Perlukah Izin FPI Diperpanjang?

Perlukah Izin FPI Diperpanjang?

Diskusi menyoal pembubaran FPI menarik menjadi perbincangan akhir-akhir ini.

Perlukah Izin FPI Diperpanjang?
Ilustrasi: Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab berorasi di depan ribuan umat muslim yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) saat unjukrasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (1/3/2011). (Foto: tribunnews/herudin)

Publik akhir-akhir ramai membincangkan perihal izin organisasi FPI yang berakhir pada 7 Juni 2019. Jika FPI dalam kurun waktu tertentu tidak memperpanjang surat izinnya maka FPI akan dinyatakan sebagai organisasi illegal di Indonesia. Akan tetapi, jika dalam kurun waktu satu bulan ini FPI mengurus surat izin dan diakui oleh pemerintah maka FPI masih berhak untuk menjadi organisasi massa Islam di Indonesia.

FPI bukan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan sebelum tanggal berakhirnya surat izin. HTI dibubarkan karena keberadaannya tidak memiliki dampak positif bagi demokratisasi di Indonesia. HTI berkeinginan untuk menghapus sistem negara-bangsa dengan dalih ingin menyatukan seluruh umat Islam seluruh dunia dalam satu wadah. Upaya ini kemudian menjadi alasan kenapa HTI dilarang di Indonesia. Akan tetapi, FPI tidak memiliki keinginan seperti itu. Jadi alasan untuk menyamakan FPI dengan HTI tidak memiliki dasar yang pasti.

Meskipun  demikian, keberadaan FPI yang selama ini menjadi ormas pinggiran telah mendapat panggung dalam perpolitikan di Indonesia. Kemenangan posisi yang telah diraih pasca Pilkada DKI Jakarta membuat FPI semakin dikenal oleh publik. Secara garis besar keinginan politik FPI yaitu menegakkan NKRI bersyariah.

Sejak tahun 2000-an FPI telah memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengembalikan Piagam Jakarta menjadi dasar negara bangsa. Menurut FPI, Piagam Jakarta merupakan manifestasi berlakunya sistem syariah di Indonesia. Ketika Piagam Jakarta tersebut berlaku, maka upaya untuk pemberlakuan Perda Syariah akan berjalan dengan lancar.

Di tahun-tahun berikutnya FPI tidak lagi memfokuskan gerakannya dalam skala nasional namun beralih ke skala regional. FPI bergerak di akar rumput untuk menyadarkan kepada masyarakat agar mau menerima perda Syariah karena menurut FPI itu sesuai dengan hukum Allah. Hukum ini menjadi modal FPI untuk bernegosiasi dengan pemerintah lokal.

Upaya tersebut bisa dikatakan berhasil ketika pemerintah regional mengubah peraturannya berdasarkan syariah, baik secara keseluruhan maupun satu hukum. Menurut Michel Buehler (2011) mencatat terdapat 7 dari 33 provinsi dan 51 dari sekitar 510 kabupaten mengadopsi sekurangnya satu perda syariah mulai tahun 1999 hingga 2009.

Meningkatnya jumlah perda syariah di Indonesia berdampak pada menipisnya tingkat pluralitas masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak lagi mencerminkan keadilan bagi semua warga negara, karena kebijakan tersebut akan lebih bersifat esklusif dan memprioritaskan pemeluk Islam. Begitu juga dengan masyarakatnya yang lebih cenderung esklusif dan sulit untuk menghormati eksistensi agama atau budaya lain.

Di samping persoalan politik, gerakan FPI juga mengarah pada wacana keislaman di Indonesia. Sejak FPI berdiri hingga saat ini, FPI menolak adanya liberasi pemikiran Islam di Indonesia. Pemikiran-pemikiran yang berbau liberal seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) ditentang karena menurut FPI pemikiran tersebut tidak sesuai dengan Islam. Begitu juga penolakannya tentang pemikiran sekularisme dan pluralisme di Indonesia. Tujuan penolakan ini adalah untuk menyatukan wacana keislaman yang sesuai dengan versi FPI.

Pada tahun 2006 FPI juga terlibat dalam perang wacana tentang sesat atau tidaknya aliran Ahmadiyah di Indonesia.. Menurut FPI Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia dinilai sebagai aliran sesat dan keluar dari aqidah Islam. Labeling sesat juga diberikan kepada aliran-aliran Islam lain di Indonesia yang tidak sesuai dengan ahlusunnah yang dipahami oleh FPI.

Pengawalan terhadap aliran sesat dan penegakan hukum syariah kerap kali menghalalkan kekerasan sebagai jalan. Secara paham teologi FPI, kekerasan atas nama agama memang diperbolehkan. Akibatnya, tidak jarang kemudian terjadi konflik fisik antara pihak FPI dengan non-FPI.

Kekerasan atas nama agama juga terlihat ketika FPI menyerang aliran sesat di Indonesia. Bahkan tidak jarang tindakan FPI tersebut berujung pada pengusiran terhadap anggota aliran sesat. Konflik fisik pun tidak bisa dihindari. Konsep kerukunan memaksakan anggota aliran sesat harus ‘mengalah’ supaya konflik bisa dihindari.

Sekali lagi, FPI bukan HTI yang berupaya menegakkan khilafah di Indonesia. Akan tetapi, dengan trajektori FPI di atas setidaknya masyarakat tahu lebih banyak terkait dengan siapa dan bagaimana gerakan FPI di Indonesia. Dengan begitu, maka alasan untuk memberi atau tidak izin organisasi tersebut akan lebih rasional.

M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.