Perihal Islam dan Sampah Makanan

Perihal Islam dan Sampah Makanan

Perihal Islam dan Sampah Makanan
Sampah masih menjadi persoalan lingkungan yang sangat serius.

Sebuah hasil riset menyatakan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia relatif buruk dan mendorong produksi sampah makanan yang meningkat setiap tahunnya. Data riset menyebutkan bahwa Indonesia ada di peringkat kedua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia setelah negara Arab Saudi. Itu adalah data dari Laporan Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2017. sampah makanan

Dalam ajaran Islam, tidak meneruskan atau tidak menghabiskan makanan termasuk bagian dari mubazir. Mubazir berarti menggunakan sesuatu tidak pada tempat yang selayaknya, atau dalam istilah lain biasa dikenal dengan idlâ‘ah al-mâl (menyia-nyiakan harta). Contoh perilaku tak baik ini adalah membuang makanan, membeli pakaian dengan berlebihan, dan lain sebagainya.

Penjelasan dalam kitab Faid al-Qadir membuktikan bahwa Islam sangat melarang perbuatan mubadzir:

والإصراف صرف الشئ فيما ينبغي زائدا على ما ينبغي والتبذير صرفه فيما لا ينبغي.

“Arti israf adalah menggunakan sesuatu berlebihan dari ketentuan yang dianjurkan. Sedangkan arti mubazir adalah menggunakan sesuatu pada tempat yang tidak dianjurkanز” (Abdurrouf al-Munawi, Faid al-Qadir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1994, juz 5 Hal. 131)

Dalam laporan EIU yang sama, tercatat pula bahwa setiap orang di dunia diperkirakan membuang makanan tidak kurang 300 kg pertahun. Sampah makanan tersebut berasal dari rumah, restoran, dan hotel. Sebagian besar berbentuk sisa makanan adalah sayur, buah, daging, ikan, bumbu-bumbu, dan minuman. Ini adalah fakta yang menyebabkan sebagian warga miskin masih sulit memperoleh makanan.

Satu dari tiga anak balita yang tinggal di Indonesia menderita stunting (tengkes) atau bisa juga disebut dengan gagal tumbuh akibat kekrangan gizi dan kelaparan. Di sisi lain, banyak orang dengan tanpa rasa bersalah membuang makanan terlalu banyak. Tantangan besar abad ini adalah bagaimana memberi makan penduduk dunia dengan cara yang lebih baik dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan untuk pembangunan pertanian berkelanjutan.

Mungkin, menaikkan produksi pertanian adalah salah satu langkah solusi yang sangat praktis. Tapi, di sisi lain, cara ini juga mendorong persaingan untuk pemanfaatan lahan, air, dan energi. Masalah lain yang mengintai adalah perubahan iklim global. Kita harus waspada, perubahan iklim global sangat bisa mengancam bahkan meluluhlantakkan produksi pertanian.

Sesuai dengan ajaran dalam Islam, alternatif atau metode lain yang menjanjikan adalah mengurangi jumlah makanan yang terbuang. Sampah makanan yang bersumber dari buah dan sayur maupun produk pangan olahan lainnya sangat berpengaruh pada sumber daya pertanian yang disia-siakan. Maka, mengurangi sisa makanan adalah satu-satunya penyelesaian yang sangat efektif.

Sebagian dari kita masih memilih untuk tidak menghabiskan makanan dan membiarkannya tidak termakan. Perbuatan ini disebut mubazir atau menyia-nyiakan harta, sangat jelas dilarang oleh syariat Islam. Pelarangan ini merujuk pada apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا* إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu sangat inkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’, Ayat 26-27).

Kita pasti sering merasa bersalah saat makanan tidak habis dan kondisi perut sudah terasa kenyang. Pada saat seperti itu, kita dihadapkan pada dua pilihan antara menghabiskan makanan atau justru menyudahi makanan seketika itu juga.

Dalam Islam, perilaku ini memiliki landasan bahwa makan di atas rasa kenyang (akl fauqa as-syiba’) adalah perbuatan yang juga dilarang oleh syariat sebab tergolong sebagai perbuatan israf yaitu berlebih-lebihan. Larangan ini seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an:

وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan minumlah kalian dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf, Ayat 31)

Mudarat yang dihasilkan dari rasa kenyang pun disinggung oleh Imam Syafi’i:

لأنّ الشبع يثقل البدن ويقسي القلب ويريل الفطنة ويجلب النوم ويضعف عن العبادة

“Karena kekenyangan akan memberatkan badan, mengeraskan (menghilangkan kepekaan) hati, menghilangkan kecerdasan, menarik rasa kantuk dan melemahkan (Seseorang) dalam ibadah.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, Beirut, Muasssasah Ar-Risalah, 1993, juz 10, hal, 36)

Apabila kita menyudahi makanan dan membiarkan makanan itu tidak habis, sikap tersebut termasuk bagian mubazir yang diharamkan oleh syariat. Kita bisa mengurangi sampah makanan dengan mengambil makanan secukupnya dan makanan yang masih ada bisa kita manfaatkan untuk hal lain yang mendatangkan nilai ibadah yakni disedekahkan untuk orang lain yang tidak mampu atau bisa juga berbagi dengan para tetangga.

 

Sampah Makanan dan Dampak Lingkungan

Sejak 2011, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengingatkan masyarakat dunia tentang dampak lingkungan yang diakibatkan oleh sampah makanan dengan jumlah yang diperkirakan mencapai 1,3 miliar ton per tahun. Bahayanya, sampah makanan adalah salah satu jenis sampah yang berkontribusi besar dalam meningkatkan jumlah gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Di tempat pembuangan sampah misalnya, limbah sisa makanan ini memproduksi GRK hampir setara dengan total emisi di Kuba yang berjumlah 3,3 miliar ton karbon dioksida per tahun. Perlu diingat, sisa makanan juga turut menyumbang hilangnya air tahunan global sekitar 250 kilometer kubik yang setara dengan tiga kali volume Danau Geneva di Swiss (FAO, 2013).

Kita bisa merujuk pada satu artikel berjudul “Food Waste Matters, A Systematic Review of Household Food Waste Practices and Their Policy Implications”, Schanes dkk (2018) yang menyebutkan bahwa mengurangi sampah makanan bermanfaat untuk mengawal keseimbangan lingkungan dengan mereduksi limpahan GRK di atmosfer dan membantu mengatasi masalah ketersediaan dan menjaga swasembada pangan khususnya di negara-negara berkembang.

Untuk itu, masyarakat harus mengubah pola makan sesegera mungkin. Hal ini bisa diwujudkan dengan mengonsumsi makanan secukupnya untuk menuju gaya hidup sehat. Kita juga bisa mengurangi penggunaan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati (biofuel dan biosolar) dan memanfaatkan lahan tidur yang kurang produktif di daerah perkotaan.

Islam telah mengajarkan agar tidak berbuat mubadzir dan makan secukupnya. Kini, semua kembali lagi kepada kita, apakah kita bertekad melaksanakan ajaran tersebut dan turut berkontribusi mengurangi sampah makanan atau tidak mengindahkan ajaran Islam dan membiarkan sampah makanan menggunung, merusak bumi tempat manusia tinggal, tempat yang akan kita wariskan pada anak-cucu kelak, bumi Allah SWT. (AN)

Wallahu a’lam.