Perjanjian Aelia mungkin terdengar kalah popular dibanding Piagam Madinah ataupun perjanjian Hudaibiyah dalam sejarah Islam. Namun, perjanjian ini mempunyai posisi penting dalam perkembangan Islam di Aelia. Perjanjian Aelia dibuat dan ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan umat Nasrani di Aelia. Aelia merupakan sebuah kota yang pada masa kekuasan Bani Abasiyah kemudian diganti menjadi al-Quds. Sekarang kota ini bernama Yerusalem, Palestina.
Persentuhan Islam dengan kota Aelia terjadi ketika Khalifah Umar bin Khattab memasuki kota tersebut pada tahun ke 15 H setelah sebelumnya pasukan islam menaklukkan Romawi. Penguasa Aelia saat itu, Patriarch Sophronius, secara khusus meminta kepada Umar bin Khattab sendiri untuk serah terima kota. Ketika menerima kekuasaan kota Aelia, Umar bin Khattab membuat perjanjian atau dikenal juga sebagai konvensi Umar. Isi perjanjian itu sebagaimana yang dikutip Kyai Husein Muhammad dari Ibn Jarir al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, (Beirut, 1997, jilid II, hlm. 449), sebagaimana berikut:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, pemimpin/pelayan orang-orang yang beriman, kepada penduduk Aelia. Ia adalah jaminan keamanan. Umar memberikan jaminan keamanan/perlindungan hak hidup, hak milik harta, bangunan-bangunan gereja, salib-salib mereka, orang-orang yang lemah,orang-orang merdeka dan semua pemeluk agama. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki, tidak dihancurkan, tidak ada hal-hal (sesuatu) yang dikurangi apa yang ada dalam gereja itu atau diambil dari tempatnya; tidak juga salibnya, tidak harta benda mereka, penduduknya tidak dipaksa untuk menjalankan keyakinan agama mereka dan tidak satu orangpun yang dilukai…”
Penandatangan perjanjian ini disaksikan oleh Khalid Ibn al-Walid, Amr bin ‘Ash, Abd al-Rahman bin ‘Auf, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ditetapkan pada 20 Rabi’ul Awal 15 H.
Jika kita mencermati isinya, setidaknya ada dua hal pokok yang dijaminkan Umar kepada umat Kristen Aelia Pertama, jaminan akan keamanan terhadap jiwa, harta dan bangunan gereja. Kedua, pernyataan atas jaminan kebebasan beragama dan beribadah. Perjanjian ini mengingatkan kita pada intisari piagam Madinah yang juga memberikan jaminan kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh penduduknya meskipun mempunyai paham keagamaan berbeda dengan Islam.
Melalui perjanjian ini khalifah Umar ingin mengajak umat Muslim untuk menghargai hak-hak umat Kristen yang mendiami kota dengan ketulusan hati. Dengan demikian menurut Dawud A. Assad (2010), umat Muslim sangat dihormati di Yerusalem dan mereka memperlihatkan toleransi terhadap agama lain, sehingga hal itu menunjukkan kelayakan mereka untuk memerintah kota secara murah hati.
Menurut sejarawan Islam Firas Alkhateeb, pada waktu itu perjanjian ini merupakan perjanjian paling progresif dalam sejarah Yarusalem. Ia membandingkan, hanya 23 tahun sebelumnya ketika Yerusalem ditaklukkan oleh bangsa Persia dari Bizantium, terjadi pembantaian umum yang diperintahkan. Pembantaian lain juga terjadi ketika Yerusalem ditaklukkan oleh Tentara Salib dari kaum Muslim pada tahun 1099. Konvensi Umar memungkinkan orang-orang Kristen memiliki kebebasan beragama dan beribadah di Yerusalem. Maka, perjanjian Aelia menjadi standar untuk hubungan Muslim-Kristen di seluruh bekas Kekaisaran Bizantium, dengan hak-hak orang ditaklukkan dilindungi dalam segala situasi.
Perjanjian Elia menjadi rekam jejak historis bahwa kekuasaan Islam memiliki aspek membangun dan merawat perdamaian. Hal ini menjadi bukti nilai ajaran Islam sebagai agama yang turun ke bumi untuk rahmat untuk semua alam (Rahmatan lil alamin). Allah menegaskan dalam surat al- Anbiya 107 “Dan tiadalah Kami mengutusmu (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh semesta.”