Kutipan-kutipan ijma’ para ulama terkait puasa wanita haid dan nifas berikut ini menjelaskan apabila mereka tetap memilih berpuasa, maka puasanya tidak sah dan haram hukumnya apabila tetap melakukannya. Jika dilihat sekilas wanita yang tidak berpuasa karena haid maupun nifas adalah karena rukhshah atau keringanan untuk mereka.
Namun jika dipahami, rukhshah adalah satu dari dua pilihan yang keduanya boleh dilakukan, sedangkan tidak berpuasanya wanita haid dan nifas bukanlah pilihan antara dua hal yang boleh mereka lakukan, karena justeru mereka wajib tidak berpuasa atau haram berpuasa.
Dari sini dapat dipahami bahwa wanita haid dan nifas yang tidak berpuasa bukan karena rukhshah, namun karena agama memang melarang mereka berpuasa, dan bukan diberi pilihan antara berpuasa dengan tidak seperti musafir yang boleh tidak berpuasa sebagaimana mereka pun juga boleh tetap berpuasa.
Berikut kutipan dari para ulama mazhab terkait puasa wanita haid dan nifas;
Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);
لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها
“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama mereka haid. Bahkan ketika haid muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Harûriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa”
(Al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.962)
Al-Imam Abu al-Ma‘ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf al-Juwaini (w.478H);
الأمة أجمعت على أن الواجب هو الصيام الصحيح، ثم اتفقوا على أنه لا يصح من الحائض الصيام، كيف وقد أجمعوا على أنها لو أمسكت عن المفطرات ناوية صومها عصت الله
“Umat (ulama) telah berijma‘ bahwa yang wajib dilakukan itu adalah puasa yang sah dilakukan. Kemudian mereka sepakat tidak sah puasa wanita haid. Karena bagaimana bisa sah, sedangkan telah ada ijma‘ wanita haid dianggap bermaksiat kepada Allah apabila mereka menahan diri dari yang membatalkan sembari tetap berniat berpuasa”
(Al-Juwaini, al-Talkhîsh Fî Ushûl al-Fiqh, vol.1, hal.422-433)
Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H);
ومنها الطهارة عن الحيض والنفاس فإنها شرط صحة الأداء بإجماع الصحابة رضي الله عنهم
“Dan di antara sebab wanita sudah dapat berpuasa adalah suci dari haid dan nifas karena merupakan syarat sah menunaikan puasa berdasarkan ijma‘ para sahabat radhiyallâhu ‘anhum”
(Al-Kasani, Badâi’ al-Shanâi’ Fî Tartîb al-Syarâi‘, vol.2, hal.83)
Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H);
الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا، وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا
“Wanit haid dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘”
(Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)
Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);
أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم
“Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haid dan nifas karena mereka harus tidak berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa maka puasanya belum sah”
(Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)
Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn ‘Ali Ibn Abdil Kafi al-Subuki (w.771H);
وامتناع الصوم شرعا على الحائض بالإجماع فيحرم عليها ولا يصح
“Larangan berpuasa menurut agama bagi wanita haid adalah berdasarkan ijma‘, sehingga mereka haram berpuasa dan memang tidak sah”
(Al-Subuki, al-Ibhâj Fî Syarh Minhâj al-Wushûl Ilâ ‘Ilm al-Ushûl, vol.1, hal.79)
Wallâhu A‘lam