Persekusi Rohingya: Agribisnis, KTP dan Konflik Agraria

Persekusi Rohingya: Agribisnis, KTP dan Konflik Agraria

Persekusi Rohingya: Agribisnis, KTP dan Konflik Agraria

Perkara konflik agraria bukan hanya persoalan di Indonesia. Negara Tetangga yang sedang mendapatkan sorotan karena diduga melakukan pembersihan etnis seperti Myanmar mengalami hal serupa. Terdapat sekitar 135 etnis di Myanmar yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Presentasi etnis minoritas di Myanmar sangat tinggi, mencapai angka 30-40%. Salahsatu diantaranya adalah Etnis Rohingya.

Menjelang tahun 2000an, penyitaan lahan untuk agribisnis di Myanmar meningkat dengan total hampir dua juta hektar dialokasikan ke sektor swasta oleh penguasa militer. Kesepakatan dan rekomendasi Undang-Undang lahan serta investasi baru, menguntungkan investor perusahaan besar bukan petani kecil. Ditambah, sebagian besar petani di Myanmar merupakan petani penggarap (subsisten).

Sejak kemunculan pemerintahan Thein Sein pada bulan maret 2011, isu-isu pertanahan (diantara isu-isu lain mendesak) telah menjadi agenda politik Nasional. Sehingga terjadi demonstrasi oleh komunitas petani diseluruh Negeri melawan perebutan lahan. Ditahun yang sama setelah resmi menjadi presiden, Thein Sein menyatakan niatnya mengundang investasi asing untuk membangun masyarakat dan negaranya. Tentu saja, ujaran ini tidak asing ditelinga rakyat Indonesia. Padahal Proyek jalur Pipa Yadana dengan nilai investasi 1 Miliyar Dollar hanya menyerap 800 tenaga kerja. Mitos investasi yang mensejahaterakan kembali berlanjut.  

Pada tahun 2012, pemerintah Myanmar membatalkan Undang-Undang Pertanian yang dibuat tahun 1962 (Pemerintahan sosialis) untuk melindungi hak atas tanah petani di seluruh negri. Ditahun yang sama, sebuah undang-undang Pertanahan Baru menetapkan kerangka hukum untuk perebutan lahan lebih lanjut. UU Tanah Pertanian (Farmland) menetapkan bahwa tanah bisa dibeli secara legal, dijual, dan dipindahkan ke pasar tanah dengan sertifikat penggunaan lahan. Hal ini merupakan sinyal bahwa pemerintah mengadakan grosir tanah terhadap “Hak kepemilikan Swasta bergaya Barat (individual) yang menilai tanah dan sumber daya alam” sebagai asset ekonomi, dibandingkan dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia terhadap penggunaan, pengelolaan, tata kelola lahan dan sumber daya alam.

Sumber daya yang dikelola masyarakat, seperti hutan desa, perairan, kolam ikan dan lahan penggembalaan juga rentan terhadap penyitaan, walaupun sangat penting bagi penghidupan dan keamanan pangan setempat, terutama untuk rumah tangga rentan. Petani-petani kecil diberi label sebagai ‘penghuni liar’ di bawah hukum ini. Undang-undang tersebut mengizinkan total area untuk tanaman industri sampai maksimum 50.000 hektar untuk sewa tiga puluh tahun, dengan kemungkinan untuk pembaharuan.

Perebutan lahan dan spekulasi lahan oleh perusahaan domestik dan internasional dan elit politik lokal semakin didorong oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang baru, yang disahkan pada tanggal 1 November 2012–setelah berbulan-bulan berdebat sengit di parlemen dan asosiasi bisnis negara tersebut. Meski masih ada beberapa kendala investasi bagi perusahaan asing, undang-undang tersebut telah memberikan langkah-langkah hukum liberalisasi untuk menarik Investasi Langsung Asing (PMA) ke dalam negeri, terutama di sektor ekstraksi sumber daya alam dan agribisnis.

Proyek pembangunan berskala besar lainnya oleh investor asing juga menyebabkan perebutan lahan dan pemindahan masyarakat lokal. Banyak dari kesepakatan ini dibuat oleh pemerintah militer sebelumnya. Termasuk pembangunan jaringan pipa gas China milik darat dari pelabuhan laut baru di Kyaukphyu di Negara Bagian Rakhine di Teluk Benggala ke Kunming, ibukota Provinsi Yunnan China. Jalur pipa sepanjang 1.100 kilometer tersebut akan melewati wilayah Rakhine yang saat ini terlibat dalam konflik agraria. Proyek tersebut dikecam oleh masyarakat yang terkena dampak lokal.

konflik baru di Negara Bagian Kachin sejak Juni 2011 juga mengakibatkan pengungsian 100.000 warga di Myanmar timur laut. Meskipun pada dasarnya tidak terkait pemberontakan, 100.000 warga sipil lainnya – kebanyakan Muslim – telah mengungsi dalam kerusuhan komunal selama beberapa tahun di negara bagian Rakhine, di mana gencatan senjata telah disepakati oleh pemerintah dengan kekuatan oposisi etnis Rakhine. Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman ini, etnis minoritas seringkali berada dalam posisi sulit untuk mengklaim hak atas tanah melalui kartu  Warga Negara.

KTP di Myanmar tidak hanya memberikan hak kewarganegaraan, namun termasuk hak untuk memperoleh hak penggunaan lahan formal. “Kepemilikan tanah sulit, karena sebagian besar penduduk desa terdaftar sebagai kelompok oposisi bersenjata, bukan bagian dari pemerintah pusat,” jelas seorang pekerja komunitas Karen (KNU – sebuah kelompok oposisi etnis bersenjata). Ia menambahkan bahwa KNU sedang berusaha menegosiasikan sertifikat tanah dalam perundingan damai, karena banyak warga yang kehilangan dokumen ketika konflik senjata berlangsung. Profesor Sosiologi di Universitas Columbia, Saskia Sassen bahkan menambahkan bahwa tragedi kemanusiaan di Myanmar lebih disebabkan oleh perebutan lahan tanah daripada suatu konflik agama.  

Perang sipil di Myanmar termasuk paling lama, mencapai lebih dari 60 tahun sejak kemerdekaan yang diberikan Inggris tahun 1948. Solidaritas Muslim diseluruh dunia terhadap etnis Rohingya disatu sisi telah mencapai derajat tertentu sehingga pemerintah pusat Myanmar mendapatkan tekanan Internasional. Disisi lain, penyebaran informasi hoax tentang keadaan warga Rohingya di Myanmar akan menyebabkan kebencian liar, yang bisa menyebabkan konflik lain ditempat yang tidak bisa ditebak. Persoalannya, terdapat dua pemerintahan disini, sehingga setiap pihak bisa menyalahkan pihak lain ketika tragedi kemanusiaan terus terjadi.

Investasi asing yang melahirkan konflik agraria di Myanmar tidak pernah menjadi sorotan. Alasan utamanya disebabkan karena, baik para oposisi bersenjata maupun pemerintahan militer, percaya pada mitos bahwa investasi asing akan mensejahterakan masyarakat. atau dengan kata lain, memperkuat pemerintahan mereka masing-masing dengan dana asing.

Selain melakukan upaya diplomatik dan strategis, ada baiknya kita (di Indonesia) menghitung dengan jeli, berapa hektar tanah adat dirampas oleh investasi asing dengan bantuan Negara. Sehingga ketika para diplomat melakukan aksi retorikanya dipanggung internasional, telunjuk yang sama akan mengarah pada negeri ini.