Perubahan Berkat Kiai Sandiaga Uno

Perubahan Berkat Kiai Sandiaga Uno

Mungkin lantaran kurang berbobot relijius, predikat ulama yang seharusnya lahir secara alamiah dari rahim sosial umat pun dinobatkan kepada seseorang yang belum pernah menempuh jalan pendidikan ilmiah-relijius semacam pesantren.

Perubahan Berkat Kiai Sandiaga Uno
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Saat nyantri di Al-Anwar di Sarang, Rembang, kebiasaan saya di Kudus (pesantren saya sebelum ke sana) masih saya terapkan, yaitu salat Dluha. Bersedekap menghadap kiblat di gothak’an kamar, saya khusyuk bersembahyang. Teman sekamar saya ada yang muthola’ah kitab bersama kawan yang lain, ada pula yang nambal kitab, ada pula yang tidur (karena semalaman terjaga menghafal Alfiyah atau mempelajari kitab). Sayup-sayup saya dengar ada orang yang ingin melucu tentang aktivitas saya:

“… Kang, nanti kalau Rumail jadi wali, tolong aku dikasih tahu, ya.” Celetuk salah seorang, dan saya jadi bulan-bulanan tertawaan sekamar.

Di Kudus saya rajin salat Dluha, bahkan Dala’il Quran (puasa setahun penuh dengan mengkhatamkan Quran sekali dalam sebulan), dan Dala’il Khairat (puasa minimal tiga tahun penuh; sehari batal, maka harus dimulai dari awal).

Lama di Sarang baru saya tahu bahwa tirakat dan riyadlah (pelatihan) yang harus ditempuh seorang santri Sarang adalah belajar, belajar, dan belajar. Urusan ritual bukannya tidak menjadi perhatian, tapi perkara yang paling diprioritaskan adalah belajar.

Adakah yang salah ketika saya salat Dluha? Tidak ada! Salat Dluha hukumnya sunnah, namun belajar hukumnya wajib bagi santrinya Mbah Maimoen Zubair. Maka perbanyaklah belajar dan muthla’ah, urusan ibadah sunnah bisa nanti di rumah.

Saat Kiai Said memberikan tabayun di Jawa Timur di depan kiai-kiai muda NU, beliau sempat melucu (aw kama qaal):

“…Saya dua jam diskusi dengan Ahmad Musadeq (orang yang mengaku dirinya sebagai nabi), dan dia akhirnya bertobat (mencabut pengakuannya sebagai nabi). Jadi kalau Anda semua ini masih di majelis ulama, saya ini udah di level diskusi sama majelis anbiya (para nabi).”

Ketawa saya pecah. Kenabian sudah selesai dengan wafatnya Kanjeng Nabi Muhammad, namun Kiai Said melontarkan banyolan tentang dirinya berdiskusi dengan nabi Allah. Berhasil membuatnya bertobat, pula.

Ada pula kisah menarik ketika saya sowan ke kediaman Gus Yahya Staquf. Jelang Jumrah, Gus Yahya bercerita, ada seorang haji asal Indonesia yang bertubuh ringkih berebut batu Jumrah dengan jemaah haji negara lain yang memiliki tubuh beragam, namun jelas relatif lebih besar dari tubuhnya. Tentu Anda bisa membayangkan bagaimana kesulitan yang dihadapi orang tadi dalam menjumput kerikil.

Masalah tidak hanya di sana. Saat prosesi lempar Jumrah, waktu sedang konsentrasi-konsentrasinya mengarahkan kerikil, tangannya kesenggol hingga kerikilnya jatuh. Tidak hanya kerikil, tubuhnya pun terjatuh. Ia berdiri dan mengulangi lagi, kesenggol lagi, dan kerikilnya jatuh lagi. Kali ini tubuhnya tak ikut terjatuh. Ia ulangi, begitu lagi. Terus sampai entah berapa kali. Hingga di puncak kaku ati, ia pun menjerit:

“Ya Allah Gusti!!! Ibadah merek apa ini?!

Sontak, kami yang mendengar kisah ini terbahak-bahak. Dan tak selesai di cerita, Gus Yahya pun mengabadikannya di blog Terong Gosong dengan sangat provokatif (judulnya): Omong Kosong Haji.

Baik banyolan di atas, bagi telinga orang NU yang tidak hanya mewarisi ilmu dari kiai-kiai tradisional namun juga mewarisi tradisi-tradisi melucu, humor semacam ini di area warung-warung kopi santri bukanlah barang baru. NU punya diskografi yang melimpah tentang humor dan hikayat kiai-kiai yang pandai melucu. Jadi cukup tragis jika sampai ada orang NU yang pethentengan meladeni humor dan melucu. Kita sampai meledek orang model begini dengan timpalan: kopimu kurang kental, atau warung kopimu kurang jauh, Kang!

