Piagam Madinah dan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Piagam Madinah dan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Piagam Madinah dan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Piagam Madinah

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad Saw. tidak saja diposisikan sebagai penerima wahyu yang menjadi nabi pamungkas, melainkan juga sosok historis yang memberikan andil besar dalam membangun peradaban dunia. Rekam jejak model kepemimpinannya di Madinah merupakan salah satu bentuk teladan dan panutan yang seharusnya  mengilhami  dan menginspirasi umatnya. Dalam domain politik kenegaraan yang menyangkut kemashlahatan umat Islam, mencontoh dan meniru pola strategi dan kebijakan Nabi Saw. secara langsung, lebih baik ketimbang mengikuti pendapat para ulama yang masih terjadi banyak kontroversi dan perbedaan pandangan, sebagaimana diungkapkan Ibn Qayyim al-Jauziyyah [Zād al-Ma’ād, vol 3, hlm 126] :

وَأَخْذُالْأَحْكَامِ الْمُتَعَلِّقَةِبِالْحَرْبِ،وَمَصَالِحِ الْإِسْلَام وَأَهْلِهِ وَأَمْرِه وَأُمُورِ السِّيَاسَات الشَّرْعِيَّة مِنْ سِيَرِهِ وَمَغَازِيهِ أَوْلَى مِن أَخْذِهَا مِنْ آرَاءِالرِّجَالِ، فَهَذَا لَوْنٌ، وَتِلْكَ لَوْنٌ، وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ.

“Mengambil hukum dalam urusan peperangan, kemaslahatan Umat Islam dan kebijakan politik, dari teladan sejarah perilaku dan peperangan Nabi Saw. lebih baik ketimbang mengambilnya dari pendapat para ulama”

 

Beliau menyatukan berbagai elemen masyarakat Madinah yang plural dari segi etnis, suku dan memiliki beragam kepercayaan/agama, melalui sebuah perjanjian luhur antar semua komponen masyarakat Madinah yang menginginkan hidup berdampingan dalam hubungan dialogis, harmonis dan damai di bawah naungan negara Madinah. Dokumen Piagam Madinah yang terdiri 47 pasal itu merupakan sebuah konstitusi negara yang sangat modern di zamanya, dibuat lebih dari 600 tahun sebelum Magna Carta (The Great Charter of  the Liberties of England) dan lebih dari 1100 tahun sebelum The Constitution of the United States.

Pada pasal pertama, piagam ini lebih mendahulukan dan mementingkan rasa persatuan semua elemen masyarakat:

 

هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه وسلم، بين المؤمنين والمسلمين من قريش ويثرب، ومن تبعهم، فلحق بهم، وجاهد معهم، إنهم أمة واحدة من دون الناس

“berikut ini adalah piagam dari Nabi Muhammad saw. diantara kaum Mikminin dan muslimin sari suku Quraisy dan Yatsrib (madinah), , dan para pengikut mereka, yang bergabung dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya merka satu umat, lain dari (komunitas) lain”

 

Mereka disatukan dan memiliki tanggung jawab untuk saling melindungi dan mempertahankan  eksistensi negara:

وأن بينهم النصر على من دهم يثرب

“Mereka (pendukung piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib”

 

Disamping itu, piagam ini juga menjaga dan menjamin kebebasan beragama:

 

وإن يهود بني عوف أمة مع المؤمنين، لليهود دينهم، وللمسلمين دينهم، مواليهم وأنفسهم، إلا من ظلم وأثم، فإنه لا يوتغ إلا نفسه، وأهل بيته

“Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan Mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang dzalim dan jahat, maka hal demikian akan merusak diri dan keluarganya”

 

Para Ulama sepakat bahwa status non Muslim yang menghuni Madinah pada waktu itu adalah “Kafir Mu’ahad”, sehingga tidak berlaku aturan normatif-ideal ala kafir dzimmī, seperti penarikan upeti  (Jizyah) maupun pembatasan-pembatasan peran keagamaan dan publik. Meski demikian, karakteristik “kafir Mu’ahad” di Madinah sedikit berbeda dengan kafir Mu’ahad dalam kajian fikih klasik yang terkesan menganggapnya bukan sebagai bagian dari warga negara dan  lebih diposisikan sebagai komunitas lain yang tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap negara. Disamping itu, dalam aturan fikih klasik, perjanjian damai dengan kafir Mu’ahad bersifat temporal dan dibatasi waktunya. Oleh karenanya, Syaikh Abu Zahrah, cenderung memosisikan masyarakat non Muslim di Madinah sebagai kafir Mu’ahad yang mirip dengan kafir Dzimmī, sebab, di satu sisi mereka tidak terikat aturan-aturan dzimmah, sementara di sisi lain, mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab serta menjadi bagian dari negara Madinah[Khātam an-Nabiyyīn, vol 2, hlm 499].

Dalam konteks negara Indonesia, sesuai dengan rumusan para pendiri negara ini, termasuk di dalamnya para ulama terkemuka, maka mereka membentuk sebuah negara-bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara. Para ulama pendiri negara ini sepakat Indonesia menjadi NKRI berasaskan Pancasila. Sebab, nilai-nilai dasar di  dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan agama Islam, melainkan nilai-nilai tersebut justru merupakan pengejawantahan dari berbagai nilai ke-Islaman. Mereka pun mengkategorikan Indonesia sebagai Darul Islam (daerah Islam, bukan Daulah Islamiyyah). Sebab, mayoritas penduduk negara ini beragama Islam dan bisa melaksanan syari’at Islam secara terang-terangan.

Penerimaan Pancasila sebagai asas NKRI ini, juga berdasarkan Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah saw untuk menyatukan semua golongan, tanpa membedakan agama, suku dan ras demi membangun negara Madinah yang aman dari serangan musuh, tentram, damai dan sejahtera.

 

Pancasila dan Piagam Madinah

Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia memiliki kemiripan dan kesamaan. Keduanya paling tidak memiliki kesamaan secara substansif sebagai berikut:

Pertama, motivasi Pancasila dan Piagam Madinah berangkat dari semangat bahwa negara masih dalam awal pembentukan. Dalam awal pembentukan negara ini, yang menjadi prioritas utama adalah bukan bagaimana Islam dapat berkuasa absolut secara politik, melainkan kondisi ini lebih membutuhkan kepada persatuan seluruh rakyat untuk mendirikan dan membangun negara yang aman, damai, sejahtera dan merdeka dari penjajah.

Kedua, pada saat pancasila dirumuskan, kondisi Indonesia lebih membutuhkan adanya persatuan dari seluruh rakyat, tanpa membedakan latar belakang agama, suku dan ras demi menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka. Kondisi ini sama persis dengan negara Madinah yang juga menuntut adanya persatuan dari semua golongan untuk meghadapi serangan musuh yang berusaha mengancam dan mengacaukan keamanan negara.

Ketiga, butir-butir Pancasila dan Piagam Madinah menjunjung nilai-nilai luhur yang sama, yaitu kebebasan beragama, keadilan, musyawarah mufakat, persatuan, saling tolong menolong dan kerukunan.

Dengan asas Pancasila inilah masyarakat Muslim Indonesia dapat melaksanakan syari’at Islam secara bebas tanpa ada gangguan dan ancaman dari pihak lain. Melalui Pancasila mereka dapat menghidupkan syari’at, meskipun mereka tidak berkuasa secara politik, dalam artian tidak menerapkan dan menegakkan secara persis aturan-aturan Islam ideal yang tertuang di dalam khazanah fiqh abad pertengahan, seperti kewajiban menarik upeti (jizyah) kepada warga negara non-muslim; kewajiban melarang non-muslim mendirikan tempat peribadatan; mempersempit aktivitas kagamaan warga non-muslim; dan rumusan-rumusan yang terkesan menempatkan warga non-muslim sebagai warga negara kelas kedua.Sebab, sebagaimana diungkapkan Dr. Wahbah Zuhailī, melaksanakan perjanjian dzimmah, bukanlah pilihan baku yang wajib diterapkan dan dipraktekkan dalam hubungan antar umat beragama dan kehidupan politik kenegaraan [Atsār al-Hārb fī al-Fiqh al-Islāmī, hlm 691].

Dalam konteks Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi sosialnya yang plural dan majemuk serta kondisi geo-politiknya, menjatuhkan pilihan terhadap perjanjian Mu’ahadah dengan meneladani dan meniru kebijakan Nabi saw. di Madinah adalah pilihan Ideal dan lebih menjamin kemashlahatan.

Maka dengan NKRI berdasarkan Pancasila, masyarakat Muslim Indonesia telah menjalankan kewajiban agama, yaitu mendirikan sebuah negara yang menjamin terpeliharanya cita-cita Islam untuk menuju adagium, baldah thayyibah wa-Rabbun ghafur, sebagaimana tercermin dalam Negara Madinah dengan asas Piagam Madinahnya.