Jika kita telaah, stigma lama teroris selalu dikaitkan dengan problem fundamental eksistensi manusia. Sosok teroris cenderung dikaitkan dengan kesehatan mental (sebagai orang yang kesepian dan anti sosial) dan kemiskinan sebagai celah masuknya rekrutmen kelompok teroris. Asosiasi dengan narkotika atau alkohol memperparah keadaan orang-orang yang terkena stigma tersebut.
Stigma terhadap pelaku teror umumnya menyasar kepada kaum laki-laki, usia 18-30 tahun, dengan wajah bertampang etnis timur tengah yang kerap dipajang dalam foto headline berita. Islamophobia yang mengarah kepada umat Muslim acapkali bersumber dari framing semacam itu. Kita masih ingat masa setelah runtuhnya WTC menyebabkan orang yang memiliki nama berbahasa Arab kesulitan masuk ke wilayah Amerika Serikat dan Eropa. Orang dengan jambang, jenggot atau berpakaian jubah sering dipersulit masuk ke sebuah negara.
Stigma lama itu lantas berubah. Ada banyak cerita orang yang bergabung dalam organisasi teroris ternyata memiliki level pendidikan tinggi. Mereka yang bergabung dalam organisasi teroris ternyata bukan hanya dari kalangan orang miskin. Intelejensia kaum menengah ke atas yang juga mapan secara ekonomi rupanya diperlukan untuk membawa gagasan pseudo-islamic state menemukan bentuknya.
Stigma berbau Arab yang selalu digemakan oleh media, pada akhirnya terpatahkan. Dalam beberapa kasus, banyak orang yang kita kira sebagai “Barat” juga bergabung dalam organisasi Islam ekstremis. Masifnya rekrutmen ISIS sampai mampu menembus ruang keluarga, memungkinkan yang tergabung tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan dan anak-anak. Beberapa tergabung sebagai satu keluarga utuh dan semua punya potensi untuk terradikalisasi dan terlibat dalam aksi teror.
Perubahan lanskap keterlibatan dengan terorisme ini terjadi juga pada perempuan. Perempuan kerap diasosiasikan dengan sifat keibuan yang “nurture” dan “care”, ada di wilayah kerja domestik, juga lemah sehingga dianggap tidak mungkin menjalankan aksi terror berbungkus amaliyah jihad. Stigma semacam ini akhirnya juga terpatahkan.
Peristiwa pengeboman di Surabaya, misalnya, melibatkan satu keluarga eks-ISIS, termasuk ibu dan ketiga anaknya. Sementara itu, di Sibolga, seorang istri yang sudah dalam posisi terkepung di dalam rumah tidak mau menyerahkan diri kepada polisi. Ia memilih untuk meledakkan diri (melakukan amaliyah) dengan bom bunuh diri di dalam rumah.
Organisasi-organisasi teroris versi lama seperti Jamaah Islamiyah diketahui memiliki dua pola jihad. Jihad kabir (jihad besar) ditujukan kepada laki-laki (menjadi pasukan perang, amaliyah bom bunuh diri) dan jihad shaghir (jihad kecil) ditujukan untuk perempuan, yakni aktivitas reproduksi (punya anak yang banyak untuk mencetak tentara perang sebanyak-banyaknya) dan menyiapkan logistik perang (peran domestik di dapur). Hal tersebut bersumber dari pandangan patriarkal soal kebebasan dan peran perempuan. Akan tetapi sejak 2005, polarisasi peran itu tak lagi terjadi.
Perempuan tetap tidak bisa jadi pimpinan organisasi teroris, akan tetapi perempuan adalah elemen penting propaganda. Peran perempuan dalam organisasi teroris berkedok agama punya spektrum yang cukup luas. Mulai dari perekrut, propagandis, pengumpul dana, komandan batalyon, sampai pelaku bom bunuh diri.
Sejak tahun 2002, jumlah perempuan yang tergabung dalam operasi organisasi teroris di banyak negara meningkat hingga 50 persen. Perempuan membunuh ratusan laki-laki, perempuan, anak-anak, juga membuat lumpuh, buta, pincang ribuan korban lainnya.
Pada lima tahun terakhir, jumlah perempuan yang terlibat dalam aksi teror meningkat sangat cepat karena organisasi teroris seperti Boko Haram, Al Shabaab, Taliban, ISIS secara aktif melibatkan perempuan dalam aksinya.
Media-media Barat membesar-besarkan berita keterlibatan perempuan dalam organisasi teroris sebagai sesuatu yang “unik” dan “tidak seharusnya”. Padahal, ketika media membesar-besarkan berita perihal keterlibatan perempuan dalam aksi teror, secara tidak langsung tujuan teroris tercapai. Yakni, menjadi sorotan berita sebesar-besarnya!
