Pernahkah Rasulullah Berkata Kasar? Catatan Untuk Ustadz Ahmad al-Habsyi

Pernahkah Rasulullah Berkata Kasar? Catatan Untuk Ustadz Ahmad al-Habsyi

Pernahkah Rasulullah Berkata Kasar? Catatan Untuk Ustadz Ahmad al-Habsyi
Ustadz Ahmad al-Habsyi (Poto Merdeka.com)

Narasi mengenai kebolehan seorang muslim bersikap kasar terhadap sebagian kelompok, bukanlah narasi baru, yang dibawakan oleh sebagian penceramah di Indonesia. Landasan yang mereka yakini adalah Rasulullah SAW sebagai panutan umat islam tidak hanya bersikap lemah lembut, namun di sebagian kesempatan beliau juga bersikap keras kepada sebagian kelompok dengan kriteria tertentu. Yang perlu menjadi catatan standar kriteria seorang muslim diperbolehkan berujar kasar ataupun bersikap kasar adalah mereka yang berbeda ijtihad pendapat dengan mereka.

Untuk melegitimasi narasi yang coba mereka gulirkan kepada publik, banyak dari mereka yang mencoba mengutip ayat Al-Qur’an atau Hadis Nabi SAW, yang dalam pandangan mereka sesuai dengan narasi tersebut. Namun, sayangnya dalam proses pengutipan ayat Al-Qur’an ataupun Hadis Nabi SAW, banyak sekali dari mereka yang keliru dalam memahami Ayat Al-Qur’an maupun Hadis Nabi SAW.

Diantara contoh dari kasus tersebut, adalah kekeliruan penceramah Haikal Hasan ketika mengutip beberapa ayat Al-Quran yang berbunyi ” قولا سديد”, namun dalam bacaan yang dibacanya ia malah mengganti konsonan “س” dalam ayat tersebut dengan konsonan “ش”. Meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf, namun patut kita beri catatan bahwasannya kekeliruan tersebut sangatlah berakibat fatal dalam cara memahami ayat, yang semestinya “قولا سديد” dimaknai perkataan yang benar, atau perkataan yang lurus, malah dimaknainya dengan perkataan yang keras. Entah ketidaktahuannya yang menyebabkan kekeliruan tersebut, atau karena semangat menggebunya untuk melegalkan narasi yang coba ia gulirkan bersama koleganya.

Meskipun ketika itu Haikal Hasan telah gagal dalam upaya legalisasi narasi mereka, masih saja bermunculan penceramah – penceramah lain yang mencoba melegalkan narasi tersebut. Di antara yang terbaru dan sedang viral di medsos adalah pernyataan Ahmad Al-Habsyi dalam video yang berdurasi kurang lebih 57 detik.

Dalam video yang berlatarbelakang Masjid Nabawi, tanpa tahu malu Al-Habsyi memulai videonya dengan kata-kata yang tidak etis jika diucapkan oleh seorang penceramah, apalagi latar belakang pengambilan video tersebut adalah Masjid Nabawi, tempat suci yang seharusnya terjaga dari kata–kata ataupun perbuatan yang tidak baik. Lalu di akhir video Al-Habsyi mulai menyinggung narasi bahwasannya Nabi SAW juga pernah kasar.

Dengan bangganya ia mengatakan “ada yang bilang Nabi SAW ga pernah kasar, siapa bilang? Ada hadis loh, Nabi pernah memanggil suku khawarij dengan apa? كلاب النار  anjing-anjingnya neraka” lalu dengan landasan hadis tersebut ia kembali mencoba menegaskan narasi bahwasannya ada saatnya seorang muslim boleh lembut, ada saatnya boleh tegas, ada saatnya pula boleh kasar kepada orang-orang yang tidak tahu malu di hadapan Allah.

Pertanyaannya bisakah hadis tersebut dijadikan landasan narasi yang mereka gulirkan? Apalagi sepertinya sasaran yang mereka tuju yang mereka anggap pantas dikata–katai secara kasar adalah orang  yang menurut mereka menyalahi ijtihad politis mereka dalam upaya mencegah presiden petahana menjabat kembali.

Dalam masalah validitas hadis tersebut, terdapat perbedaan pendapat antar ulama, ada yang mensahihkannya ada pula yang mendaifkannya. Namun, yang ingin dibahas dalam tulisan ini, benarkah jika hadis tersebut dijadikan legitimasi tentang kebolehan berkata atau bersikap kasar kepada orang–orang tertentu, khususnya, yang dalam sudut pandang mereka adalah orang – orang yang mendukung petahana yang berbeda ijtihad politik dengan mereka.

Setidaknya ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam hadis tersebut:

Pertama, hadis tersebut bersifat futuristik dan bernilai sebagai pengingat bagi kaum muslimin agar berhati – hati dengan kaum khawarij yang menghalalkan darah saudaranya sesama muslim jika ia berbeda pandangan dengan mereka dalam permasalahan yang masih debatable dan bersifat ijtihadi.

Yang kedua, penyematan kata “كلاب النار” kepada kaum khawarij apakah bisa dikategorikan statemen kasar dari Nabi SAW tanpa melihat konteks fungsi kata tersebut dalam kebudayaan Arab ketika itu, dan tanpa mengetahui cara berbicara Nabi SAW dalam masalah mimik wajah serta intonasi suaranya.

Lalu yang ketiga, jika memang statemen tersebut merupakan statemen kasar Nabi SAW kepada suatu kelompok, apakah ia bersifat khusus bagi kaum khawarij, atau boleh disematkan kepada siapapun yang “diduga” merugikan umat islam, meskipun tidak sampai menghalalkan darah mereka misalnya, apalagi kita mengetahui diantara fungsi “أل للتعريف” adalah memberi makna kekhususan bagi jenis kata benda yang disandarkan kepadanya “أل” tersebut. Maka, jikapun diperkenankan menyematkan statemen yang “diduga” kasar itu kepada kelompok tertentu, maka hanya kelompok yang tergolong khawarij saja yang diperbolehkan.

Sedangkan yang kita temui akhir–akhir ini para penceramah yang gemar menggunakan kata–kata kasar, dengan mudahnya menggunakannya kepada orang–orang yang bukan khawarij, dan bahkan jika diupayakan dengan logika analogi pun mereka yang diumpat oleh penceramah–penceramah tersebut sangat jauh dari kriteria–kriteria sifat kaum khawarij.

Ala kulli hal, yang pasti gaya kasar yang mereka lakukan dalam berceramah, banyak sekali membuat kaum muslimin malu dengan statusnya sebagai muslim. Hal ini terbukti dari kejadian yang dialami salah seorang kerabat penulis yang mulai ragu dengan islam karena isi ceramah–ceramah para orator agamis yang tampak bengis.

Yang perlu kita ingat, nilai–nilai kebaikan yang disampaikan dengan cara yang santun lebih mudah diterima nurani, dibandingkan jika disampaikan secara beringasan. Toh, untuk apa kita beringasan memaksa orang–orang untuk mengikuti ijtihad kita, yang kemungkinan kelirunya lebih besar dibanding dengan kemungkinan benarnya, padahal masalah kecondongan hati, merupakan otoritas Zat yang berkuasa membolak–balikkan hati. Wallahu A’lam