Perempuan dan Laki-Laki Setara: Membaca Tafsir Surat Al-Nisa Ayat 34

Perempuan dan Laki-Laki Setara: Membaca Tafsir Surat Al-Nisa Ayat 34

Surat al-Nisa ayat 34 kerapkali dijadikan dalil untuk menunjukkan bahwa laki-laki punya peran lebih besar dibanding perempuan, apakah benar seperti itu?

Perempuan dan Laki-Laki Setara: Membaca Tafsir Surat Al-Nisa Ayat 34

Di antara agama-agama samawi, Islam termasuk agama yang sempurna dan universal. Kesempurnaan ajaran Islam tak terlepas dari sumbernya, yakni Allah, yang merupakan pencipta alam raya dan isinya.

Lebih jauh lagi, nilai dasar dari ajaran Islam adalah mengandung sifat insaniah. Yang dalam pengertiannya, semua ajaran Islam selalu sejalan dengan fitrah manusia, ajaran Islam tidak didesain untuk menzalimi dan  merugikan umat manusia. Tidak juga untuk kepunahan umat manusia. Pendek kata, ajaran Islam adalah rahmat bagi alam semesta.

Dengan demikian, ajaran Islam juga seyogianya ramah pada perempuan. Islam tidak pernah mendiskriminasi eksistensi perempuan. Posisi perempuan dalam pandangan Islam terbilang cukup penting. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad, menggambarkan keistimewaan dan posisi strategis perempuan dalam keberadaannya di tengah masyarakat.

Salah satunya adalah hadis Nabi Muhammad yang menjelaskan bahwa perempuan dimuliakan dengan menyebutkan bahwa surga berada di bawah telapak kakinya. Dalam hadis riwayat al-Nasa’i dan Ibnu Majah dikisahkan, Jahimah, seorang sahabat Nabi, sangat ingin perang bersama Nabi. Dia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ، فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

“Aku ingin berperang bersamamu dan aku datang untuk meminta petunjukmu. Rasul bertanya, ‘Apakah kamu mempunyai ibu?’ ‘Ya,’ jawabnya. ‘Lazimkanlah ibumu karena surga berada di bawah telapak kakinya.’” (HR: Al-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Pada hadis Nabi yang lain, riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah menjelaskan kedudukan perempuan dalam Islam sangat mulia. Derajat perempuan tinggi dalam Islam. Itu tak terlepas dalam perannya sehari-hari. Nabi bersabda;

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَةٍ قَالَ أُمُّكَ قاَلَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوْكَ

“Seorang sahabat datang kepada Nabi SAW. Kemudian bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk dihormati?”, Nabi menjawab:”Ibumu”, kemudian siapa Wahai Nabi?, “Ibumu” jawab Nabi lagi, “kemudian siapa lagi Wahai Nabi?:” Ibumu” kemudian siapa Wahai Nabi? “bapakmu”, jawab Nabi kemudian.” (HR: Bukhari-Muslim)

Sementara itu, dalam prinsipnya, relasi perempuan dan laki-laki dalam Islam sederajat atau sama satu dengan yang lain. Yang membedakan seseorang tersebut mulia atau hina adalah sikap takwa yang ada dalam hatinya. Jika seorang perempuan bertakwa dan melakukan amal kebajikan, maka ia akan mendapatkan keistimewaan dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Mukmin ayat 40;

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فؤلئك يدخلون الجنة يرزقون فيها بغير حساب

“Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.”

Dalam Tafsir Al Azhar, Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam ayat ini mengandung keindahan yang tiada tara. Kandungan ayat yang indah ini, membuktikan bahwa memang benarlah bahwa dia wahyu dari Allah. Dalam ayat ini disebut bahwa tidak ada perbedaan penghargaan terhadap  laki-laki dengan perempuan. Asal sama-sama beramal, keduanya sama-sama berhak dan sama-sama mensaat ganjaran Allah.