Organisasi teroris memanfaatkan sorotan itu untuk menjalankan berbagai siasat:
Pertama, teroris perempuan menjalankan peran tersendiri yang dalam situasi tertentu tidak bisa dilakukan oleh teroris laki-laki. Misalnya, ketika security sedang diperketat sebab pemerintah sedang melaksanakan kampanye anti-terorisme, teroris perempuan bisa difungsikan untuk melewati checkpoint. Bahan-bahan peledak diikat ke pinggang, ditutup dengan pakaian longgar memberi efek hamil tua sehingga tidak diperiksa terlalu ketat.
Partisipasi perempuan juga penting untuk mengecoh. Ketika Pemerintah mencari terduga teroris laki-laki, kehadiran perempuan, dan lebih baik ditambah anak-anak di dalam mobil membuat security melonggarkan pengamanan. Al Qaeda di Iraq bahkan mengikat peledak di perut anak-anak di dalam mobil mereka dan security tidak menyadarinya sehingga lolos begitu saja.
Ketika penetrasi ke target lokasi sulit untuk diakses. Teroris perempuan lebih efektif untuk menarget masyarakat sipil sebab mereka lebih mudah berbaur dan tidak dicurigai. Perempuan lebih mudah mengakses pasar, restoran dan ruang publik lainnya di mana mereka dapat menarget banyak warga sipil. Perempuan jarang memegang senjata untuk langsung berhadapan dengan militer/Pemerintah, tapi mereka efektif untuk melaksanakan amaliyah (bom bunuh diri) di pusat keramaian.
Saat operasi yang dijalankan oleh laki-laki hanya bisa mencapai lobi atau pintu masuk, operasi yang dijalankan oleh perempuan bisa sampai ke dalam ruangan atau ruangan inti, sebab perempuan dapat mengakses lokasi lebih dalam dan lebih efektif.
Dalam proses perekrutan, kehadiran perempuan efektif untuk memengaruhi keputusan calon teroris laki-laki. Mereka berpropaganda dengan narasi “perempuan saja berani bergabung, kok laki-laki nggak berani.”
Lantas, pertanyaannya, mengapa perempuan menjadi teroris? Ada lima faktor yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan dalam aksi terror:
Yang pertama adalah redemption, atau pertaubatan. Seseorang yang merasa memiliki masa lalu yang sangat buruk, penuh maksiat, tidak sesuai nilai-nilai agama, memilih jalan pertaubatan dengan cara yang instan, bahkan ekstrem. Ia percaya, menjadi pelaku bom bunuh diri untuk menegakkan nilai-nilai Islam akan menjadi jalan pintas penebusan dosanya di masa lalu.
Kedua, faktor revenge atau balas dendam. Seseorang menjadi teroris karena ayah, ibu, suami atau anaknya terbunuh dalam konflik/perang sehingga memunculkan emosi yang mendalam, yang akhirnya berujung pada rasa dendam. Hal ini kerap terjadi di wilayah yang mengalami konflik berkepanjangan.
Selanjutnya, ada faktor respect, adanya keinginan untuk diakui. Seseorang memiliki kebutuhan untuk diakui. Ketika tidak ada nilai-nilai lain yang dapat dijadikan sumber penghormatan atau pengakuan dari dirinya, imajinasi menjadi pahlawan dalam menegakkan nilai-nilai agama menyumbang alternatif ini. Untuk perempuan, bergabung dalam organisasi teroris yang penuh stigma kekerasan membuat mereka merasa lebih tinggi dedikasinya kepada agama.
Faktor keempat adalah relationship, atau hubungan. Suami, atau anggota keluarga lain yang sudah terlebih dahulu terlibat dalam aksi teror membuka celah keterlibatan perempuan. Jika suami telah bergabung dalam organisasi teroris, biasanya secara langsung istri juga akan ikut serta ke camp/training. Terlebih lagi, jika perempuan tidak punya ruang tawar yang setara dalam keluarga.
Terakhir, terjadinya unsur kekerasan seksual (rape) menjadi faktor dalam keterlibatan mereka. Ini adalah temuan paling mutakhir dalam teori ini. Perempuan-perempuan korban kekerasan seksual yang merasa dirinya tak lagi berharga rentan menjadi target perekrutan organisasi teroris. Organisasi teroris tidak segan menempatkan pemerkosaaan sebagai misi yang terencana. Samira Ahmed Jassim memerkosa 80 perempuan dan memaksa para perempuan itu menjadi pelaku bom bunuh diri untuk Ansar al Sunnah (bagian dari Al Qaeda dan ISIS).
Tren yang belakangan terjadi menunjukkan bahwa perempuan menjadi kelompok potensial dalam rekrutmen organisasi teroris. Pelanggengan stigma terhadap perempuan ternyata hanya dimanfaatkan oleh organisasi teroris sebagai modus melancarkan serangan mereka. Belum lagi perempuan terus dipojokkan dengan iming-iming kemuliaan dan demi menegakkan agama. Walhasil, harapan ada pada perempuan sendiri untuk terus waspada dan sadar penuh atas peran dirinya.