Sekarang, mari kita masuk pada ranah pesan utama QS. 22:39-40 tentang penghapusan penindasan, penegakan kebebasan beragama dan pesan perdamaian. Dalam ayat ini, Nabi beserta pengikutnya mulai diizinkan untuk berperang, harus dipahami dalam konteks historis dan tekstualnya. Berdasarkan basis konteks tersebut, seseorang dapat mengatakan bahwa pesan utama dari ayat-ayat ini ternyata bukan pergi berperang, akan tetapi menghapus penindasan dan menegakkan kebebasan beragama serta perdamaian.
Dengan kata lain, perang justru bagian daripada alat untuk mewujudkan nilai-nilai moral. Ini berarti bahwa perang haruslah dihindari jika masih ada jalan non-kekerasan yang masih mungkin dilakukan. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Syahrur dalam kitabnya Taifif Manabi’ al-Irhab, Syahrur mengatakan bahwa jihad damai di jalan Allah boleh diikuti dengan peperangan hanya dalam situasi yang sangat diperlukan agar seluruh umat manusia mendapatkan kebebasan memilih, yang intinya adalah kebebasan beragama, berekspresi, menggunakan simbol keagamaan, keadilan dan kesetaraan.
Sebab itu, kita bisa memahami QS. 22:39 memerintahkan kepada Nabi dan pengikutnya untuk tidak membunuh kaum kafir yang dalam keadaan tidak siap berperang dan mereka yang menyerah secara damai kepada kaum muslim. Nabi pernah bersabda dalam riwayat Ibn ‘Abbas, “Jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang yang sudah tua, dan mereka yang menyerah kepadamu dengan damai”.
Itu artinya, dengan larangan membunuh kaum yang lemah, jelas bahwa membunuh kaum kafir bukanlah tujuan utama dari perang. Bahkan saat perang pun, Nabi dan pengikutnya hanya dibolehkan untuk membunuh kaum kafir yang melakukan penindasan kepada kaum mukmin, mereka yang tidak menerima keragaman dan mereka semua yang tidak mau menegakkan perdamaian di muka bumi ini.
Prinsip penegakan perdamaian adalah salah satu bentuk pesan utama dari tidak diperbolehkannya berperang. Perang merupakan media untuk mewujudkan perdamaian dan bukan satu-satunya jalan. Sebab itu, selama manusia dapat mewujudkan perdamaian tanpa peperangan, maka tidak diperbolehkan melakukan peperangan.
Islam memopulerkan sikap damai kepada seluruh umat manusia, tanpa mempermasalahkan keragaman agama dan budaya mereka semua. Sikap damai telah dilakukan oleh Nabi dan para pengikutnya di Madinah, di mana umat Islam dan penganut agama lain, dapat hidup berdampingan dalam harmoni.
Ada juga ayat lain yang memperintahkan kepada umat Islam untuk menjaga perdamaian dan kerukunan. Dengan demikian, apa yang seharusnya diambil dari QS. 22:39-40 adalah bukan diperbolehkannya berperang, tetai pesan perdamaian yang terkandung di dalamnya.
Banyak dari umat Islam yang terlanjur dilabeli radikal dan teroris telah menyalahpahami ayat-ayat terkait dengan perang. Kesalahpahaman mereka terletak pada satu kecenderungan bahwa mereka telah memposisikan ayat-ayat ini dalam kapasitas yang sama dengan ayat-ayat tentang perdamaian.
Menurut Sahiron, ayat-ayat al-Qur’an yang terkait langsung dengan makna perdamaian harus ditempatkan sebagai naungan dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengarah pada peperangan dan diperbolehkannya berperang. Selanjutnya, kaum radikal ini telah banyak memahami ayat tentang perang dalam sudut pandang yang sangat literal dan mengabaikan konteks historis maupun tekstualnya. Mereka gagal dalam melakukan kontekstualisasi ayat dalam kondisi kekinian.
Dalam tulisan singkat ini, saya ingin menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan QS. 22:39-40, kita perlu memahami konteks historis maupun tekstualnya, sehingga dapat menarik pesan utama yang lebih cocok dengan kondisi dan perkembangan zaman.
Sehingga, ayat yang pertama kali turun tentang diperbolehkannya melakukan peperangan adalah sebuah bentuk perintah yang sebenarnya tidak mengarah sama sekali ke ranah peperangan itu sendiri, akan tetapi sebuah nilai moral, yakni penghapusan penindasan dan menegakkan kebebasan beragama dalam suatu prinsip perdamaian yang harmoni.
Inilah yang seharusnya diaplikasikan sepanjang waktu dan tempat. Tentu berperang tetap diperbolehkan jika memang sudah tidak ditemukan alasan lain kecuali berperang itu sendiri, seperti tidak adanya solusi lagi dalam menghindari penindasan dan kebebasan. Maka umat Islam harus tetap berusaha dengan lebih mengutamakan melakukan tindakan perdamaian selama mereka bisa.
Wallahu A’lam