Saya perempuan aneh. Para feminis mungkin akan menganggap saya perempuan yang terhegemoni patriarki. Ketika banyak rekan sesama perempuan saya berjuang untuk hal-hal semacam akses perempuan ke pendidikan, penghargaan sebagai individu, kesempatan berkiprah di ruang publik, kebebasan dari kekerasan seksual, saya tidak tergerak untuk menyuarakan hal yang sama.
Ketidakmampuan merasakan gelora banyak orang di isu perempuan barangkali disebabkan oleh fakta saya mendapatkan hal-hal itu nyaris tanpa berjuang. Saya beruntung terlahir dan besar di lingkungan yang minim diskriminasi gender. Tak ada motivasi cukup besar karena tak ada pergulatan bagi saya pribadi. Renjana saya tak pernah benar-benar ada di sana. Itu sebabnya saya sangat kesulitan menulis tentang tema ini.
Tentu saya tidak sedang menafikan besarnya masalah perempuan. Harus diakui masih banyak pe-er kita sebagai bangsa, sebagai spesies bahkan, untuk menghargai perempuan sebagai manusia utuh. Saya juga jengkel dengan betapa media massa begitu gemar menjadikan perempuan sebagai objek pemberitaan. Heboh kasus prostitusi artis baru-baru ini jauh lebih banyak diulas media dari sisi objektifikasi semacam ini. Entah itu dengan membongkar hingga detail kehidupan personal si perempuan, atau membandingkan harganya dengan sepeda motor.
Sementara si lelaki terbebas dari sorotan publik semacam ini. Ulasan media tentang kasus pelecehan dan kekerasan seksual juga kerap terjatuh pada perangkap serupa. Keberpihakan pada korban—yang biasanya perempuan—masih lemah disuarakan.
Namun saya sadar diri. Banyak orang lain yang mampu menyuarakan hal-hal itu dengan lebih baik. Mereka yang telah lebih banyak membaca literatur mengenai gerakan perempuan dan feminisme jelas lebih kompeten bicara soal ini. Saya punya minat yang berbeda.
Dalam menyoroti “nasib” perempuan dalam pandemi covid-19 akhir-akhir ini, saya sepertinya juga berbeda posisi dengan kebanyakan orang. Seperti yang kita ketahui, berbagai media memberitakan soal meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di masa pandemi,[1] meningkatnya beban kerja perempuan,[2] meningkatnya stres,[3] dan lain sebagainya. Semua masalah itu muncul karena pandemi memang memaksa orang menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Kerja domestik otomatis meningkat selama pandemi. Anak-anak yang belajar dari rumah menuntut perhatian lebih dari orang tua. Rumah menjadi lebih sering berantakan. Kerja memasak dan mencuci piring juga lebih meningkat karena lebih banyak anggota keluarga yang lebih sering makan di rumah. Cucian baju menumpuk karena setiap kali keluar rumah kini pakaian harus langsung diganti dan dicuci.
Beban kerja yang meningkat ini hampir selalu dilimpahkan pada perempuan. Kerja domestik memang masih dianggap sebagai “wilayah perempuan.” Bahkan kalaupun bukan istri yang melakukan kerja-kerja tersebut, perempuan lain yang lebih marginal biasanya mengambil alih. Bukan para lelaki.
Meski demikian, cakrawala pandemi ini tak sepenuhnya suram bagi perempuan. Ada setitik cahaya terang juga. Masa-masa di rumah ini menawarkan satu peluang bagus: kesempatan untuk menunjukkan pentingnya kerja domestik dan menguatkan hubungan keluarga. Tak perlu menceramahi suami dengan rentetan teori feminisme, tak perlu berbusa-busa menjelaskan perjuangan kaum perempuan pada anak-anak. Upaya menuju kesetaraan gender, khususnya dalam hal pembagian kerja domestik yang setara, harus dimulai dari rumah.
Pentingnya Kerja Domestik
Kerja domestik dan kepengasuhan sampai sekarang belum banyak disentuh kaum lelaki. Kalaupun ikut ambil bagian, sebagian besar lelaki—bahkan lelaki milenial—hanya mengambil peran mengasisteni perempuan.[4] Padahal idealnya tidak demikian. Kerja domestik rata-rata berisi hal-hal esensial bagi kehidupan manusia, apapun jenis kelaminnya. Memasak menyediakan nutrisi penyambung hidup. Membersihkan rumah artinya merawat tempat bernaung kita dari panas dan hujan. Mengasuh anak berarti mendidik dan merawat generasi masa depan. Dengan demikian, kemampuan melakukan kerja-kerja domestik sudah semestinya dikuasai baik oleh lelaki maupun perempuan.
Banyak orang yang tak tahu bahwa sekadar memikirkan menu makan pagi, siang, dan malam memerlukan kerja perencanaan yang tidak main-main. Anda dibatasi oleh jatah uang bulanan (atau mingguan, atau harian), dibatasi oleh preferensi menu berbagai anggota keluarga, dibatasi oleh waktu. Ada pula pertimbangan soal kecukupan dan keseimbangan gizi tiap-tiap sajian. Padahal ada begitu beragam pilihan.
Jangan dikira layanan makan antar daring membuat tugas ini lebih mudah. Semakin banyak pilihan, semakin sulit. Apa iya anak-anak hanya diberi makan ayam goreng tepung setiap hari? Bagaimana membuat menu sayur-mayur yang disukai anak sekaligus memuaskan selera diri sendiri? Masak sendiri atau beli jadi? Begitu banyak pertimbangan dan keputusan yang harus diambil. Itu baru untuk satu jenis tugas domestik saja.
Selama ini para suami menjadikan kerja publik mereka sebagai alasan untuk tidak banyak terlibat urusan domestik. Seharian mereka bekerja di luar rumah. Begitu kembali ke rumah, biasanya mereka merasa kewajiban utama mereka sudah tunai. Apalagi ketika melihat istri lebih lihai menyelesaikan tugas domestik meski juga mengambil peran publik. Selain kurang waktu, alasan yang kerap dipakai para lelaki untuk menghindari tugas domestik adalah kurangnya kemampuan mereka dalam urusan domestik. Padahal dua hal ini seperti lingkaran setan, kemampuan kurang karena selama ini mereka jarang berlatih menyelesaikan tugas-tugas domestik.
Pandemi memaksa orang menyelesaikan urusan pekerjaan dari rumah sementara anak-anak bersekolah dari rumah. Work from Home (WFH ) dan school from home (SFH) membuat keluarga punya waktu bersama lebih banyak dari sebelumnya. Ini momen yang sangat tepat untuk untuk mulai berlatih berbagi beban domestik secara lebih setara.
Cara paling efektif untuk itu adalah dengan melibatkan seluruh anggota keluarga dalam kerja domestik, tanpa pandang jenis kelamin. Ajak seluruh anggota keluarga berdiskusi bagaimana cara terbaik untuk melakukan hal itu. Karena kondisi tiap keluarga berbeda, apa yang berhasil untuk satu keluarga mungkin tidak berlaku untuk keluarga yang lain.
Bahkan kalaupun para istri sudah angkat tangan soal suami, mereka sebenarnya masih punya peluang untuk mengubah mindset anak-anak. Memang akan merepotkan di awal-awal. Apalagi bila anggota keluarga tidak terbiasa melakukan kerja-kerja domestik. Hasil cucian piring anak mungkin tidak sebersih yang diinginkan. Hasil masakan suami mungkin jauh dari standar. Rasanya lebih mudah menyelesaikan semua sendiri. Tapi jangan menyerah dulu. Semua proses belajar butuh waktu. Kadang waktu yang tidak sedikit. Percayalah bahwa proses sulit yang dijalani anak-anak sekarang akan membuahkan hasil di masa depan. Anak-anak yang sejak kecil terbiasa melihat bahwa kerja domestik bukan tanggung jawab salah satu gender saja akan lebih mudah menerima kesetaraan dan berbagi peran saat kelak tiba waktunya ia membangun keluarga sendiri.
Lagipula ada keuntungan lain dari melakukan kerja domestik bersama-sama ini. Potensi konflik memang meningkat seiring meningkatnya waktu bersama. Namun ini juga meningkatkan potensi untuk lebih saling mengenal dan memahami. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk menguatkan kekompakan sebagai keluarga.
Penguatan Hubungan Keluarga
Banyak orang, terutama kalangan urban yang sibuk, beranggapan bahwa yang terpenting terkait waktu bersama keluarga atau anak adalah soal kualitas, bukan kuantitas. Pendapat ini ada benarnya memang, tapi tak sepenuhnya. Kuantitas juga penting. Tentu kuantitas rendah tapi kualitas tinggi lebih baik ketimbang kuantitas besar tapi kualitas buruk. Namun besaran kuantitas yang seiring dengan kualitas jelas lebih superior dalam membangun hubungan hangat antar anggota keluarga.
Pandemi memaksa kita mengatur ulang prioritas. Apa yang lebih penting: kesehatan atau kebebasan? Teman kerja atau keluarga? Siapa yang paling ingin kita lindungi keamanan dan kesehatannya? Siapa yang paling kita harapkan kesejahteraan dan kebahagiaannya?
Dalam proses penyusunan ulang prioritas itu, mungkin sebagian orang sudah mulai sadar bahwa keluarga adalah salah satu yang menempati posisi cukup tinggi. Tapi ada kemungkinan juga waktu bersama yang lebih banyak akan menunjukkan betapa kita masih punya banyak pe-er dalam hal menjalin komunikasi dan relasi dengan anggota keluarga kita. Banyak orang tua misalnya mengeluhkan tentang repotnya mendampingi anak belajar selama SFH.
Dalam sebagian besar kasus, ini menunjukkan bahwa mereka belum terlalu mengenal anak-anak mereka sendiri. Banyak yang belum paham apa minat anak mereka dan bagaimana cara terbaik meminta anak melakukan sesuatu. Tidak aneh. Terutama di perkotaan, anggota keluarga lebih banyak menghabiskan waktu bersama orang lain (anak dengan teman sekolah atau guru, orangtua dengan teman kerja). Pandemi memaksa kita kembali ke proritas kita.
