Dalam aplikasi Whatsapp di gawai saya, hampir tidak pernah berhenti masuk pesan singkat melalui beberapa WAG (Whatsapp Group). Beberapa akun WAG tersebut mengidentifikasi diri mereka dengan warna keislaman, ini terlihat dari nama dan pesan yang dikirimkan yang terus menerus hampir tidak pernah berhenti dan tidak ada waktu libur. Pernah terlintas sebuah pertanyaan banyolan di benak saya, berapa dana yang harus dikeluarkan oleh admin grup tersebut dalam memproduksi dan menyebar pesan tersebut. Ah, abaikan saja gurauan saya.
Whatsapp, sebagaimana kita ketahui adalah bagian dari internet, yaitu sebuah dunia baru atau ruang publik baru dalam kehidupan manusia modern. Kehadiran internet banyak merubah struktur kehidupan manusia, termasuk keberagamaan. Cerita soal pesan singkat di atas adalah salah satu dari contoh bagaimana internet mengubah model transmisi keilmuan yang dulunya kaku dan masih terbatas pada pertemuan fisik, sekarang sudah berubah hingga berimbas lunturnya otoritas keagamaan hingga bisa diperankan oleh orang-orang yang belum menguasai ilmu keislaman secara menyeluruh.
Felix Siauw dan beberapa anak muda di bawah panji YukNgaji!, merupakan salah satu kelompok yang cukup getol dan rutin menyebarkan pesan-pesan berbau agama di dunia maya. Bahkan pesan yang disebar oleh kelompok ini bisa menjangkau kalangan anak muda atau millenial dan kelas menengah, dengan jumlah yang cukup banyak dari dua kalangan ini membuat pesan Islam di dunia maya seakan didominasi dengan selera mereka.
Pesan agama jika tidak dibungkus dengan selera dua kelompok tersebut, maka akan dianggap ketinggalan dan tidak akan mempengaruhi keberislaman sekarang ini. Pesan agama yang juga cukup mendapatkan atensi dari netizen adalah yang berbalut kondisi politik sekarang ini. Kondisi segregasi masyarakat yang parah dalam bingkai pilihan politik, membuat pesan agama yang berbau politik, khususnya pilpres, juga sangat digemari oleh masyarakat.
Dari kedua belah pihak pendukung kontestan pilpres memiliki kesamaan sikap saat berhadapan dengan ceramah agama yang dibungkus dengan isu politik, yaitu mencaci bahkan menghardik kalau ada yang kontra dengan pilihan politiknya dan menyebarkan dengan sekuat tenaga jika mendukung atau sesuai dengan dukungannya. Perilaku ini seakan lazim di antara kedua “fans club” kedua kontestan pilpres, bahkan ini selalu menghiasi linimasa kita sebagai salah satu warga dunia maya bisa dikatakan tanpa jeda.
Vitalitas pesan agama di dunia maya seakan tidak pernah kehabisan nafas atau tenaga untuk selalu berseliweran untuk mempengaruhi pikiran dan keberagamaan kita. Pesan agama yang tersebar melalui medium internet sering diasumsikan oleh banyak pengamat sebagai pesan yang dangkal dan bernuansa biner yang akut, sehingga bisa memperparah atau menimbulkan potensi konflik di dunia yang sesungguhnya.
Ada satu hal yang sering diabaikan oleh peminat dan pengamat dunia maya adalah pihak penerima pesan, dalam hal ini masyarakat. Kita sering beranggapan bahwa masyarakat sebagai penerima pesan yang pasif, memang prasangka ini tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya betul. Banyak hal yang mempengaruhi dalam proses penerimaan sebuah pesan oleh masyarakat. Dari kemampuan menyerap, mengartikulasi, kecepatan pesan dan penerimaan, latar belakang keilmuan dan sejarah hidup, dan masih banyak lagi, tapi yang lebih penting adalah masyarakat masih memiliki kebebasan dalam memilah dan menyeleksi informasi yang diterimanya setiap waktu.
Dalam celah yang sangat sempit, manusia sekarang masih sulit beradaptasi dengan kecepatan informasi yang diterimanya dalam waktu yang sama, oleh sebab itu manusia lebih banyak berperan sebagai penerima pasif yang menerima langsung tanpa proses pemikiran yang mendalam. Memang dalam proses penerimaan dan pencerapan informasi setiap manusia pasti berbeda-beda, tapi keadaan ini tidak lantas membuat pesan tersebut bisa menjadi asal dari sebuah gerakan massa.
Aksi 212 tidak mungkin bisa sebesar itu, walau jumlah masih terus diperdebatkan, tanpa peran media yang menyebarkan pesan tersebut ke seluruh umat muslim saat itu, baik yang ikut atau tidak. Tapi, dalam proses penyebaran pesan tersebut masyarakat juga terus didorong dan dipaksa berubah ke dalam bingkai yang sama dengan kelompok yang mendominasi dalam perbincangan di internet, yaitu kelas menengah.
Pesan agama di berbagai platform media sosial sekarang lebih didominasi model kelas menengah, yang lebih menonjolkan sisi gaya hidup dan pencitraan saja. Maka itu pesan agama lebih menonjolkan ritual, seperti di mana shalat jumat, hari puasa, model berwudhu, atau pakaian yang dikenakan, akan lebih disukai dan sering diviralkan. Ini membuat budaya keislaman kita di media sosial lebih banyak berbincang dalam hal-hal yang artifisial (dalam bahasa Baudrillard “tontonan).
Memamerkan citra dan imaji ini akhirnya menggeser isu konflik agraria, perebutan lahan di perkotaan, atau penindasan pada kelompok rentan. Inilah yang disebut oleh Hew Wei Weng dengan “Gentrifikasi Religius”, sebuah lema yang merujuk pada perubahan budaya yang disebabkan kehadiran dari kelas menengah dalam sebuah daerah. Hal ini juga yang terjadi dalam keberagamaan kita sekarang ini, melalui pesan agama yang diterima terus menerus setiap hari, kita sebagai masyarakat terus direcoki untuk terus berubah menuju satu bingkai yaitu pencitraan dan imaji saja.
Inilah yang harus dilawan, kita harus mulai kembali bergelut dengan persoalan yang nyata dalam kehidupan, ketimbang bergelut dalam hal artifisial. Setuju?
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin