempat minum yang terhormat bagi raja. Terbuat dari emas murni. Tersepuh dari kejayaan negeri ini. Kini ia hilang serupa burung bul-bul yang kehilangan sayap.

Maka, para tetua kafilah mencoba menjelaskan bahwa mereka tidak mengambil apa pun ketika mereka memasuki mesir. Bahkan sehelai daun gugur pun tidak berani mereka selipkan pada bawaan mereka.

Tetapi penggeledahan tetap dilakukan. Dari mulai pakaian, perbekalan, kantung-kantung yang tersampir pada unta-unta mereka, hingga karung-karung gandum itu. Hingga akhirnya tentara loyal sang Al-Aziz menemukan Piala tersebut di karung seorang remaja: Benjamin.

Aku mulai memahami apa yang terjadi. Apakah Benjamin memiliki sesuatu yang istimewa bagi Yang Mulia? Adakah kaitan antara mereka? Jika demikian, lantas apa maksud semua ini?

Salah satu di antara mereka, yang kulihat memiliki tubuh yang tinggi dan agak gempal, berkata seakan mengantisipasi peristiwa itu, “Yang Mulia, dia terbukti mencuri, sebagaimana saudaranya dulu melakukan hal yang sama!” Ketika mendengar ini, sebersit tampak wajah yang keras pada Yang Mulia. Apakah itu sebab pantulan cahaya? Ataukah sisi lain yang Mulia? Aku terus bertanya-tanya dalam hati.

“Tetapi, Yang Mulia,” lelaki tua itu melanjutkan. “Janganlah engkau ambil dia. Sungguh, dia amat disayang oleh Ayah kami. Kalau engkau ingin, pilihlah salah satu dari kami untuk disandera kepada engkau.”

Saudara-saudara lainnya pun menunjukkan wajah yang berharap agar Benjamin tidak ditahan. Tapi Yang Mulia bungkam dengan senyum memancar tatkala melihat salah satu rombongan kafilah itu terlihat putus asa. Lalu kafilah tersebut meminta waktu untuk berbicara satu sama lain.

“Yang Mulia, engkau boleh membawa Benjamin, tetapi aku ikut. Sebab aku tidak akan bisa meninggalkannya tersebab Ayah kami amat menyayangi Benjamin,” yang tertua menyampaikan hasil rembuk.

*

Siang telah lewat. Matahari mulai mendingin dan kekawanan burung bertebaran di langit. Benjamin kini berada dalam status disandera selama beberapa hari di istana. Ia bisa dikatakan sebagai budak Yang Mulia. Sementara saudara tertuanya dilepaskan di kota agar ia mencari pekerjaan sampingan sembari menunggu Benjamin dilepaskan. Di satu sisi, aku kagum pada ikatan persaudaraan mereka, di sisi lain aku belum memahami secara sempurna ada apa di balik ini. Siapakah Yang Mulia Al-Aziz ini, sehingga ia tidak memperlakukan si pencuri sebagaimana ia sepatutnya diperlakukan?

Wallahu A’lam.

Oleh: Agung Setya