Era perkembangan teknologi dan diplomasi politik kawasan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi komunitas pesantren. Terlebih, pemerintah Indonesia bersama pemerintah negara-negara ASEAN bekerjasama dalam politik, ekonomi dan kebudayaan, lewat mekanisme ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Hal ini, menjadi isu penting yang dibahas oleh Dr. Mohammad Murtadlo, Kepala Bidang Litbang Pendidikan Non-Formal Informal Kementrian Agama, dalam workshop Pemikiran Keagamaan di The Alana Hotel, Solo, Jumat (09/09/2016). Agenda ini dihadiri para pengasuh pesantren yang tergabung dalam Rabithah Maahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU).
Murtadlo mengungkapkan bahwa saat ini pesantren harus siap menjadi alternatif pendidikan di kawasan ASEAN. “Perlu ada pesantren yang menjadi percontohan di tingkat Asia Tenggara. Di sisi lain, pesantren juga harus memiliki kekhasan, serta memaksimalkan modal sosialnya,” terang Murtadlo.
Dalam penjelasannya, Murtadlo menegaskan bahwa tantangan pesantren saat ini semakin beragam. Untuk itu, komunitas pesantren perlu memaksimalkan potensi dan kekuatannya. Dalam hal ini, pesantren harus menemukan kekhasannya, agar bisa menjadi rujukan bagi banyak orang.
“Kami sedang monitoring beberapa model pesantren, misal pesantren yang menjadi rujukan di level ASEAN, pesantren maritim, atau bahkan pesantren yang menjadi benteng Islam dan NKRI di kawasan perbatasan Indonesia,” terang Murtadlo, doktor antropologi lulusan Universitas Indonesia.
Perlu ada pesantren yang menjadi percontohan di tingkat Asia Tenggara. Di sisi lain, pesantren juga harus memiliki kekhasan, serta memaksimalkan modal sosialnya
Murtadlo menegaskan tentang proyeksi dari timnya untuk fokus pada pemetaan modelling pesantren, sekaligus juga pendampingan. Pihaknya, juga berusaha untuk membentuk komunitas santri yang sadar media. “Kami juga ingin ada jurnalis santri dari 34 provinsi, yang siap mengawal informasi dan kreatifitas dari komunitas pesantren, hingga dapat diterima publik,” ungkap Murtadlo.
Di sisi lain, tumbuhnya kelas menengah muslim juga menjadi tantangan sekaligus peluang tersendiri bagi komunitas pesantren. Ketua PP Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (PP RMI-NU), KH. Abdul Ghoffar Rozien, M.Ed (Gus Rozien) mengingatkan tentang kelas menengah muslim yang perlu direspon kaum santri.
“Tumbuhnya kelas menengah muslim, perlu menjadi perhatian santri. Bagaimana tidak, sekarang ini kelas menengah muslim yang semakin meningkat jumlahnya, harus menjadi pemikiran tersendiri. Mereka yang ekspektasi lebih dalam proses pendidikan anak-anaknya,” ungkap Gus Rozien.
Untuk merespon kelas menengah, Gus Rozien bersama tim RMI dan para kiai muda, mengkampanyekan Gerakan Ayo Mondok, serta membangun aplikasi #AyoMondok berbasis android, dengan platform media digital [Munawir/PPM Aswaja].