Pesan Dakwah Wali Songo untuk Para Da’i

Pesan Dakwah Wali Songo untuk Para Da’i

Kita menikmati agama Islam dengan damai berkat para pendahulu yang telah susah payah menyebarkan Islam di Nusantara. Salah satunya Wali Songo, sekumpulan tokoh penyebar Islam pada perempat akhir abad ke-15 hingga paruh abad ke-16.

Pesan Dakwah Wali Songo untuk Para Da’i
Ilustrasi orang yang sedang berdakwah.

Agus Sunyoto mengungkapkan, mereka adalah tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara. Ia juga mengungkapkan, setelah dakwah Islam dijalankan oleh Wali Songo, Islam berkembang pesat di kalangan pribumi.

Selain kegigihan, ada strategi dakwah yang menarik digunakan Wali Songo, hingga Islam berkembang pesat di Jawa bahkan Nusantara. Wali Songo merumuskan strategi dakwah secara matang dan sistematis, terutama ketika menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara yang kental di masyarakat. Mereka mampu menyampaikan agama melalui budaya masyarakat, kesenian lokal yang populer pada masanya dengan metode yang bijak tanpa meruntuhkan substansi ajaran Islam.

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A dalam pengantar buku Atlas Wali Songo menjelaskan, setidaknya ada dua strategi pengembangan ajaran Islam oleh Wali Songo. Pertama, tadrij (bertahap). Wali Songo menyesuaikan dengan adat dan budaya masyarakat sekitar. Bahkan, tidak jarang adat istiadat masyarakat setempat secara lahir bertentangan dengan Islam, tapi itu menurut Kiai Said adalah sebuah strategi. Ia mencontohkan, mereka dibiarkan minum toak, makan babi, atau memercayai para danyang, namun secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan.

Kedua, adamul haraj (tidak menyakiti). Para wali, menurut Kiai Said, membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, tapi memperkuat dengan cara yang islami. Mereka menganggap kekayaan terhadap budaya, etnis, bahasa adalah anugerah yang diberikan Alah Swt. Kekayaan alam yang diberikan-Nya untuk Nusantara patut disyukuri dengan melestarikan dan dikembangkan. Itulah sebab, budaya serta adat dan istiadat masih melekat pada masyarakat Indonesia saat ini.

Mengajarkan Islam Secara Dinamis

Wali Songo memahami bahwa mengenalkan Islam tidak hanya melalui masjid, surau atau pondok pesantren. Jauh dari pada hal itu, Wali Songo selain menggunakan jalur kekeluargaan, mereka juga menggunakan media yang dekat dengan masyarakat. Media yang dekat dengan masyarakat pada saat itu adalah pertunjukan seni dan budaya. Seni pertunjukan menjadi media alternatif untuk dekat dengan masyarakat. Berbeda ketika para tokoh Wali Songo menyebarkan Islam hanya melalui lembaga pendidikan atau masjid, mereka tidak menjangkau masyarakat secara luas.

Salah satu seni pertunjukan tertua yang tercatat dalam Prasasti Balitung berangka tahun 829 Saka (907 Masehi), seperti yang dikutip oleh Agus Sunyuto adalah wayang yang digelar untuk Tuhan. Wayang menjadi seni pertunjukan yang dekat dengan masyarakat pada saat itu. Selain sebagai fungsi ritual yang berkaitan dengan keagamaan Hindu-Budha, wayang juga menjadi media hiburan bagi masyarakat. Tempat orang banyak berkumpul salah satunya adalah pertunjukan wayang.

Wali Songo memahami wayang sebagai media strategis untuk dekat dengan masyarakat. Dalam usahanya menyebarkan Islam melalui kesenian, Wali Songo mampu menyampaikan pesan Islam ke dalam dunia pewayangan. Bahkan Sunan Kalijaga dikenal sebagai reformasi bentuk wayang yang semula berbentuk gambar manusia, kemudian direformasi dengan gambar dekoratif seperti sekarang yang kita lihat. Sunan Kalijaga juga memunculkan tokoh-tokoh kuno seperti Semar, Petruk, Bagong, Togog dan Bilung sebagai punakawan.

Strategi dakwah lainnya Wali Songo khususnya Sunan Kalijaga dalam pertunjukan wayang adalah dengan membayar dengan dua kalimat syahadat. Karena dengan membayar dua kalimat syahadat, Sunan Kalijaga berkeliling ke berbagai tempat. Masyarakat yang ingin mengadakan seni pertunjukan wayang dengan dalang Sunan Kalijaga, mereka cukup dengan membayar dengan membaca dua kalimat syahadat.

Bagi masyarakat di luar Islam, dua kalimat syahadat merupakan hal yang murah untuk mengadakan pertunjukan wayang. Namun bagi para pendakwah, dua kalimat syahadat sangat berarti untuk mengenalkan dan menyebarkan Islam. Sehingga tidak heran apabila cakupan dakwahnya Sunan Kalijaga sangat luas cakupan dan pengaruhnya.

Selain wayang, kesenian atau yang digunakan untuk menyebarkan Islam para Wali Songo adalah melalui tembang, pengobatan, alat kesenian hingga suluk. Wali Songo pada saat itu sangat modern dalam menyampaikan Islam kepada masyarakat luas. Mereka menggunakan media yang dekat dengan masyarakat untuk mengenalkan Islam. Strategi dakwah Wali Songo tersebut menjadi pesan bagi para pendakwah Islam untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengenalkan Islam kepada khalayak umum.

Wayang saat ini mungkin dianggap banyak orang sebagai pertunjukan kuno, namun modern dan strategis untuk media dakwah pada saat itu. Para tokoh Wali Songo memahami substansi dari ajaran Islam kemudian memadukan dengan budaya yang populer di masyarakat. Mereka tidak membawa “produk” budaya Islam, melainkan membawa ajaran-ajaran Islam kemudian dipadukan dengan hal yang melekat di masyarakat.

Islam yang diajarkan oleh Wali Songo sangat dinamis. Apa yang menjadi kesukaan masyarakat, kemudian dimasukkan nilai-nilai Islam sehingga apa yang dikerjakan oleh masyarakat bernilai ibadah. Itulah salah satu kesuksesan Wali Songo dalam menyebarkan Islam, ia memahami ajaran Islam secara mendalam dan menyesuaikan dengan budaya yang berkembang.

Pesan dakwah yang disampaikan oleh Wali Songo dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Misalnya Sunan Ampel yang waktu itu diminta untuk memperbaiki akhlak masyarakat Majapahit, namun mengajarkan Islam melalui pesan yang sederhana. Ia mengenalkan ajaran Islam dengan pesan Moh Limo (lima perkara yang harus ditinggalkan). Di antara pesan moh limo adalah tidak judi, tidak minum miras, tidak mencuri dan tidak berzina.

Kepada masyarakat umum yang belum mengenal Islam, Sunan Ampel tidak mengajarkan Islam dengan berat. Ia tidak menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an terlebih dahulu, melainkan lebih pada falsafah Jawa bisa diterima banyak masyarakat. Kemudian setelah masyarakat menerima ajaran tersebut, baru mengenalkan Islam secara mendalam melalui Al-Qur’an atau hadits.

Nur Solikhin, Penulis adalah Alumni UIN Sunan Kalijaga dan Pegiat Komunitas Santri Gus Dur Yogyakarta.