Piala Raja (Bag. 1)

Piala Raja (Bag. 1)

Piala Raja (Bag. 1)
Ilustrasi

Setelah aku diperintah oleh Yang Mulia Menteri Perbendaharaan untuk memasukkan piala itu ke dalam salah satu bahan makanan mereka, aku melihat langit menjadi lebih biru. Bagian negeri yang indah ini sekarang paceklik, sebagaimana dedaunan terlukis menjadi lebih kisut dan kering. Tapi aku mencium bau udara yang tidak biasa, harum, dan lapang.

Bayangan diriku semakin legam di tanah kekuasaan Yang Mulia Raja Mesir ketika aku membantu mengurusi administrasi para kafilah. Aku agak terkejut karena wajah-wajah yang kutatap memancarkan lapisan senyum yang keemasan. Begitu pula di wajah Yang Mulia Menteri—sesungguhnya aku tak seberani itu menatapnya, tapi ada sesuatu pagi ini yang lebih membuat dirinya menjadi pusat, seolah taman bunga.

“Sudah tepatkah kau memasukkan piala itu?” bisik Yang Mulia Menteri kepadaku. Aku menundukkan kepala dan berkata bahwa aku mengikuti perintahnya. Piala itu, tempat minum Raja kami, entah bagaimana diserahkan kepadaku sebelum cahaya merah fajar di timur memancar.

Di gudang logistik tempat gandum berlimpah dijaga lebih ketat, aku menjelaskan kepada para penjaga yang memiliki mata seakan anak panah yang siap dilepas, bahwa aku seseorang yang dipercaya oleh Yang Mulia Menteri Perbendaharaan Mesir, akan memasukkan sebuah piala Raja ke dalam salah satu karung gandum seorang kafilah. Anak panah di mata mereka seolah lenyap berganti warna-warni yang tenang.

Mencari karung gandum milik Benjamin tidaklah sulit. Kemarin sore, setelah satu kelompok kafilah dari tanah Kana’an selesai mengurus administrasi dan bersiap—bersama-sama petugas logistik—mengisi karung-karung mereka dengan gandum, Yang Mulia Menteri mengawasi dengan tenang. Apakah yang ada dipikirannya, aku tidak pernah tahu. Apakah ia berbeda dibanding Menteri sebelumnya?

Tentu. Bukan saja menurut pandanganku, tapi menurut istriku, anak-anakku, dan penduduk sekitar. Apakah karena kemampuannya menafsirkan mimpi Raja beberapa tahun yang lalu? Bisa saja demikian. Tapi aku tidak pernah tahu apa yang ada dipikirannya, selain bahwa ia percaya kepada Tuhan Yang Esa dan mengajak kami untuk selalu berbuat kebaikan.

“Karung Benjamin yang lebih kecil,” katanya sebelum ini. Kupastikan tak ada karung yang lebih kecil sebelum memasukkan piala ini. Waktu buatku tidak banyak, sebab pagi ini seluruh kafilah yang meminta bahan makanan akan segera dilepas oleh Yang Mulia Menteri.

*

Pemandangan yang amat mengharukan, ketika aku berdiri dua hasta di belakang Yang Mulia Menteri, dan tampak di hadapan kami belasan kafilah dari berbagai negeri jauh berbaris rapi di bawah terik bersama unta-unta mereka. Langit semakin biru muda. Wajah tampan itu kudengar berkata, “Sebagian besar negeri telah memasuki musim kekeringan dan paceklik bahan makanan. Sebagai manusia yang bijak, kita sewajarnya menghemat bahan makanan dan belajar bagaimana mengendalikan pangan di musim seperti ini. Saya harap kita semua bisa berlaku bijak dan arif.”

Pelepasan berlangsung cepat dan sederhana. Begitu saja. Bersama angin yang mengembus sejuk dari selatan. Yang Mulia Menteri kembali ke ruang kerjanya di balik istana kecil nan megah. Aku mengikutinya sebab tugasku memastikan ia tidak kesulitan apa pun. Di benakku, tanda tanya itu semakin menggelembung. Apa maksud Yang Mulia-ku ini memasukkan piala Raja ke dalam salah satu karung? Bagaimana kalau Raja mencarinya? Bagaimana nasibku?

Di depan pintu ruang kerja Menteri: “Kau ke ruanganku,” kata Yang Mulia Menteri menatap mataku. Aku bergegas mengekor.

Aku selalu tergelak jika masuk ke ruangan ini. Jika menteri sebelumnya membuatku merasa benar-benar menjadi bagian kemewahan, maka sekarang aku tak banyak melihat barang-barang mewah. Tak ada vas bunga dari Cina, tak ada tempat buah dari emas, dan tak ada permadani-permadani yang berlebihan. Aku hanya melihat segalanya di ruangan ini tiada yang menganggur. Kertas yang beberapanya tertulis tampak rapi tersusun di atas meja. Ruangan tampak lebih lapang dan lebih sejuk. Ada aroma khas taman bunga yang pernah kukunjungi di salah satu bagian negeri.

“Silakan duduk.”

Aku pun duduk di depan meja Yang Mulia. Menunggu dan kutundukkan kepala.

“Terima kasih atas kerjamu yang baik hari ini. Apa kau perlu sesuatu yang bisa kuberikan?” tanya Yang Mulia.

“Wahai Al-Aziz, aku tidak sedang memerlukan apa-apa. Selama ini kebutuhanku sudah cukup terpenuhi. Terima kasih atas kemurahan engkau.”

Kuberanikan menatap pelan-pelan, Yang Mulia tersenyum. Udara semakin lapang dan wangi-wangian melancarkan aliran darahku hingga aku merasa seluruh beban hidupku pelan-pelan terangkat. Aku tidak pernah merasakan ini dan tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya yang kurasa.

Bersambung

Oleh: Agung Setya