Memasuki dekade ini, dunia digemparkan dengan berbagai persitiwa yang mencengangkan. Di wilayah Jakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia terjadi banjir yang memakan banyak korban, baik jiwa maupun materi. Puluhan rumah dan bangunan hancur, hanyut diterjang gelombang air setelah hujan deras dan puluhan nyawa terenggut. Pun demikian yang terjadi pada negara tetangga kita di benua Kanguru, Australia.
Jika Indonesia setiap tahunnya banyak daerah yang mengalami musibah banjir, Autralia selalu dilanda kebakaran. Kobaran api yang mengamuk di pergantian tahun ini diperkirakan telah memakan korban tidak kurang dari 1 miliar satwa. Per-tanggal 5 januari, tercatat seluas 600.000 hektar lahan yang telah terbakar. Kebakaran ini merupakan yang terburuk sejak 169 tahun yang lalu.
Belum lagi soal Iran versus Amerika yang main petak umpet tembak-tembakan. Sungguh pembukaan awal tahun yang spektakuler dan membuat masyarakat dunia khawatir, bukan?
Kembali soal bencana alam di pembukaan tahun 2020 ini. Keduanya memang merupakan sebuah bencana alam, Namun, dari kedua persitiwa tersebut isu yang ramai dan menjadi perhatian faktanya tidak lah sama. Pada kasus pertama, khususnya di Jakarta, masyarakat lebih menyoroti tentang kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah provinsi yang dirasa kurang tepat dan tanggap dalam usahanya untuk mencegah banjir. Meskipun isu ecology, seperti alih fungsi lahan dan climate change, juga tetap tidak bisa dipisahkan.
Sedangkan pada persitiwa yang kedua, sependek pengamatan saya, isu yang muncul secara umum adalah soal lingkungan, chlimate change, yang menjadi faktor dominan dalam memperparah eskalasi wilayah terdampak bencana.
Terlepas dari isu apa yang lebih ramai diperbincangkan terkait dua peristiwa tersebut, saya melihat bahwa salah satu faktor penting yang berkontribusi atas terjadinya kedua bencana tersebut dengan skalanya yang luar biasa adalah kurangnya kesadaran kita terhadap lingkungan.
Pada kasus banjir di beberapa wilayah di Indonesia misalnya, tanpa menafikan faktor-faktor lainnya, selain kebijakan yang tepat dari pemerintah, masyarakat sepatutnya juga turut ambil bagian dalam usaha untuk mencegah terjadinya bencana. Setidaknya, langkah tersebut bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan sehingga tidak ada lagi sampah yang kiranya dapat meningkatkan resiko terjadinya banjir.
Terkait dengan isu lingkungan, saya teringat sebuah diskusi round table yang diselenggarakan oleh program studi CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies), UGM pada tahun 2017 lalu. Dalam forum tersebut, Dr. Zainal Abidin Baagir menyinggung soal isu-isu ekologi, climate change dan kurangnya kesadaran dan perhatian masyarakat kita tentang hal tersebut.
Yang menarik, salah seorang peserta kemudian bertanya yang kurang lebih esensinya seperti berikut; bukankah memang sudah menjadi sunnatullah kalau lambat laun bumi ini akan mengalami banyak kerusakan sebagaimana yang dijelaskan di doktrin-doktrin agama (Alquran dan Hadis); jika sudah demikian, tidak perlu untuk mengkampanyekan kesadaran terkait isu lingkungan. Toh, pada saatnya jika masyarakat menyadari banyaknya kerusakan yang terjadi, mereka tentunya akan menanggapi dan berusaha untuk memperbaikinya.
Menanggapi pertanyaan demikian, Baagir menjawab dengan sebuah pertanyaan reflektif dan kritis. Dia mengatakan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perubahan iklim sebenarnya sudah sangat nyata dan sudah saatnya mendapatkan perhatian khusus. Sehingga banyak kalangan mengkampanyekan kesadaran dan kepedulian terhadap isu ekologi. Jika sebuah masyarakat memandang bahwa kampanye ekologi tidak perlu, jangan-jangan masyarakat tersebut tidak tahu atau justru abai terhadap kondisi lingkungan yang sudah sedikian ini.
Dari pernyataan Baagir tersebut, saya lantas berpikir bisa jadi yang dia sampaikan memang sebuah realitas masyarakat kita saat ini yang memang masih banyak–bukan semua–masih kurang peduli dan kurang memperhatikan terhadap isu-isu lingkungan.
Asumsi saya tersebut diperkuat oleh temuan YouGov-Cambrigde Globalism Project, sebagaimana yang dilansir oleh The Guardian, berdasarkan surveinya yang menyatakan 18 persen responden Indonesia menyadari adanya pemanasan global, namun tidak mengakui bahwa manusia adalah salah satu penyebabnya.
Sikap abai masyarakat kita terhadap lingkungan, bisa dilihat pula dari kasus sampah–meskipun tidak mengherankan–Indonesia berhasil menempati posisi kedua sebagai penghasil sampah terbesar di dunia setelah China.
Pada tahun 2019, jumlah sampah yang dihasilkan Indonesia diperkirakan sekitar 66-67 juta ton. Dari jumlah tersebut, ironinya, yang berhasil mendarat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) diperkirakan hanya 60-40% sedangkan sisanya terbuang sembarangan.
Akhirnya, melihat kenyataan yang demikian dan dampak yang mampu dihasilkan, maka sudah saatnya kita mulai untuk mencintai lingkungan sekitar. Tentunya hal yang demikian bisa diawali dengan perkara-perkara kecil, seperti mengurangi penggunaan plastik, tidak membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya.
Demikian halnya, pemerintah juga seharusnya melihat dengan jeli dalam membuat kebijakan yang, baik langsung atau tidak langsung, berdampak pada lingkungan. Dengan mempertimbangkan bahwa keseimbangan lingkungan juga menyangkut kelangsungan dan hajat hidup orang banyak, hendaknya hal tersebut juga menjadi bagian dari pertimbangan serius; bukan melulu soal investasi dengan profit yang mampu dihasilkan.
Wallahu a’lam…