“Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.” ~ Eric Weiner
“Mbiyen panen itu setahun cuma sekali”, ujar Mbah Kamijo ketika bercerita di sela istirahatnya memanen padi. Ia yang sekarang berusia kurang lebih 82 tahun mengenang kegiatan bertani di masa kecilnya.
Mbah Kamijo tak pernah punya sawah. Ia hanyalah petani penggarap sawah. Meskipun tak punya lahan sendiri, ia mengenang bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebabnya, semua jenis bibit, pupuk, hingga lumbung telah dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
“Dulu ada lumbung Mas. kami tidak beli pupuk, bibit punya sendiri, tidak beli. Tidak semua hasil panen dihabiskan, beberapa disiapkan untuk bibit,” kata Mbah Kamijo.
Menurutnya, perubahan itu dimulai sejak tahun 1980an. Mbah Kamijo tak tau persis kenapa. Yang ia lihat bahwa kini Ia harus menggunakan bibit dari pemerintah, alih-alih menggunakan bibit sendiri yang, sayangnya, satu paket dengan pupuknya. Tak jarang petani harus berhutang dulu untuk membelinya.
Mbah Kamijo tidak tau istilah revolusi hijau. Yang dia tahu hanyalah padinya sekarang mengecil. Apa-apa juga harus beli.
Selain teknik pertanian, Mbah Kamijo juga mewarisi tradisi ritual pertanian dari ayahnya, yang juga diturunkan dari nenek moyangnya. Salah satunya adalah Ritual Wiwitan Panen.
Ritual Wiwitan adalah ritual yang dilakukan petani ketika memasuki musim panen. Wiwit berarti ‘mulai’. Wiwitan panen adalah petanda memulai panen padi. Prosesnya dimulai dengan menyiapkan sesajen, berdoa, kemudian memotong sebagian padi sebagai simbol, dan diakhiri dengan menyantap makanan bersama. Prosesnya pun harus dilakukan di sawah dan dipimpin oleh Mbah Kaum, seorang yang dituakan dalam sebuah komunitas. Mbah Kamijo adalah pengemban amanat itu.
Ketika ditanya apa doanya, Mbah Kamijo hanya menjawab “matur nuwun teng wonten kuasa. Kene nandur diparingi rejeki kaleh Allah. Mugo-mugo iso nyukupi dan mberkahi keluarga (terimakasih Tuhan. Kami hanya berusaha dan Engakulah yang menetapkan rezeki. Semoga ini bisa menjadi berkah serta mencukupi kebutuhan kami sekeluarga).”
“Intinya itu. Tidak ada yang melenceng dari agama.” Demikian Mbah Kamijo menerangkan. Dia hanya mengucap rasa syukur kepada Tuhan karena sudah memberi rezeki. Semoga bisa mencukupi dan memberkahi keluarga.
Lebih lanjut Mbah Kamijo menekankan bahwa ‘tidak ada yang melenceng dari agama’ dalam ritual wiwitan panen. Karena itu Mbah Kamijo sendiri merasa heran mengapa ada beberapa pihak yang menganggap wiwitan sebagai kegiatan musyrik. Padahal, Wiwitan sudah ada sejak dahulu, sejak zaman nenek moyang.
Hal itu juga menjadi kegelisahan Sri Wahyaningsih, akrab di panggil Wahya, yang secara kebetulan, menginisiasi komunitas belajarnya di tengah-tengah sawah, Sanggar Anak Alam (SALAM).
“Sekolah kami kebetulan berada di tengah komunitas pertanian, sehingga alih-alih menjadi kegiatan yang diperangi, wiwitan malah bisa dijadikan media belajar bagi anak-anak,” ujarnya.
Wahya menduga, Wiwitan dianggap sebagai aktivitas musyrik seiring dengan masuknya agama-agama dari luar. Sehingga ini disalahpahami sebagai aktivitas menyekutukan Allah karena menggunakan sesajen dan secara visual terlihat pemimpin upacara berdoa di sawah, lebih tepatnya di depan sesajen itu.
