Peristiwa Audrey: Bukan Salah Mereka, Kita yang Harus Berkaca

Peristiwa Audrey: Bukan Salah Mereka, Kita yang Harus Berkaca

Dari kasus Audrey dan para pengeroyoknya, kita bisa mengambil pelajaran penting

Peristiwa Audrey: Bukan Salah Mereka, Kita yang Harus Berkaca

Kadang susah dinalar perilaku remaja sekarang. Saat di rumah, mereka sepertinya baik-baik saja. Namun saat di luaran, ada saja yang mereka lakukan yang tentu saja tanpa sepengetahuan orang tua. Kasus pengeroyokan pelajar di Pontianak yang belakangan menjadi viral dimana-mana adalah gambar yang terang dari fenomena ini. Seorang pelajar SMP bernama Audrey dikeroyok beberapa siswi SMA gegara salah sasaran dalam persoalan cinta remaja.

Kasus itu kini berlanjut ke kepolisian. Anak-anak belia yang seharusnya belajar dan berkonsentrasi untuk masa depannya, terpaksa harus berurusan dengan hukum. Bahkan kini para remaja SMA yang diduga sebagai pelakunya tidak bisa ke mana-mana. Mata kamera mengarah dan mengenali mereka dengan mudah.

Momentum ini seharusnya membuat para orang tua menanyakan kembali, apakah benar anak-anaknya baik-baik saja? Apakah benar anak-anak mereka berangkat ke sekolah dan melalui hari-harinya dengan ceria tanpa memendam masalah?

Anak adalah replika dari orang tua. Apa yang dilakukan anak-anak adalah apa yang mereka saksikan, dengar dan perhatikan setiap harinya. Tentu saja ketika beranjak remaja banyak faktor yang mempengaruhinya. Tak terkecuali gadget yang selalu dibawa kemana-mana. Melalui benda kecil tipis itu, para remaja kini sudah bisa berkelana ke penjuru dunia, termasuk perilaku dan budaya yang disaksikannya.

Mereka bisa bergaya ala artis Hollywood Amerika, atau bahkan berdandan ala penyanyi K-Pop yang khas dengan tariannya. Mereka suka-suka melakukannya. Para ahli psikologi menyebut mereka dalam masa keguncangan jiwa. Masa dimana mereka mencari jati diri mau jadi apa. Mereka mulai enggan berbicara secara terbuka dengan orang tuanya. Malahan mereka mengumbar rahasia dengan sebayanya. Melakukan hal-hal menantang hanya untuk menunjukkan eksistensinya.

Islam sebagai agama yang komplit sangat memperhatikan persoalan pendidikan anak dan remaja. Nabi Muhammad Saw. hadir di bumi ini dengan misi untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana hadits yang sering kita dengar. Misi ini tidak mudah, mengingat akhlak masyarakat saat itu berada dalam taraf yang sangat bobrok hingga disebut masyarakat yang jahiliyah. Upaya yang dilakukan dalam mengembalikan hal tersebut tidak bisa terlepas dari peran pendidikan (tarbiyah).

Musthafa al-Ghalayini, seorang ulama besar yang juga seorang ahli hukum dan sastra berpendapat bahwa tugas utama pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak yang mulia ke dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya, dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak mereka menjadi salah satu kemampuan yang meresap dalam jiwanya.

Dalam kitab ʹIẓah an-Nāsyiʹīn, al-Ghalayini memberikan nasehat dan dorongan semangat kepada pemuda agar menjadi pribadi yang utama. Dia mengharapkan agar pendidikan akhlak itu tertanam dalam jiwa remaja sehingga dapat membentuk kepribadian remaja yang berakhlakul karimah sesuai dengan tuntunan syara’.

Memang tidak mudah dan instan membentuk generasi muda yang demikian. Diperluikan usaha yang keras, sungguh-sungguh dan terus menerus dilakukan. Islam jiuga mengajarkan bahwa pendidikan tidak saja diberikan ketika anak mulai bersekolah, tapi sejak awal pertumbuhannya.
Zaman bergulir, namun apa yang disampaikan ulama Beirut tersebut tetap aktual, lebih-lebih di tengah zaman yang serba digital. Di tengah perilaku remaja yang kian bergantung pada teknologi media. Orang tua juga harus sadar diri, tidak bisa serta merta menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dan membiarkannya begitu saja.

Kisah Audey adalah momentum kita semua untuk mulai berefleksi bahwa yang terpenting dalam mendidik anak adalah keteladanan. Ini tidak hanya kewajiban orang tua. Di era digital saat ini, nyaris semua orang berperan sebagai orang tua atau guru yang mengasuh anak-anak kita. Karena itu, tidak cukup bagi kita sebagai orang tua untuk menyekilahkan anak-anak kita dan membiayainya setiap bulan. Yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa lingkungan sosial di mana anak-anak kita tumbuh memberi lingkungan pengasuhan yang sehat.

Sia-sia untuk melarang anak-anak kita mengakses berbagaio budaya populer yang ditawarkan melalui media-media on line atau televisi. Anak-anak kita akan tumbuh dengan budayanya yang mungkin tidak terbayangkan oleh kita. Yang perlu kita pastikan adalah anak-anak kita mendapatkan informasi yang tepat, membekalinya dengan cara berpikir yang sehat dan selalu menemaninya tumbuh.
Yang diperlukan anak-anak kita bukan sosok orang tua yang hadir sebagai hakim.

Anak-anak kita memerlukan orang tua yang bisa menjadi teman, kepada siapa mereka bisa berkisah masalah hidupnya tanpa takut terancam, dari siapa mereka bisa mendapatkan bimbingan dan keteladanan yang penuh dengan kasih sayang.[]

*Ditulis bersama Muhammad Dawud