Medio 2011-2014, beberapa vendor mulai menginisiasi gawai cerdas berbasis Android. Pada masa ini, gawai belum seperti kacang goreng (omnipresent) sebagaimana seperti saat ini. Jika nekat membawa gawai cerdas di pesantren, bisa dipastikan hari-hari si santri dipenuhi keringat dingin karena dihantui palu pengurus peremuk gawai.
Dulu, ada satu konsesus tidak tertulis di kalangan pesantren, bahwa posisi gawai adalah—boleh dikatakan—satu tingkat nyaris haram. Sebabnya, pertama, karena gawai dianggap membuat santri malas ngaji. Kedua, karena ada sebagian pengurus yang menganggap visualitas gawai adalah sumber maksiat. Alasan pertama lebih karena masalah kelancaran ajar-mengajar. Sementara alasan yang kedua biasanya berasal dari hasil refleksi pendapat dari beberapa kitab tauhid.
Di samping itu, media sosial berbasis visual seperti Instagram dan YouTube belum sepopuler seperti sekarang. Dulu, Facebook adalah primadona tidak hanya bagi kalangan umum, tapi juga bagi kalangan pesantren. Santri perlu kucing-kucingan terlebih dahulu jika ingin ke Warnet atau membuka gawai selundupannya. Setelah itu, ia baru bisa menikmati Facebook.
Kepemilikan gawai dan akses Facebook sebenarnya tidak terbatas hanya pada santri, tapi juga pengurus pondok. Batas kepemilikan dan akses ditentukan oleh kemampuan ekonomi dan kemampuan ‘literasi’ teknologi tiap individu. Di tahun 2011-2014, Jika ada santri atau pengurus yang memiliki gawai cerdas ataupun laptop, bisa dipastikan ia punya daya ekonomi yang cukup.
Meksipun kepemilikan gawai dan akses Facebook sangat terbatas, tapi, baik oleh santri ataupun pengurus, Facebook digunakan untuk menjangkau teman, lawan jenis yang disukai, main gim, ataupun bertukar informasi di grup komunitas tertentu. Bentuk komunikasinya tidak jauh-jauh dari: chat tekstual, stiker, update status, dan kirim gambar. Bentuk komunikasi seperti story dan live belum diperkenalkan pada masa itu. Pengunggahan video pun juga masih terkendala masalah kuota, sinyal dan kemampuan piranti keras.
Selama masa ajar-mengajar pesantren aktif, selama itu pula gawai beserta turunannya dikutuk, diburu dan ditatap peyoratif oleh otoritas pesantren. Pengecualian hanya berlaku jika: teknologi digunakan untuk keperluan pesantren dan digunakan oleh otoritas yang berwenang. Jika masa ajar-mengajar pesantren tidak aktif, alias libur panjang, gawai justru mempersatukan si santri penyelundup dengan pengurus pondok.
2011-2014 adalah masa transisi Indonesia, dari pra-4.0 ke 4.0. Imersi terhadap teknologi mulai tumbuh di kalangan pesantren. Selepas tahun 2014, sikap ketat terhadap teknologi mulai melunak dan semakin bisa ditawar. Di tahun 2020, teknologi telah menjadi bagian inheren dari pesantren. Divisi MedKom (Media dan Komunikasi) memegang peran vital bagi eksistensi pesantren. Esse est computari, sesuatu dikatakan ada (exist/wujud) jika ada di Internet, kata Rafael Capurro di pembukaan bukunya, Homo Digitalis (2018). Posisi teknologi berubah, dari yang tadinya nyaris haram, menjadi nyaris wajib.
Dulu, pengurus perlu menyidak setiap Warnet untuk menangkap santri yang bandel. Sekarang, pemantauan itu bisa dilakukan dengan menggunakan akun palsu, baik itu di media sosial ataupun di Mobile Legend. Implikasinya, siapa yang menyangka jika kemudian masalah identitas ganda di media sosial dan masalah rank di Mobile Legend bisa menjadi variabel yang turut menentukan harga diri pengurus pondok di mata santrinya (yang notabene-nya adalah Gen-Z)?
Pelan tapi pasti. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, teknologi telah mengubah pesantren. Dulu, sejak awal pesantren tumbuh di Indonesia sampai dengan pra-era 4.0, menulis adalah satu-satunya cara agar pengetahuan bisa disebarkan. Di kisaran abad 18 sampai awal abad 20, boleh dikatakan masa itu adalah masa emas pesantren. Banyak kitab yang dilahirkan dari hasil telaah-telaah mendalam.
Dari rentang 2014 ke 2020, kita bisa melihat bagaimana tradisi itu semakin redup atau bahkan nyaris padam, khususnya di kalangan orang-orang muda pesantren. Di tahun 2020, tradisi menulis hasil telaah mendalam digeser oleh tradisi desain quote hasil reaksioner suatu isu. Argumen yang ekstensif tidak mungkin akubtabel di media sosial. Sebaliknya, quote yang estetik juga tidak akuntable di medium kertas.
Umur informasi di medium digital tidak lebih dari 24 jam, dan diingat tidak lebih lama dari 30 detik. Medium digital adalah ‘laut’ di mana informasi saling bersaing untuk mendapat atensi. Informasi di medium digital selalu terpecah, tercecer, dan selalu memicu kecemasan informasi berkelanjutan. Lingkungan yang ringkas, cepat dan tercecer itu butuh konten yang pendek namun memikat atensi. Maka, Quote culture adalah salah satu jawabannya.
Di samping itu, sebagaimana dulu kapitalisme melahirkan pekerjaan baru yang bernama ‘humas’ atau public relation, begitu juga teknologi digital yang melahirkan influencer. Influencer menengahi antara orang awam dan ruang ideologi tertentu yang dipromosikannya. Keberadaan influencer dianggap salah satu pra-syarat kelanggengan eksistensi suatu ideologi tertentu. Dan, tidak terkecuali pesantren dengan semesta manhajul fikr-nya.
Akan tetapi, sebagai anak kandung teknologi digital, influencer tidak pernah mendudukan batas pengertian antara mana ‘menyebar’ konten positif, mana blatanitas visual, mana tawadlu, dan mana menyembunyikan amal. Prinsip kerja teknologi digital yang serba terang dan terbuka terlihat paradoks bagi prinsip idfin wujudaka fi ardhil khumuli, fama nabata mimma lam yudfan la yatimmu nitajuhu atau “kuburkan eksistensimu di tanah yang tidak dikenal, segala yang tumbuh tanpa ditanam tak akan berbuah matang.”
Orientasi beragama era literasi adalah ‘semakin tinggi agama seseorang, maka semakin tinggi kemampuan mawas diri dan semakin menunduk. Sedangkan era digital membalik orientasi tersebut dengan blatanitas, jumlah like, jumlah followers dan jangkauan konten. Orientasi mana yang idealnya dipeluk orang awam?
Jumlah informasi dalam satu dasawarsa era digital jauh lebih banyak dibanding jumlah informasi yang diproduksi manusia sejak era manusia gua hingga era pra-digital. Saat ini, jumlah streaming live, quote, dan status agamis jauh lebih banyak dibanding jumlah kitab-kitab baru yang ditulis. Ada dilema yang membelit pesantren: dilema antara tuntutan zaman dan mempertahankan tradisi era literasi. Pesantren perlu merumuskan ulang manifesto teknologi digital berdasarkan warisan intelektualnya agar tidak hanyut oleh rayuan teknikalitas digital yang terkesan ramah namun banal.
BACA JUGA Hafalan Qur’an Ustaz Maaher At-Thuwailibi dan Alarm Bagi Warga Pesantren Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini