Jika kita melihat situasi Indonesia hari ini, kita berada di dalam situasi “turn conservatism” atau menguatnya gejala konservatisme beragama. Gejala yang mengarah konservatisme beragama ini ditandai dengan beberapa aktivitas keislaman yang berorientasi kepada tafsir keagamaan yang tertutup (eksklusif), intoleransi dan penolakan terhadap upaya demokratisasi.
Dari sekian gejala menguatnya konservatisme beragama, terutama dengan ditandai pemahaman keagamaan yang tertutup dan literalis tersebut. Menurut Ulil Abshar Abdalla dalam sebuah diskusi di Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) Jakarta, menjelaskan bahwa kelompok yang paling dirugikan dari konservatisme beragama adalah kaum perempuan. Perempuan dalam kalangan Islam konservatif cenderung mengalami pengekangan-pengekangan. Keberadaannya hanya diposisikan dibawah dominasi laki-laki.
Pengekangan terhadap kaum perempuan dalam kalangan Islam konservatif didasarkan pada fondasi pemahaman keislaman yang literalis dan skriptualis. Paham keislaman yang skriptualis dan literalis telah menafsirkan ajaran keislaman secara kaku dan tidak membaca ulang sumber-sumber ajaran Islam untuk dikontekstualisasikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Seperti pentafsiran kalangan Islam konservatif terhadap ayat al-Qur’an pada surat an-Nisa’ ayat 3 (tiga), yang menjelaskan terkait dengan persoalan poligami dalam Islam. Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang muslim diperbolehkan menikahi dua, tiga atau empat perempuan. Kaum konservatif melihat teks dari surat tersebut sebagai justifikasi dari hukum kebolehannya melakukan poligami. Klaim mereka akan kebolehan atas hukum poligami tersebut pada dasarnya bersumber pada cara tafsiran kelompok mereka atas dalil keagamaan secara literalis. Mereka melihat bahwa ada teks al-Qur’an yang memperbolehkan itu.
Padahal, untuk menafsirkan dalil-dalil agama tidak bisa hitam-putih sebagaimana kaum Islam konservatif yang tidak mau memahami teks ayat tersebut secara kontekstual dan komprehensif. Dalam lanjutan dari teks ayat tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa untuk melakukan poligami seseorang muslim harus mampu untuk berlaku adil kepada calon istri-istrinya. Lebih lanjut lagi, dalam sisi historis perkembangan Islam, ada sebuah sejarah yang menjelaskan bahwa ketika Islam pertama kali disebarkan oleh Rasulullah, Islam membebaskan martabat kaum perempuan yang pada zaman Jahiliyah tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Dengan adanya tambahan dalil yang mempersyaratkan seseorang muslim yang akan poligami untuk mempunyai sifat adil dan pendasaran historis yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang memperjuangkan martabat perempuan tersebut, pada dasarnya sudah otomatis menggugurkan klaim dari penafsiran kaum skriptualis dan literalis yang memahami ajaran Islam secara hitam-putih di atas.
Bahkan, belakangan ini banyak dari kalangan intelektual Islam yang banyak meneliti bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam Islam. Para intelektual Islam banyak yang menjelaskan bahwa pada dasarnya Islam sangat menghargai martabat seorang perempuan. Mereka menafsirkan dalil-dalil al-Qur’an dengan mengkontekstualisasikan dengan dunia saat ini dan memahami teks al-Qur’an secara historis.
Perlunya penafsiran ulang atas dalil-dalil kegamaan secara kontekstual dan historis adalah upaya untuk membawa ajaran-ajaran agama supaya mampu menjawab tantangan persoalan zaman saat ini. Praktik-praktik dominasi laki-laki atas perempuan yang selama ini terjadi adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Dan praktik-praktik kejahatan tersebut sudah tak ada tawar menawar lagi untuk tidak diakhiri.
Dalam konteks yang demikian itu, agama seharusnya masuk dan mengikuti perdebatan tersebut dan menjawab tantangan-tantangan tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa Islam mempunyai spirit untuk membebaskan kaum perempuan dari kekangan peradaban zaman Jahiliyyah. Sebagaimana yang sudah dicontohkan pada masa itu, bahwa Islam adalah membebaskan kaum perempuan. Seharusnya, saat ini Islam juga harus berperan dalam upaya menjawab tantangan peradaban saat ini. Bukan malah sebaliknya, kita menutup diri dari perdebatan tersebut dan melegitimasinya dengan dalil keagamaan. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.