Pada sisi lain, Ibnu Katsir dalam Al-Qur’an al Adzim,  bahwa perempuan dan laki-laki yang beriman pada Allah dan juga melakukan amal kebajikan,  maka ia akan dibalas dengan pelbagai kebajikan. Menariknya,  balasan yang akan diterima keduanya (laki-laki dan perempuan) tidak hanya dengan satu balasan, bahkan Allah akan membalasnya dengan pahala melimpah yang tidak akan terputus dan tidak akan habis.

Membaca Kembali Tafsir Al-Nisa ayat 34

Kendati Al-Qur’an dan hadis Rasulullah menjelaskan relasi perempuan dan laki-laki setara, namun tak bisa mungkin bisa dipungkiri ada saja pandangan misoginis terhadap perempuan. Terlebih dalam persoalan rumah tangga, yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga. Bahkan bukan saja sebatas pemimpin, suami harus dominan dalam urusan rumah tangga. Jika membantah ucapan suami, termasuk urusan ranjang, maka seketika perempuan akan dikutuk ratusan malaikat.

Legitimasi peran suami dalam rumah tangga tersebut, biasanya dengan mencantumkan Q.S. Al-Nisa’[4]: 34, yang kebanyakan masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Untuk itu  tidak boleh membantah, jika tidak ingin jatuh dalam nusyuz (durhaka).

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

 Artinya:

“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS: Al-Nisa ayat 34)

Lantas sebenarnya bagaimana tafsir surat al-Nisa ayat 34 tersebut?

Ada penjelasan menarik dari Profesor Quraish Shihab dalam Tafisr al-Misbah terkait penjelasan tafsir ayat di atas. Menurutnya kata ( اَلرِّجَالُ) oleh banyak ulama tafsir diterjemahkan sebagai laki-laki. Lebih jauh lagi, dalam konteks surah An Nisa di atas, para ulama banyak yang mengartika kata Rijal adalah para suami, kendatipun Al-Qur’an tidak selalu menggunakan kata tersebut.

Pada sisi lain, Quraish Shihab dengan mengutip Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir, karya Thahir Ibnu Asyur, bahwa kata al-rijal dari segi gramatikal bahasa Arab, tidak selalu diartikan sebagai suami. Hal itu berbeda dengan kata dalam Al-Qur’an yang menggunakan term al-nisa atau imra’ah— kedua kata itu digunakan untuk makna istri atau perempuan.

Adapun kata (قَوَّامُوْنَ) qawwamun adalah bentuk dari kata Qawwam, yang diambil dari kata (قَامُ) qama. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak, sejalan dengan kata ar rijal, yang berarti banyak laki-laki. Namun, kata ini sering kali digunakan sebagai pemimpin. Tetapi seperti terbaca dari makna di atas, agaknya terjemahan ini belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendak.

Meskipun harus diakui bahwa dalam ayat ini mengandung aspek kepemimpinan. Atau dengan kata lain, dalam pengertian kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Dalam penjelasan ini, lebih ditarik pada hubungan relasi antara suami dan istri. Tidak sebatas bahwa perempuan objek semata, tetapi ada relasi dalam ayat ini.

Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarkannya kepada sewenang-wenangan. Akan tetapi dalam persoalan rumah tangga, seyogianya diselesaikan dengan musyawarah.  Pun musyawarah merupakan perintah dan anjuran Al-Qur’an, termasuk dalam menyelesaikan masalah rumah tangga.

Muhammad Ali Shabuni dalam kitab Shofwah at-Tafasir, bahwa al-Nisa ayat 34 ini sejatinya menjelaskan relasi suami dan istri dalam rumah tangga. Seorang suami memiliki kewajiban terhadap isterinya untuk menjaga, mendidik, dan memberikan nafkah. Pada sisi lain, istri pun demikian, memiliki kewajiban pada suaminya.

Patuh pada perintah Allah dan taat pada suaminya. Istri juga bertugas menjaga dirinya dari perbuatan buruk, serta menjaga harta suaminya dari kemubaziran.  Sejatinya suami dan istri dibebankan kewajiban untuk saling menutupi, saling melengkapi kekurangan, dan menjaga rahasia pribadi antar keduanya. Melalui cara kepemimpin seperti ini, akan tercipta kasih dan sayang antar keduanya.

*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja