Media sosial mendadak heboh sejak tersebarnya petisi yang dibuat oleh salah satu pemerhati isu-isu perempuan, bernama Maimon Herawati. Petisi menolak RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusanindas Keiskerasan Seksual) yang digagas Maimon mendapatkan sambutan sangat hangat dari berbagai kalangan, petisi tersebut terus dibagikan melalui berbagai platform media sosial. Bahkan angka yang turut menandatangani petisi tersebut, sebagai tanda setuju isu yang diangkat, tidak bisa dibilang sedikit. Sebab, jumlah penandatangan jauh lebih besar berkali-kali lipat ketimbang penonton pertandingan di stadion kecil yang berada di kota saya, Banjarmasin.
Isu perlawanan RUU PKS ini disentralkan dalam perlawanan terhadap isu moralitas, terutama isu zina dan persoalan kesopanan berpakaian. Isu ini terus disematkan kepada para pejuang hak-hak perempuan jauh sebelum lahirnya rancangan undang-undang tersebut muncul. Kaum feminis atau mereka yang berjuang melawan patriarkhi terus dicurigai sebagai bagian dari agen propaganda Barat yang mau menghancurkan Islam beserta seluruh generasinya. Tuduhan seperti ini terus bergulir hingga sekarang, walau berbeda-beda isu saja.
Jika kita menelisik kajian akademik yang dikemukakan oleh Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak terhadap RUU tersebut, kita bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh pejuang hak-hak perempuan setelah menunggu lama untuk terwujudnya cita-cita mereka. Perjuangan akan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual adalah cita-cita dasar dalam RUU PKS tersebut, bukan legalisasi zina atau prostitusi.
Membandingkan antara perjuangan posisi perempuan yang menjadi korban kekerasan dengan legalisasi pakaian minim adalah sebenarnya adalah hal aneh. Kekerasan seksual yang sering dialami oleh perempuan adalah hal masih belum banyak diatur dalam Undang-undang dalam Negara yang kita cintai ini. Oleh karena itu, perjuangan para feminis, termasuk dari kalangan muslim progresif, adalah hak korban kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan yang layak.
Jika kita telisik lebih dalam lagi, Manusia sekarang tidak lagi menjadi panglima pada dirinya sendiri, sebab kita sekarang sudah tersandera dengan pilihan konsumerisme. Tidak ada lagi sisi yang tersisa dari kehidupan manusia yang tidak tersentuh dengan konsumerisme. Kekerasan seksual bisa dideteksi sebagai musuh umat Islam, tapi konsumerisme yang menghantui perempuan seharusnya juga bisa dijadikan sebagai musuh umat Islam.
Kebebasan manusia sekarang “hanya” terletak pada kebebasan sebagai konsumen, yang diharuskan memilih barang yang disesuaikan dengan pilihan identitas yang ada di hadapan manusia sendiri. Dalam persoalan ini, perempuan adalah pihak yang paling banyak didera, atau lebih tepatnya dihajar, dengan serbuan dari para pemodal yang mencitrakan perempuan yang sempurna. Dari pelembab wajah, bedak hingga model pakaian yang terus menghantui perempuan, sampai harus merasuk dengan menggunakan label dan justifikasi agama. Jilbab, abaya hingga pemutih wajah yang halal juga turut meneror perempuan, sehingga mengorbankan kebebasannya dalam mengekspresikan kesalehan dirinya dalam bingkai yang sederhana dan turut memperkaya para pemodal.
Para pejuang hak-hak perempuan memandang perempuan sebagai kelompok yang rentan terdampak akan kekerasan seksual, tidak peduli mereka berpakai seperti apapun. Perempuan di Indonesia harus menghadapi kultur yang masih belum bersahabat dengan mereka karena budaya patriarki masih kental di tanah air kita ini. Pakaian yang dikenakan oleh para perempuan tidak bisa menjamin akan keamanan dari tubuh perempuan tidak mengalami kejahatan seksual.
Hidup di antara tekanan budaya patriarki yang membuka peluang terjadinya kekerasan seksual dan serbuan konsumerisme yang mengancam kebebasan dan kesederhanaan dalam ekspresi diri, bukanlah hal yang mudah bagi perempuan. Perempuan berhak mendapatkan perlindungan dari kehidupan yang memperlakukannya secara tidak adil, dan paling sering dihadapi perempuan adalah kekerasan seksual. Persoalan kekerasan seksual sekarang lebih kompleks dibanding dari sekedar mengatur ukuran pakaian, sebab kekejaman terhadap tubuh perempuan tidak bisa lagi bersandar dari lebar atau pendeknya pakaian perempuan.
Salah satu perjuangan perempuan dalam sejarah Islam terhadap posisi yang setara dan kehidupan yang lebih baik, pernah diperlihatkan oleh istri Nabi Muhammad yang berasal dari kalangan aristokrat Quraisy bernama Ummu Salamah, pernah menyampaikan kritik kepada Rasulullah, sepulang dari menyampai ajaran agama di Masjid Nabawi. Ummu Salamah mengkritik agama Islam tidak pernah berbicara tentang perempuan dalam wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad. Mengapa ya Rasulullah, dalam ayat-ayatNya yang diterimamu tidak ada menyebutkan perempuan, malah terus menyebutkan laki-laki? tegas Ummu Salamah.
Tak berselang lama, Nabi Muhamad mendapatkan jawaban dari Allah dengan turun ayat yang menegaskan posisi perempuan tidak dipandang berbeda dengan laki-laki di hadapan Allah dalam beribadah dan bermuamalah. Jawaban dari Yang Maha Kuasa pada kritik Ummu Salamah tersebut, menegaskan posisi Islam dalam memandang perempuan dalam posisi yang sejajar tanpa ada hal apapun yang menghalanginya.
Kisah tentang Ummu Salamah ini juga menjelaskan bagaimana Islam sebagai agama baru di kalangan kaum Quraisy, dianggap sebagai harapan baru yang akan membebaskan posisi perempuan dari penindasan yang terjadi di masa pra-Islam. Penindasan perempuan sering dibingkai atau dikonstruksi melalui budaya, politik dan sekarang agama di masa itu, kemudian direvolusi dengan kehadiran Islam. Oleh karena itu, kaum muslimin harus mengambil inisiatif posisi terdepan dalam melawan penindasan pada kelompok-kelompok rentan, diantaranya perempuan, maka dukunglah RUU PKS sebagai medium perjuangan tersebut.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin