Di saat pola hubungan antara laki-laki dan perempuan sangatlah tidak berimbang, seperti Indonesia, di mana laki terlalu dominan dari sisi sosial, ekonomi hingga politik. Perjuangan melawan eksploitasi atas perempuan adalah perjuangan seakan takkan pernah usai. Sebab, selama pola hubungan yang tak seimbang tersebut terus dipertahankan, perempuan sangat rentan mengalami eksploitasi walau tidak semua laki-laki atau tidak semua perempuan diuntungkan atau dirugikan.
Proses penegasan dominasi laki-laki pun terjadi di film-film Islami yang menampilkan perempuan. Kebanyakan film tersebut bukan tidak sedikit menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak berdaya dan menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih utama dan dilayani. Ketidakberdayaan perempuan ini seakan-akan terus dipertahankan untuk kepentingan kekuasaan laki-laki. Coba lihat kembali beberapa film seperti Ketika Cinta Bertasbih 1-2, Ayat-Ayat Cinta 1-2, Surga yang Tak Dirindukan 1-2 dan Dalam Mihrab Cinta, dalam film-film ini kita bisa melihat bagaimana sosok seperti “Fahri”, “Azzam”, “Pras” dan “Syamsul” seakan menjadi rebutan banyak cewek dan digambarkan sebagai lelaki yang sempurna baik secara fisik ataupun agama. Bahkan dalam Ayat-ayat Cinta 1-2, perempuan di sana sampai memaksa “Fahri” untuk menikahi dirinya. Visualisasi yang tepat untuk menggambarkan kelemahan sosok perempuan.
Dalam kajian feminisme pascamodern, ada sebuah teori dikenal dengan “Falosentris”. Teori ini diperkenalkan untuk menyebutkan sifat psikoanalisis yang sangat lelaki, di mana perempuan akan secara “alami” menganggap alat kelamin mereka inferior atau bahwa seksualitas yang “benar” adalah heteroseksualitas genital yang menekankan pada kekuatan laki-laki dan kepasifan perempuan.
Teori ini merupakan perkembangan dari pemikiran Simone De Beauvoir yang dikenal dengan pemikirannya, bahwa perbedaan gender bukan berakar pada dari biologi, tetapi diciptakan dari untuk melangengkan penindasan terhadap perempuan. Egosentrisme yang dibangun oleh laki-laki yang menganggap perempuan adalah warga kelas dua adalah bentukan sosial kultural.
Perjuangan pembongkaran pembagian kelas yang menindas ini berharap tidak ada lagi yang menjadi the others (sang liyan). Karena konsep sang liyan yang menampilkan kondisi pihak yang inferior dan tertindas. Penolakan ini dikarenakan penolakan mereka pada apa yang disebut “falogosentrisme”, di mana ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut di mana logos dipersepsikan laki-laki.
Perempuan dipersepsikan oleh laki-laki itulah yang terjadi saat perempuan ditampilkan dalam sebuah film. Sebab, posisi subjek yang dimiliki oleh laki-laki untuk menempatkan perempuan di sana sebagai bagian dari kekuasaan yang dimilikinya. Laki-laki yang mengambil posisi subjek untuk menginterpretasikan posisi perempuan adalah bagian dari konstruksi politik sosial budaya yang selama ini bertahan.
Posisi subjek adalah perspektif, atau kumpulan makna diskursif yang teregulasi dan meregulasi, yang digunakan untuk bisa memahami teks atau wacana. Chris Barker dalam buku Cultural Studies: Teori dan Praktek, menggambarkan bahwa sebuah film menawarkan kepada kita, bahwa seorang perempuan adalah bagaimana seharusnya menjadi perempuan feminim, perempuan yang atribut hubungannya dengan lelaki dan keluarga berasal dari komoditas tersebut…seorang perempuan tak lebih dari komoditas yang ia pakai’, dalam persoalan ini film mengkonstruksi posisi-posisi subjek bagi perempuan yang menempatkan mereka di dalam pekerjaan patriarkis dunia domestic, yaitu di bawah posisi lelaki.
Peran perempuan biasanya dikonstruksi menjadi seorang ibu, istri, menarik secara seksual dan lain-lain. Namun persoalannya sebenarnya bukan dalam pencitraan ini, namun orang macam apa yang ingin dikonstruksi dan apa konsekuensi daripadanya. Setiap konstruksi yang dilakukan oleh subjek selalu menuntut syarat pada objeknya. Oleh sebab itu, saat laki-laki menjadi subjek maka perempuan harus taat pada konseksuensi syarat yang dilekatkan kepadanya.
Dalam sebuah masyarakat yang budaya patriarki sangat dominan, di mana suatu hubungan sosial yang kaum laki-laki mendominasi, mengeksploitasi, dan menindas kaum perempuan, film hanyalah bagian dari sebuah proyek mengeksploitasi perempuan dari segi ekonomi hingga sosial. Saat perempuan ditampilkan sebagai bagian dari film, bukan cuma eksploitasi secara ekonomi, politik dan budaya tapi juga bagian dari pemuas imajinasi kekuasaan lelaki atas perempuan yang ideal seperti apa.
Jadi dengan kehadiran perempuan dalam film Islami, menimbulkan sebuah pertanyaan apakah kampus-kampus yang memunculkan perempuan di filmnya, disebabkan ketidakmampuan melepaskan diri dari budaya patriarki yang sangat dominan di negeri kita? Terus di saat narasi agama masuk dalam film, masih belum bisa melepaskan diri dari budaya patriarki, ke mana lagi kita berharap untuk mewujudkan perlawanan terhadap diskriminasi atau eksploitasi atas diri perempuan? Di akhir tulisan ini saya akan menutup dengan sebait lirik dari lagu yang diciptakan oleh Melly Goeslaw untuk menjadi soundtrack film “Kartini”.
Aksara yang menari di atas awan
Cukup jelas menuliskan harapan
Memang kenapa bila aku perempuan
Aku tak mau menjadi budak kebodohan
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin