Saat khutbah pertama dimulai, mata susah diajak negosiasi. Maklum, saya masih jetlag, selain itu dari turun taksi hingga naik ke atas rooftop membutuhkan tenaga dan langkah yang tidak sedikit. Namun setelah ingat bahwa kesempatan ini langka, saya terus memelototkan mata, berusaha agar bisa mendengar khutbah hingga selesai.
Mata saya semakin ‘melotot’ setelah mendengar poin menarik dalam khutbah yang disampaikan. Sang khatib mengutip kisah Rasulullah SAW yang mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Kisah Muakhah yang dilakukan Nabi sangat penting proses hijrahnya dalam sejarah Islam. Tanpa adanya muakhah ini, kemungkinan proses mempersatukan kelompok pribumi (Anshar) dengan kelompok pendatang (Muhajirin) bisa gagal.
Saat berangkat ke Madinah (dulu Yatsrib) kelompok Muhajirin dari Mekkah tidak membawa harta bendanya, mereka hanya membawa perbekalan seadanya. Sedangkan mereka kebanyakan bekerja sebagai pedagang. Sebaliknya, kelompok Anshar adalah orang-orang yang jago industri dan pertanian. Mereka memiliki banyak perniagaan. Jika orang-orang Mekkah ingin berdagang, mereka tentu memerlukan ra’s al-mal (modal). Di sisi lain, jika kelompok Muhajirin ingin bertani, maka potensi kerugiannya sangat besar, karena mereka tidak memiliki pengalaman bertani.
Dari hal inilah, perlu pemecahan masalah yang cepat, Nabi pun memiliki ide untuk mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Kelompok Anshar tidak menolak. Mereka membuka tangan dan membagi harta kekayaan mereka menjadi dua. 45 orang Muhajirin dipersaudarakan dengan 45 orang Anshar.
Atas dasar kemurahan hati kelompok Anshar inilah, akhirnya mereka disinggung dalam Al-Quran.
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ
Orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.(Q.S al-Hasyr: 9)
Salah satu contoh persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar yang telah diteladankan Nabi, sebagaimana dikutip oleh Khatib di Nabawi, Dr. Abdul Bari al-Tsabiti, adalah antara Abdurrahman bin Auf (Muhajirin) dan Saad bin Abi Rabi’. (Anshar). Saad kemudian berkata kepada Abdurrahman:
إني أكثر الأنصار مالا فأقسم مالي نصفين، ولي امرأتان فانظر أعجبهما إليك، فسمها لي أطلقها، فإذا انقضت عدتها، فتزوجها”
Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya, maka aku akan membagi hartaku menjadi dua (untuk Abdurrahman). Aku juga memiliki dua istri. Maka, lihatlah mana yang lebih cantik di antara keduanya, sebut namanya, makan aku akan menceraikannya. Jika iddahnya sudah selesai, maka nikahilah dia.
Perkataan Saad tersebut bisa ditemukan dalam riwayat-riwayat hadis sahih, salah satunya dalam sahih al-Bukhari.
Tentu, khatib bukan bermaksud untuk memerintahkan plek-ketiplek meniru Saad bin Abi Rabi saat menolong Abdurrahman bin Auf, tetapi yang saya tangkap adalah bahwa kekuatan agama Islam terletak pada rasa persaudaraan. Itulah kenapa ada beberapa ayat Al-Quran maupun hadis yang menjelaskan keutamaan saling bersaudara, salah satu hadis yang saya ingat saat itu adalah sebuah hadis qudsi berikut:
إن الله عز وجل ينادي يوم القيامة: أين المتحابون بجلالي؟
اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي
“Sesungguhnya Allah memanggil-manggil pada hari Kiamat: dimanakah orang yang saling mencintai (saudaranya) karena keagaungan-Ku? Pada hari ini, aku akan menaunginya dengan naunganku pada hari tanpa naungan kecuali milik-Ku.”
Saya pun teringat ungkapan Syekh Said Ramadan al-Buthi dalam Fiqh Sirah-nya, ia menyebutkan bahwa mempersaudarakan pribumi (Anshar) dengan Muhajirin merupakan pondasi untuk membangun suatu Negara baru di Madinah. Karena setiap Negara tidak mungkin tegak dan eksis tanpa adanya persatuan umat. Sementara persatuan umat tidak akan tercapai kecuali ada hubungan kekeluargaan berupa persaudaraan dan cinta sesama.
Catatan khutbah ini juga seharusnya bisa menjadi momentum persatuan dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini. Momentum untuk membangun persaudaraan yang lebih kuat dengan sesama muslim. Nabi Muhammad Saw sudah mencontohkan, tinggal kita yang melanjutkan.
Wallahu a’lam.