Bagaimana saya, seorang Katolik, melihat persoalan Ustad Somad dan ceramahnya yang viral mengenai salib? Usai nonton video berdurasi 1 menit 54 detik itu, saya berandai-andai, kalau Yesus (Nabi Isa AS) hidup di dunia sekarang ini dan nonton video itu, kira-kira Dia bakal bereaksi apa, ya? Ingatan saya lalu melayang ke kisah hidup Yesus yang saya dengar dan baca dari kitab-kitab Injil sejak saya kecil.
Saya menemukan bahwa ternyata Yesus sudah kenyang akan tuduhan, ejekan, dan ancaman sepanjang hidup-Nya. Pernah Dia dibilang pemabuk dan pelahap karena makan bersama dengan orang yang dianggap berdosa. Dia juga pernah dianggap nabi palsu oleh pemuka agama Yahudi. Bahkan ketika berhasil mengusir setan, Dia disebut Beelzebul alias pemimpin dari segala setan.
Apa reaksinya? Yesus tetap selow, stay cool, menanggapi dengan komentar singkat tanpa emosi berlebihan, dan bahkan jadi bahan humor. Misalnya, ketika dikatain sebagai pemimpin segala setan, Dia hanya menjawab, “Lah kalau sesama setan saling melawan, gimana mungkin kerajaan setan bisa bertahan?” Jadi kalau Dia nonton video Ustaz Somad sekarang ini, mungkin bersama akun-akun Garis Lucu di Twitter, Dia akan tertawa bersama.
Apa yang ingin saya katakan? Saya meyakini yang dikatakan Ustaz Somad, apapun itu, sama sekali tidak berdampak pada Allah yang diimani orang Kristiani. Terlalu remeh bagi Allah kalau terpengaruh oleh perkataan dan tindakan makhluk ciptaan-Nya. Kalaupun manusia memang berniat menghina Allah, Allah tidak akan terhina oleh manusia. Maka, betul sekali bahwa Allah tidak perlu dibela. Allah mahakuasa, sementara kita manusia tidak ada apa-apanya. Siapa kita mau membela Yang Mahakuasa?
Hanya saja, soal agama memang kompleks. Agama setidaknya punya dua dimensi: vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal agama menghubungkan manusia dengan Allah sementara dimensi horizontal agama menghubungkan manusia dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. Dimensi vertikal seharusnya tidak ada masalah. Namun, dimensi horizontallah yang sering rawan masalah. Pemeluk agama adalah manusia biasa yang perasaannya dapat tersinggung, terhina, ataupun sebaliknya gembira dan sukacita. Ini yang seharusnya dijaga dengan hati-hati.
Kecenderungan “Kalangan Internal Agama”
Menurut klarifikasi Ustaz Somad, ceramah itu dilakukannya di kalangan internal umat Islam. Saya kira viralnya khotbah Ustaz Somad itu mengekspos suatu rahasia umum dalam praktik keagamaan kita. Ternyata di kalangan internal agama, jujur saja, kita seringkali masih suka merendahkan agama lain.
Ada segelintir (ingat, hanya segelintir!) pemuka agama yang dalam khotbahnya membahas ajaran agama lain dengan kurang hormat. Dan jangan salah, itu bukan soal agama mayoritas atau minoritas. Dalam setiap agama, hal semacam itu mungkin saja terjadi.
Di kalangan internal agama saya pun fenomena itu kadang terjadi. Saya pernah mendengar khotbah pastor di gereja yang bernada merendahkan ajaran agama lain. Saya pribadi sangat tidak setuju. Menurut saya, aspek horizontal/sosial dari agama harus selalu dijunjung tinggi. Agama tidak pernah ditujukan untuk melukai perasaan manusia.
Namun, saya juga dapat memahami kalau ada beberapa saudara Kristiani yang tersinggung dan marah dengan ucapan Ustaz Somad, meskipun tidak semuanya demikian. Perasaan itu spontan dan tidak ada perasaan yang salah. Menurut saya, merasa tersinggung itu wajar dan it’s okay.