Menurut Wahya, aktivitas wiwitan perlu dimaknai kembali. Di wilayah yang ia dan Mbah Kamijo tempati, Nitiprayan, para petani masih curi-curi melakukan ritual wiwitan, meskipun diselenggarakan secara personal.
“Jadi di sini masyarakat masih melakukan ritual kebudayaan wiwitan. Tapi secara personal saja. Menurut saya ini perlu dimaknai kembali sebagai laku budaya. Sebagai kekayaan sosial dan mempertahankan hidup. Ini perlu dikenalkan kepada anak-anak,” kata Wahya.
Dengan kesadaran itu, wiwitan ditangkap sebagai kegiatan yang strategis untuk pembelajaran anak-anak. Pesta wiwitan yang dulu hanya dilaksanakan secara kecil-kecilan dan personal, kini oleh komunitas SALAM dilaksanakan secara meriah dan melibatkan banyak orang dengan berbagai latar belakang, alias tidak hanya petani.
Bagi Mbah Kamijo, hal itu termasuk baru. “Dulu tidak dirayakan. Cuma makan bersama-sama di sawah.”
Dari pesta wiwitan ini para siswa bisa belajar banyak hal, mulai dari hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, alam, hingga literasi tentang pangan sehat melalui sesajen yang diberikan.
Sebagai simbol hubungan manusia ke Tuhan, Pesta wiwitan ini menjadi wujud syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki. Ini seperti ditekankan oleh Mbah Kamijo.
Selain itu, Pesta Wiwitan juga menandai rasa berterima kasih kepada tanah, air, dan segenap eleman alam yang memberkahinya. “Orang Jawa menganggap semua hal itu mahluk, sehingga harus ditembung,” jelas Wahya menerangkan fenomena ritual menanam dan memanen.
Wiwitan juga menjadi simbol kerukunan sosial. Wahya bercerita bahwa tidak semua orang punya tanah dan hasil pertanian. Maka sebagai rasa syukur, para petani membagikan hasil panen kepada orang-orang yang dilewati ketika membawa padi ke rumah.
“Mereka diajak untuk menikmati. Berasnya dimasak untuk dimakan bersama-sama,” ujarnya.
Dalam Pesta Wiwitan, anak-anak dan orang-orang tua lansia adalah pihak yang diutamakan. Dalam hal ini, banyak dimensi yang bisa disentuh dengan media ritual wiwitan. Ada dimensi sosial ketika berbagi makanan tadi. Ada Dimensi lingkungan ketika interkasi alam sebagai mahluk tadi, dan ada dimensi spiritual ketika mereka berdoa untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas rezeki.
Dalam konsep dunia Islam, hal itu dikenal dengan konsep hablum-minallah, hablum-minal alam, dan hablum-minannas.
Adapun sajen yang disajikan pun bukan sembarang sesajen. Sajen dalam Pesta Wiwitan harus mewakili unsur-unsur tertentu. Ada polo kependem (tanaman terpendam) seperti ubi, singkong, dan umbi lain yang ada di dalam tanah.
Juga, ada polo kesimpar atau ubi-ubian yang nampak di luar, seperti mentimun, tomat dan ubi lain yang merambat di atas tanah. Serta ada pula polo gemandul atau bergelentung seperti pisang, pepaya dan ubi lain yang bergelantung di atas pohon.
Menurut Wahya, itu semua adalah simbol keberlangsungan pangan, sebab dengan syarat sesajen macam itu maka orang harus terus menanam. Artinya kelangsungan pangan itu harus dijaga.
Karena itu Wahya merasa heran kenapa persediaan pangan itu sekarang berseger menjadi mie instan, yang bahan bakunya tidak bisa ditanam di Indonesia. Padahal kita punya persediaan pangan lokal dari polo kependem yang bisa digunakan ketika menghadapi paceklik atau musibah.
Rasanya, apa-apa menjadi simbol yang bisa dimaknai. Memang orang Jawa di masa lalu tidak familiar dengan bahasa tulis. Mereka lebih akrab dengan simbol-simbol, sehingga dalam kacamata modern, prosesi menyajikan sesajen itu adalah prosesi menelaah dokumen. Lalu kenapa itu dibilang musyrik? Wong kita hanya menyajikan simbol.