(Bagian 1 dari Dua Catatan Perjalanan)
Datang dan belajar di pesantren, jarang diceritakan. Padahal pengalaman ini tidak bisa dinikmati semua orang, dan untuk yang beruntung menjalaninya, dirindukan sepanjang hayat. Abi Muhammad Quraish Shihab selalu menceritakan, 1.5 tahun di Pesantren Dar Al-Hadits Malang, beliau belajar jauh lebih banyak daripada 15 tahun di Al-Azhar Cairo.
Keluarbiasaan pesantren, bukan soal mutu pembelajaran agama yang diajarkan, tetapi karena keikhlasan dan kesederhanaan. Saya seringkali bicara tentang memanusiakan hubungan dalam pendidikan, di perjalanan keliling pesantren Dar Al-Qur’an, Buntet Pesantren dan Pesantren KHAS Kempek tempo hari, saya melihat nyata bagaimana ini dipraktikkan.
Rantai keikhlasan dimulai dari relasi yang bermakna dengan kyai. Abi bercerita betapa hubungannya dengan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bafaqih, terus terjalin hingga sekarang, saat Almarhum datang lewat firasat dan mimpi. Kyai bukan hanya tempat setor hafalan Al-Qur’an, kyai adalah teladan kehidupan. Yang seringkali mengagetkan buat orang kebanyakan, penghormatan pada kyai ini bukan didasarkan oleh ketakutan atau keturunan, tetapi didasari oleh keyakinan akan keberkahan. Kekuatan akidah tidak dicapai dengan materi ceramah satu arah, tetapi dengan bertukar kisah hikmah yang selalu penuh tawa.
Kebiasaan kesederhanaan adalah modal kedamaian dalam pergaulan. Jurus anti kelaparan dilatihkan sejak dini – jatah makanan bisa “diakalin” asal punya strategi. Menambahkan kecap yang sengaja dibikin kebanyakan, sehingga bisa mengantri lagi minta tambahan nasi. Konsistensi dibiasakan lewat kedisiplinan ibadah malam, keberagaman dihormati dengan tidak menyalahkan bacaan tartil yang bermacam-macam. Merasa berkecukupan walau tidak hidup berlebihan, adalah modal menjadi ummatan washatan.
Pesantren bukan hanya tempat belajar agama. Pesantren mengasah penghormatan pada keber-agama-an, pesantren adalah praktik kehidupan ke-manusia-an. Semua tujuan ini dicapai santri dengan hidup bersama Al-Qur’an.
Membaca, memahami dan hidup bersama Al-Qur’an adalah tiga tingkatan berbeda. Sekadar membaca harfiah mudah menjebak kita pada penafsiran tunggal. Hanya dengan hidup bersama Al-Qur’an kita menyadari bahwa kebenaran bukan pembenaran berlebihan pada satu jawaban. Pemahaman mengantar kita mengenal wahyu dalam berbagai konteks budaya dimana kita berada. Namun hidup bersama Al-Qur’an yang akan membuktikan mukjizatnya yang tak lekang oleh masa.
Dalam pertemuan dengan ribuan santri di Cirebon minggu hari, satu kalimat Abi yang paling memotivasi diri adalah “Mendekatlah pada Al-Qur’an, karena Kitab ini sesungguhnya hidup dan menghidupkan. Saat kita mengajaknya bercakap layaknya sahabat, maka di saat itulah Al-Qur’an mengungkap rahasianya yang tidak pernah diceritakannya pada sembarang orang.”
Saya menjadi saksi betapa mata para santri menyala mendengar kata-kata ini, saya membayangkan betapa banyaknya api perjuangan yang ditularkan Abi. Bukan karena santri-santri ini -seperti Abi – selalu qunut saat shalat subuh, tetapi karena kecintaan pada Al-Qur’an yang insya Allah menyatukan mereka untuk terus berjihad dengan ilmu.
Menjadi ahli yang bukan saja hafal, memahami dan mempraktikan kehidupan bersama Al-Qur’an selama 60 tahun lebih seutuh Abi, rasanya masih luar biasa jauh untuk diri ini. Tetapi nasihat sederhana untuk menjawab pertanyaan yang diajukan wahyu, berdoa saat mendengar kabar gembira di dalamnya, dan mengucapkan salam saat Al-Qur’an menceritakan tokoh panutan, bisa mulai kita lakukan.
Saya yakin, pertanyaan Allah dalam surah Ar-Rahman, فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ, layak kita jawab dengan syukur. Sungguh ya Allah, tak terhitung nikmat-Mu untuk kami sebagai bangsa dan segenap alam raya.
Perjalanan adalah cara menemukan persamaan dengan teman dalam pikiran. Semoga catatan ini juga menjadi sarana meneguhkan perjanjian kita berjalan seiringan dalam moderasi.
*) Najelaa Shihab, pendidik.
#SemuaMuridSemuaGuru
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua catatan perjalanan.