Jadi, predikat yang diberikan kepada Sandiaga Uno (awalnya santri, kemudian naik daun jadi ulama) seharusnya dipahami sebagai banyolan. Pendekatan intelektual terhadap pelabelan ulama di Indonesia memiliki keterbatasan secara moral dan sosial, karena tidak bisa diberikan kepada sembarang orang selain menguasai ilmu agama Islam kendati di bidang lain dia sangat pakar.

Oleh karenanya kita tidak menemui di gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ada ahli nuklir di sana dan kita sebut dia dengan ulama. Bahkan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak didapatkan seorang yang menguasai eksogeologi atau astrogeologi di sana dan dia disebut ulama.

PREDIKAT BANYOLAN

Kenapa kata “ulama” sedang jadi buah bibir? Paling tidak lantaran dua peristiwa, yaitu: ijtima’ ulama II, dan penobatan Sandiaga Uno sebagai “ulama”.

Peristiwa pertama tidak begitu masalah di telinga. Karena ijtima’ ulama (baca: ngumpul-ngumpul) bukanlah perkara asing dan terjadi tidak hanya sekali-dua. Sebagaimana manusia pada lazimnya, ijtima’ adalah aktivitas sosial yang lumrah dan dapat dilakukan oleh segala macam jenis manusia.

Peristiwa kedua, bagi muslim terpelajar, menjadi cukup kurang nyaman secara istilah karena kalimat ulama yang sangat sakral itu akhirnya dibanderol secara “murah” dan nampak sekali direnungi (jika benar melalui perenungan) secara instan demi seorang Sandiaga Uno.

Mungkin lantaran kurang berbobot relijius (secara politis kubu lawan mengusung ulama tulen), predikat ulama yang seharusnya lahir secara alamiah dari rahim sosial umat pun dinobatkan kepada seseorang yang belum pernah menempuh jalan pendidikan ilmiah-relijius semacam pesantren.

Tulisan ini tidak sedang memperdebatkan apakah predikat ulama cukup layak diberikan kepada selain agamawan, karena secara harfiah kata ulama (singular: alim [pakar]) memiliki makna yang tidak tunggal. Sama tidak tunggalnya kata kafir ketika dimaknai secara harfiah: tidak menutup kemungkinan bakal menjadi predikat bagi orang yang menolak bersyukur (kufr ni’mah; sedangkan maksud teologis dari kafir adalah: non-muslim).

Suatu ketika, dulu sekali, saya sempat mengusulkan keberatan pada pelabelan kafir kepada non-muslim karena kurang lagi relevan dalam lanskap demokrasi di Indonesia. Hak teologis umat muslim memberikan peluang yang besar untuk pelabelan itu, namun sebaiknya dalam ranah privat dan di lingkungannya sendiri. Jika sampai disuarakan dalam ranah publik, di tengah beragamnya pemeluk keyakinan di Indonesia, keberanian macam ini bisa menimbulkan banyak masalah.

Dan yang saya terima adalah berbagai macam penyangkalan. Banyak yang tidak menerima ulasan intelektual yang saya berikan, dan tidak sedikit yang menolak motivasi sosial saya kenapa definisi kafir tidak saya sempitkan kepada non-muslim saja.

Barisan yang menolak proposal saya ini adalah orang-orang yang sama mencibir Gus Yaqut ketika melabeli Basuki “Ahok” Purnama dengan Sunan Kalijodo, dan nyinyir dengan grup band Slank yang diberi gelar kehormatan sebagai Duta Santri.

Dalam tradisi intelektual santri yang sangat mengerti arti dari Sunan, seharusnya mampu menangkap bahwa Sunan Kalijodo adalah diberikan secara benar dalam maknanya yang tidak tunggal, namun sebenarnya menerima peluang (lagi-lagi) untuk disebut sebagai banyolan. Berbeda dengan Duta Santri. Kadang-kadang gelar kehormatan diberikan kepada liyan lantaran beberapa pertimbangan.

Tulisan ini hanya ingin mengabarkan kepada para pembaca bahwa barisan yang dulu menolak proposal saya di atas, mencibir Gus Yaqut, dan nyinyir kepada predikat kehormatan Slank, ternyata sudah mulai membuka diri secara intelektual dalam pelabelan ulama kepada Sandiaga Uno. Ada yang sudah mulai liberal dalam penjelasan-penjelasan non-tekstual.