Meskipun perjuangan terhadap hak-hak perempuan seluruh dunia pada 2017 mengalami kemunduran, beberapa perubahan paling menarik dan momentum positif datang dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Perempuan Tunisia memiliki peraturan baru tentang perlindungan terhadap kekerasan. Buruh migran domestik di daerah Teluk telah dilengkapi dengan peraturan baru tentang perlindungan pekerja. Dan, larangan mengemudi untuk perempuan di Saudi telah dicabut. Hari-hari ini merupakan saat yang menakjubkan di Timur Tengah, tetapi pada peringatan Hari Perempuan Internasional ini, jalan menuju pemenuhan hak-hak perempuan di kawasan itu masih cukup panjang.
Perubahan di kawasan tersebut adalah hasil kerja pejuang hak-hak perempuan yang telah mengalami pelecehan, intimidasi, dan hukuman penjara akibat usaha-usaha mereka. Dan perjuangan itu terus berlanjut. Sejak Desember, beberapa perempuan di Iran ditangkap karena melakukan aksi protes secara damai untuk Undang-undang wajib berhijab. Arab Saudi menahan dan menghukum perempuan yang berjuang untuk mengakhiri sistem pendampingan laki-laki. Beberapa perempuan hidup sebagai tawanan, sedang aktivis terkemuka lain seperti Azza Soliman dan Mozn Hassan di Mesir masih terperangkap larangan bepergian.
Perkembangan positif lain adalah, pada musim panas terakhir di Tunisia, Jordan, dan Lebanon telah mencabut Undang-Undang rape-marriage (perkawinan dengan pelaku pemerkosaan), mengikuti pergerakan sebelumnya beberapa tahun lalu oleh Maroko dan Mesir. Hukum peninggalan era kolonial ini membuat pelaku pemerkosaan terbebas dari tuntutan jika mereka mengawini korban. Bagaimana pun, Algeria, Bahrain, Irak, Kuwait, Libya, Suriah, dan Palestina masih menggunakan Undang-Undang ini dalam kebijakan hukum mereka, dan juga negara-negara di Amerika Latin dan banyak lagi.
Timur Tengah dan Afrika Utara sejak lama merupakan kawasan yang paling sedikit memiliki Undang-Undang perlindungan kekerasan domestik, tetapi kini telah sedikit terwujud. Pada 2017, Tunisia mengadopsi secara komprehensif Undang-Undang kekerasan terhadap perempuan untuk mendapatkan perlindungan darurat dan penahanan jangka panjang bagi pelaku kekerasan. Yordania telah mengamandemen Undang-Undang kekerasan domestik tahun 2008 dengan beberapa bagian perubahan, dan pada Februari 2018, Maroko meloloskan Undang-Undang yang mempertimbangkan kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu bentuk diskriminasi berbasis gender. Sembilan negara di kawasan itu kini mempunyai Undang-Undang untuk menekan angka kekerasan domestik.
Memang masih terdapat kelemahan-kelemahan. Hukum Maroko masih menyisakan banyak perempuan rentan yang mengalami kekerasan ketika mencari perlindungan hukum tanpa memenuhi tuntutan kriminal. Negara-negara lain tetap memakai provisi yang mengaharuskan kepatuhan perempuan pada suami mereka atau pendampingan laki-laki. Uni Emirat Arab tidak memiliki Undang-Undang spesifik yang menghukumi kekerasan domestik dan alih-alih hukum pidananya mengizinkan seorang suami untuk mendisiplinkan istrinya atau memberi pelajaran kepada anak-anak, sepanjang kekerasan yang dilakukan tidak melampaui batasan-batasan yang ditentukan syariat.
