“Jika urusan shalat saja sudah kau anggap sepele, maka apa sebenarnya yang kau anggap penting?” (Hasan al-Bashri)
Kutipan di atas merupakan sebuah quote yang cukup populer dan belakangan banyak diunggah oleh akun media sosial keislaman. Tak jarang pula posting-an itu di-repost oleh akun personal atau sekadar screenshoot untuk kepentingan nyetatus di Instagram atau Whatsapp agar terlihat lebih islami, saleh dan sebagainya.
Memang, shalat dalam Islam adalah perkara yang cukup fundamental. Bahkan saking mendasarnya, Kanjeng Nabi Muhammad mengatakan bahwa soal yang pertama kali dihitung kelak di hari perhitungan adalah shalat.
Selain itu, dalam mata pelajaran agama di sekolah-sekolah maupun pesantren kilat, para guru atau ustaz juga seringkali mengingatkan betapa pentingnya urusan shalat ini; mulai dari fadhilah, ancaman, hingga bonus pahala bagi yang shalat berjamaah di masjid.
Tak cukup sampai di situ, berjenis-jenis seruan untuk merapat ke masjid pun begitu nyaring kita dengar tiap menjelang shalat lima waktu tiba. Baik tarhim, adzan tahajud menjelang waktu shubuh, hingga bacaan Alquran dalam volume yang diatur sedemikian tinggi begitu akrab di telinga kita dari pengeras suara di menara-menara masjid atau atap surau. Bahkan kini hadir dalam bentuk yang cukup praktis dan gadgetable; Ringtone Azan atau alarm bernada tarhim.
Sayangnya, bacaan Alquran, tarhim, dan sederet pengumuman ini, sebagaimana disebut oleh KH Abdurrahman Wahid dalam sebuah kolom yang terbit di Tempo (1982), terkadang muncul dari ‘keinginan menginsafkan’ kaum muslimin agar berperilaku keagamaan lebih baik.
Dan keinginan menginsafkan itu biasanya berangkat dari rumusan masalah semacam; bukankah shalat subuh adalah kewajiban? bukankah kalau dibiarkan tidur orang malah meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga? Kalau memang suara lantang yang mengganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar)?
Menurut Gus Dur, argumentasi skolastik seperti itu memang sepintas dapat diterima. Sebab, ia bertolak dari rumusan dasar yang telah dianggap sebagai kebenaran agama. Sehingga, dipikir kebutuhan manusiawi bagaimanapun harus mengalah kepada kebenaran ilahi. Padahal, mempersoalkan hal itu sebetulnya juga menyangkut masalah agama itu sendiri.
Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad sendiri mengatakan, bahwa kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun).
Pendek kata, selama masih dalam salah satu dari tiga situasi tersebut, seseorang tidak terbebani oleh kewajiban apa pun.
Termasuk dalam hal ini, tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang kecuali ada sebab yang sah menurut agama yang dikenal dengan istilah ‘illat. Seorang kiai, misalnya, yang membangunkan para santrinya atas dasar menumbuhkan kebiasaan bangun pagi, selama ia masih di bawah tanggungjawabnya. Atau, orang tua membangunkan anaknya untuk hal yang sama dalam rangka memberi teladan, karena anak adalah tanggungjawab setiap orang tua, dan sebagainya.
Akan tetapi, lanjut Gus Dur, ‘illat juga tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban, seperti: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Atau wanita haid yang jelas tidak terkena kewajiban sembahyang. Juga anak-anak yang belum akil baligh dan masyarakat non-muslim, tetapi kenapa mereka harus diganggu oleh pengeras suara yang begitu lantang saat tengah malam?
Dan lebih bebal lagi, jika teknologi pengeras suara yang berdentang di alam buta itu ternyata hanya menggunakan kaset atau MP3, sedang pengurus masjidnya sendiri nyenyak tidur di rumah.
Dalam pengertian inilah kita dapat memahami sentilan kritis Gus Dur yang cukup laris direproduksi dalam konten humor tentang siapa yang lebih dekat dengan Tuhan? Dimana umat Islam, alih-alih dekat, memanggil-Nya saja kudu pakai pengeras suara.
Sialnya, pada saat yang sama sebagian dari kita terkadang terlalu naif dan terburu-buru untuk menuduh setiap orang yang menyoal atau memberatkan perkara di atas dengan tudingan menyebalkan seperti; ‘tidak mengerti kebenaran agama’, atau ‘meragukan kebenaran Islam’, dan sebagainya.
Pada titik inilah saya kira, kita telah terperangkap dalam apa yang disebut oleh seorang pemikir dan pendidik Aljazair, Malek Bennabi (w. 1973) sebagai ‘silogisme berbahaya’, bahwa kami muslim, karenanya kami sempurna.
Terang saja, dalih semacam itulah yang terkadang melenakan kita di tengah keberagaman bermasyarakat dan merangsang perasaan paling benar sendiri. Dan oleh karenanya menjadi maklum jika berbagai aksi masa mengatasnamakan umat Islam yang men-sweeping masyarakat dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar pun juga tak terelakkan. Wallahhu a’lam.
Anwar Kurniawan, tinggal di Yogyakarta dapat disapa lewat akun twitter @anwarku_r