Saya pribadi menyayangkan memang peristiwa ini terjadi, terlepas dari klarifikasi yang Ustadz Somad berikan, walaupun tidak sampai pada taraf tersinggung atau terhina. Namun, yang lebih penting menurut saya adalah mencoba memetik hikmah dari peristiwa ini.
Beragama adalah Cinta pada Allah dan Makhluk-Nya
Saya mulai dengan hikmah yang mungkin cocok bagi umat Kristiani. Yesus yang kita imani, selain memberi teladan woles ketika diperlakukan buruk, juga mengajarkan hal yang sama pada para pengikutnya. Ia mengajarkan kasih dan pengampunan bahkan bagi orang yang menganiaya Dia sampai wafat di kayu salib.
Saya kira peristiwa ceramah Ustaz Somad adalah momen ujian bagi kita sebagai pengikut Yesus: apakah kita akan terus membiarkan diri dikuasai kemarahan dan rasa tersinggung (bagi yang marah dan tersinggung) atau dengan rendah hati mau memaafkan dan mengampuni kekhilafannya seturut teladan dan ajaran Yesus? Bagaimana umat Kristiani bersikap dalam situasi seperti ini akan menunjukkan kualitas keimanan kita. Ingatlah bahwa cinta kepada Allah harus diwujudkan dengan cinta kepada makhluk ciptaan-Nya. Jadi, mengampuni kesalahan sesama adalah salah satu bukti cinta dan iman kita kepada Allah.
Peristiwa ini juga dapat dijadikan hikmah bagi para pemuka agama. Hendaknya peristiwa ini menjadi pengingat agar lebih peka pada apa yang diucapkan dalam khotbah. Ini tidak hanya relevan untuk para ustaz, tapi juga untuk para pastor, pendeta, biksu, dsb. Pemuka agama adalah panutan dan teladan hidup bagi umat. Maka dalam memberi ceramah kita dituntut harus tepat, mudah dimengerti, tetapi juga tidak menyinggung siapa-siapa. Jangan sampai ucapan kita membuat kalangan tertentu terhina atau terlecehkan. Saya kira semua sepakat bahwa agama manapun tidak pernah mengajarkan kita untuk merendahkan orang lain.
Saya rasa antara forum internal ataupun forum umum tidak ada bedanya. Tugas pemuka agama di manapun berada dan dalam forum apapun adalah mengarahkan umat ke arah kebaikan. Dan menurut saya kebaikan itu berarti mencintai Tuhan (vertikal) dan mencintai makhluk ciptaan-Nya tanpa memandang atributnya, entah agama, ras, suku, dsb (horizontal).
Mencari Tahu dari Sumbernya
Sementara, bagi kita pemeluk agama pada umumnya, hikmah ini mungkin berguna. Mengingat pemimpin agama seringkali tidak luput dari kesalahan, tidak ada salahnya jika kita selalu bersikap kritis pada ucapan mereka. Tidak semua perkataan ulama (dari agama manapun) harus kita telan mentah-mentah dan kita terima sebagai benar 100%. Ulama juga manusia, sama seperti kita, bukan?
Nah, terkhusus mengenai ajaran agama lain, cara paling baik untuk memahaminya adalah dengan bertanya langsung pada pemeluk agama tersebut. Misalnya, tentang makna salib bagi orang Kristiani, alangkah baiknya jika kita mendengar sendiri penjelasan dari orang Kristiani (Sila baca tulisan ini: Kami Bertanya, Haruskah Makan Kristen Bertanda Salib?).
Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk berani membuka diri, membangun dialog dan persahabatan antarumat beragama. Dari sana kita akan memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya. Dengan demikian, pemahaman kita tentang agama lain dapat menjadi lebih jernih dan objektif.
Saya pribadi berharap peristiwa ini tidak berlarut-larut, apalagi sampai memasuki ranah hukum. Yang penting, mari kita jadikan peristiwa ini sebagai bahan pembelajaran dan introspeksi diri dalam hidup keagamaan kita dan hidup kita bersama penganut agama lain.