Sebuah langkah positif, Tunisia mencabut dekrit pada September yang melatang perempuan Muslim mencatatkan pernikahan dengan laki-laki non-Muslim, sebuah kebijakan yang pertama terjadi di kawasan ini. Undang-undang pemilu yang telah diamandemen mencakup kesetaraan gender, untuk pemilu yang akan datang tahun ini, partai-partai politik wajib mencalonkan kader perempuan pada daftar kandidat mereka. Komisi Presiden untuk Kebebasan dan Kesetaraan Individu telah meninjau pengesahan untuk provisi diskriminasi terhadap perempuan termasuk Undang-Undang warisan yang tidak setara, yang secara khusus berpengaruh kepada perempuan di kawasan pinggiran.
Perempuan-perempuan yang “tidak memiliki suara” di Timur Tengah – buruh migran domestik- mulai mendapat pengakuan akan hak-hak mereka. Pada 2017, Qatar dan Uni Emirat Arab meloloskan Undang-Undang hak pekerja domestik, menetapkan batasan pada hari kerja mereka, hari libur mingguan, dan cuti tahunan berbayar, mencontoh negara-negara lain pada kawasan tersebut. Undang-undang ini beragam berdasarkan berapa banyak perlindungan yang mereka sediakan, ternyata masih lebih lemah dibanding Undang-Undang perlindungan buruh untuk pekerja lainnya, dan tingkat efektivitasnya tergantung kepada penyelenggaraannya. Oman dan Lebanon, dua negara tujuan utama bagi buruh migran domestik di Timur Tengah, masih belum memiliki perlindungan buruh yang efektif.
Rintangan paling serius untuk perlindungan hak-hak buruh migran domestik di kawasan tersebut adalah sistem kafala, yang menjebak buruh migran dengan melarang mereka mengganti atau meninggalkan pekerjaan tanpa seizin majikan. Ada beberapa harapan agar hal itu berubah. Pada 2017, Arab Saudi mengeluarkan dekrit yang mengizinkan pekerja domestik mengganti majikan untuk 13 situasi, termasuk jika tidak dibayar dalam tiga bulan. Dan Qatar telah mengakhiri sistem kafala sebagai bagian dari komitmen baru mereka di bawah persetujuan teknis dengan Organisasi Buruh Internasional.
Satu negara yang paling sering melanggar ketetapan, Arab Saudi, telah mengalami kemajuan dalam hal kenaikan gaji untuk perempuan. Pada 2017, diumumkan bahwa perempuan akan mendapat pelajaran olahraga di sekolah negeri, dapat memasuki stadion sebagai penonton, dan mulai Juni 2018, perempuan boleh menyetir. April lalu, Arab Saudi berjanji bahwa lembaga pemerintahan akan mengakhiri pelaksanaan “mana suka” pada sistem pendampingan laki-laki mereka, melarang lembaga negara meminta izin pendampingan laki-laki jika tidak ada suatu hal yang menuntut hal tersebut dilakukan. Bagaimanapun, perempuan masih diwajibkan memakai izin pendampingan laki-laki ketika mendaftar sekolah lanjutan, menikah, bepergian ke luar negeri, dan mengurus paspor. Masih tidak terdapat larangan terhadap diskriminasi perempuan, dan beberapa majikan terus menerus meminta izin pendampingan laki-laki untuk merekrut perempuan meskipun Undang-Undang tidak memerlukannya.
Ada berita baik untuk dilaporkan pada Hari Perempuan Internasional tahun ini. Tetapi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara masih lekat dan mengakar. Secara khusus, peraturan di kawasan tersebut yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, pengasuhan anak dan hak waris mendiskriminasi perempuan. Pemerintahan di kawasan tersebut harus menghentikan pelecehan hak-hak aktivis perempuan dan melanjutkan pemerintahannya hingga sampai pada reformasi yang serius sampai semua perempuan dapat bebas dari diskriminasi atau kekerasan dalam kehidupannya. Jika hal itu dilakukan, pada tanggal 8 Maret berikutnya, kita memiliki lebih banyak hal lagi untuk dirayakan.
*Ditermahkan penulis dari The Middle East’s Women Are Championing Their Own Change by Rothna Begum