Banyaknya kekerasan dan konflik rumah tangga juga merupakan bukti bahwa masih banyak pasangan dan atau keluarga yang belum memiliki keterampilan yang baik dalam menyelesaikan konflik. Manajemen stres dan pengendalian emosi merupakan hal-hal yang sebenarnya dapat dilatih bersama sebagai keluarga. Orangtua dapat mengajarkan hal-hal ini kepada anak-anaknya. Tentu bukan sekadar dengan memberi petuah, nasihat, apalagi omelan. Orangtua mengajarkan hal-hal itu dengan mencontohkannya. Dengan memberi teladan. Ketika ayah dan ibu jadi terlihat sering berbeda pendapat karena lebih sering bersama, ini dapat dijadikan ajang mencontohkan cara yang sehat untuk menghadapi perbedaan pendapat. Sekali dayung, dua-tiga pula terlampaui. Kita dapat melatih pola komunikasi dan pengendalian emosi dengan pasangan, sekaligus mengajarkan itu pada anak-anak kita.
Ketika keluarga sudah mencapai bentuk dan pola interaksi yang sehat, ini akan menjadi modal yang sangat besar guna menghadapi segala masalah dari luar. Dukungan sosial dan kohesi keluarga adalah benteng pertahanan kesehatan mental individu.[5] Rasa kelekatan yang aman dalam diri anak pada orangtua, merupakan investasi yang sangat berharga untuk menghadapi dunia luar. Jenis kelekatan, apakah aman atau tidak, akan menentukan seperti apa pandangan yang dibangun seseorang dalam benaknya tentang orang lain.
Bila anak memandang orangtua sebagai sosok yang hangat dan penuh cinta, kompas batin dalam dirinya akan cenderung menganggap manusia-manusia lain sebagai hangat dan penuh cinta.[6] Dengan demikian, dunia jadi terasa lebih menyenangkan dan lebih mudah dihadapi bukan?[]
Referensi
Cano, M. Á., Sánchez, M., Rojas, P., Ramírez-Ortiz, D., Polo, K. L., Romano, E., & De La Rosa, M. (2018). Alcohol Use Severity Among Adult Hispanic Immigrants: Examining the Roles of Family Cohesion, Social Support, and Gender. Substance Use & Misuse, 53(4), 668–676. https://doi.org/10.1080/10826084.2017.1356333
Compton, M. T., Thompson, N. J., & Kaslow, N. J. (2005). Social environment factors associated with suicide attempt among low-income African Americans: The protective role of family relationships and social support. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 40(3), 175–185. https://doi.org/10.1007/s00127-005-0865-6
Ding, X., Ansari, A., Li, X., Liu, Y., & Yan, N. (2020). Transactional effects between parental sensitivity and child social adjustment: Specifying trait–state aspects of parenting. Developmental Psychology, 56(7), 1331–1342. https://doi.org/10.1037/dev0000963
Santos, S., Crespo, C., Canavarro, M. C., & Kazak, A. E. (2015). Family Rituals and Quality of Life in Children With Cancer and Their Parents: The Role of Family Cohesion and Hope. Journal of Pediatric Psychology, 40(7), 664–671. https://doi.org/10.1093/jpepsy/jsv013
Singleton, A., & Maher, J. (2004). The “New Man” Is in the House: Young Men, Social Change, and Housework. The Journal of Men’s Studies, 12(3), 227–240. https://doi.org/10.3149/jms.1203.227
Zvara, B. J., Mills-Koonce, R., Feagans, L. V., Cox, M., Blair, C., Burchinal, P., Burton, L., Crnic, K., Crouter, A., Garrett-Peters, P., Greenberg, M., Lanza, S., Werner, E., & Willoughby, M. (2019). Intimate Partner Violence, Parenting, and Children’s Representations of Caregivers. Journal of Interpersonal Violence, 088626051988852. https://doi.org/10.1177/0886260519888527
[1] https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona
[2] https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53303850,
http://yayasanpulih.org/2020/06/perubahan-peran-gender-selama-pandemi/
[3] https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/08/14/publik-alami-kecemasan-dan-depresi-akibat-pandemi-covid-19/
[4] Sebuah riset menunjukan betapa para lelaki, bahkan yang sudah terpapar feminisme dan tidak menganut pandangan patriakis terkait gender, belum banyak menyentuh kerja domestik di luar kepengasuhan anak (Singleton & Maher, 2004)
[5] Kohesi keluarga terasosiasi dengan rendahnya tingkat bunuh diri (Compton et al., 2005) juga terkait dengan rendahnya penyalahgunaan alkohol(Cano et al., 2018) juga dengan kualitas hidup yang lebih baik(Santos et al., 2015)
[6] Anak-anak dari orangtua yang menunjukkan kepekaan akan lebih mudah beradaptasi secara sosial(Ding et al., 2020) dan nantinya akan lebih kecil risikonya untuk terjebak dalam hubungan yang penuh kekerasan domestik(Zvara et al., 2019)
*Analisis ini kerja sama Islami.co dan RumahKitaB(