Perjanjian Nabi Muhammad dengan Biarawan Bukit Sinai 

Perjanjian Nabi Muhammad dengan Biarawan Bukit Sinai 

Perjanjian Nabi Muhammad dengan Biarawan Bukit Sinai 

Ada sebuah dokumen yang diklaim berisikan surat Nabi Muhammad kepada Biarawan dari Bukit Sinai pada tahun kedua Hijriah. Dokumen tersebut disegel dengan telapak tangan Nabi Muhammad dan disaksikan oleh sejumlah sahabat Nabi.

Apa isi dokumen perjanjian tersebut dan aslikah dokumen itu? Atas pertanyaan dari tokoh sesepuh kita, Pak Abdillah Toha, saya mencoba melacaknya.

Isi dokumen tersebut, jika memang otentik, sangat menarik. Nabi Muhammad memberikan jaminan keamanan kepada gereja, pemimpin dan pengikutnya dalam beribadah, dimana umat Islam baik itu Sultan ataupun Muslim biasa, tidak boleh melanggar perjanjian yang Nabi berikan kepada Biarawan dari Bukit Sinai ini. Mereka juga dikecualikan dalam membayar jizyah (pajak). Pengadilan dan sistem hukum mereka juga tidak boleh diganggu. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk pergi berperang. Perempuan Kristen juga tidak boleh dipaksa menikahi lelaki Muslim. Pendek kata, mereka diberikan jaminan dan hak khusus oleh Nabi Muhammad.

Naskah perjanjian ini selama berabad-abad disimpan di gereja mereka sampai kemudian dalam perang Utsmani dengan Mamluk (1516-1517 Masehi), dokumen asli diambil dan dibawa ke Sultan Salim I. Yang tertinggal di gereja Bukit Sinai hanya kopiannya saja. Dokumen ini terkenal dengan sebutan Ashtiname.

Kalangan gereja di Bukit Sinai menganggap naskah ini asli dan masih berlaku sampai sekarang. Bagaimana respon para ulama? Aslikah naskah ini?

Pelacakan saya menunjukkan Darul Ifta Mesir sudah menjawab persoalan ini. Pada bulan Mei 1997 Mufti Mesir, Syekh Atiyyah Saqr menjawab asli atau tidaknya dokumen tersebut dengan merujuk pada keterangan Hasan Muhammad Qasim. Dalam bukunya, Hasan M Qasim meragukan dokumen tersebut dengan berbagai alasan, misalnya:

1. Bahasa dan khat penulisan yang digunakan dalam naskah tersebut terasa janggal karena berbeda dengan standar linguistik yg dipakai Nabi dan Sahabat di tahun kedua hijriah. Khatnya tidak menggunakan khat kufi. Padahal dokumen ini diklaim ditulis pada tahun kedua hijrah Nabi.

2. Selain aspek bahasa, juga ada fakta sejarah yang bisa kita jadikan pertimbangan, menurut Qasim. Islam belum tersebar luas ke luar jazirah Arab di tahun kedua hijriah. Setelah wafatnya Nabi baru muncul ekspedisi dakwah ke luar jazirah arab. Jadi interaksi Nabi Muhammad dengan Monks atau Biarawan dari Bukit Sinai diragukan sudah terjadi pada tahun kedua hijriah

3. Fakta penting lainnya, menurut Qasim, bahwa ternyata tidak terdapat riwayat Hadits yang menceritakan peristiwa ini. Ini tentu mengherankan. Apalagi tertera sejumlah saksi dari sahabat Nabi dalam dokumen ini, tetapi kenapa tidak ada kisah mengenainya yang direkam dalam kitab-kitab Hadits?

4. Fakta terakhir juga menarik. Menurut Qasim, sebagaimana dikutip oleh Mufti Mesir, sebagian nama-nama saksi dari sahabat Nabi yang disebutkan dalam dokumen itu tidak dikenal (alias majhul).

Pelacakan saya lebih lanjut menemukan dalam kitab fiqh karya Ibnu Qudamah yg bermazhab Hanbali, yaitu kitab al-Mughni. Pada kitab itu (jilid 10, halaman 627-628) dijelaskan bahwa sebagian ahli dzimmi (non-Muslim yang berada dalam perlindungan umat Islam) menolak membayar jizyah dengan alasan dokumen Nabi di atas. Memang kalau kita baca teks Ashtiname itu para Biarawan yang dikecualikan tidak perlu membayar jizyah.

Ibnu Qudamah dengan tegas mengatakan argumen tersebut tidak benar. Kemudian beliau mengutip keterangan Abul Abbas bin Suraih yang saat ditanya masalah dokumen ini, dia menjawab bahwa : “mereka (ahli dzimmi) mengeluarkan dokumen yang menyebutkan ditulis oleh Sayyidina Ali atas perintah Nabi dan disaksikan sejumlah sahabat Nabi, seperti Sa’d bin Muadz dan Mu’awiyah. Tapi [pada tahun kedua hijriah itu] Sa’d sudah wafat dan Mu’awiyah belum masuk Islam. Maka argumen mereka untuk tidak membayar jizyah dengan merujuk pada dokumen ini menjadi batal. Klaim mereka tidak bisa diterima. Dan tidak terdapat riwayat yang kuat (mu’tamad) mengenai dokumen ini.”

Catatan saya menunjukkan bahwa nama Mu’awiyah sebenarnya tidak terdapat dalam dokumen Ashtiname ini. Nama Mu’awiyah sebagai saksi malah muncul dalam dokumen lain, yaitu perjanjian Aelia, yang diteken oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 15 Hijriah. Nama yang muncul dalam Ashtiname justru Abu Hurairah. Dan Abu Hurairah pada tahun kedua Hijriah belum masuk Islam. Abu Hurairah baru masuk Islam dan hidup bersama Nabi di Madinah pada tahun ketujuh Hijriah.

Komentar saya secara umum: tampaknya kalangan ulama meragukan otensitas naskah di atas, sementara kalangan non-muslim justru menyambut baik dokumen ini. Kalangan non-Muslim menjadikan dokumen ini sebagai bukti bahwa sejak awal kehadirannya Islam itu sangat toleran dan menghargai kalangan gereja. Namun di sisi lain, kalangan ulama justru membantah keaslian dokumen tersebut.

Semoga ini tidak dibaca seolah hanya non-Muslim yang ingin hidup berdampingan dengan damai, sementara umat Islam justru enggan. Perlu kajian lebih detil mengenai dokumen ini dan terlepas benar atau tidaknya keaslian dokumen ini, semoga kita selalu bisa hidup dengan damai di muka bumi ini, bersama pemeluk agama lainnya. Damai itu indah!

Tabik,

*) Nadirsyah Hosen