Percakapan Rasulullah dengan Seseorang yang Berhubungan Suami Istri

Percakapan Rasulullah dengan Seseorang yang Berhubungan Suami Istri

Bagaimana percakapan Rasulullah dengan orang yang berhubungan suami-istri, di waktu Ramadhan pula

Percakapan Rasulullah dengan Seseorang yang Berhubungan Suami Istri

Syahdan, menghadaplah seorang pria muslim di hadapan Rasulullah. Sambil bersimpuh dia berkata: “Celakalah diriku wahai Rasulullah,” ujarnya.

“Apa yang menyebabkan dirimu celaka?” tanya Rasulullah

Sambil tergopoh-gopo, si pria lalu berkata,“Aku berhubungan dengan istriku di siang hari, di bulan ramadan.”

Rasulullah menatap pria itu, lalu bertanya, “Apakah engkau mampu membebaskan seorang budak?”

Lalu, pria itu pun menjawab,“Jangankan membebaskan seorang budak wahai Rasul, sedangkan diriku sendiri saja tak jadi budak pun itu sudah sungguh beruntung.”

Rasulullah berdiam sejenak,“Bagaimana jika engkau berpuasa selama 2 bulan berturut-turut? Mampukah engkau melakukannya?”

Pria itu diam sejenak.

“Wahai Rasul, tidakkah engkau lihat badan hamba sudah kurus kering begini? Bagaimana mungkin badan hamba yang renta ini mampu melakukan puasa selama itu dan bahkan diharuskan berturut-turut pula?”

“Kalau begitu, berilah makan sebanyak 60 orang miskin. Engkau sanggup bukan?”

“Wahai Rasul sang penyejuk dunia, bahkan untuk memberi makan diriku sendiri dan keluargaku pun hamba tak sanggup, lantas bagaimana mungkin hamba hendak memberi makan orang miskin sebanyak itu?”

Rasulullah tersenyum.

“Kalau begitu, duduklah sebentar.”

Pria itu mengubah posisinya dari berdiri menuju duduk. Rasulullah lantas menyuruh salah satu sahabatnya untuk mengambilkan berkarung bahan makanan milik beliau sambil berujar pada si pria:

“Ambillah ini, dan bagikanlah pada orang-orang miskin!” perintah Sang Rasul

Pria itu menoleh ke kiri-kanan, lalu mengungkapkan argumennya untuk yang kesekian kalinya, dengan suara lirih, “Wahai Rasul, manusia terbaik yang sungguh dermawan, jikalau sudi, silahkan tengok di seantero Madinah yang terapit dua bukit ini, tidak akan tuan temukan satu pun orang yang lebih miskin dari diriku. Apa yang tuan hadiahkan padaku ini, bolehkah aku gunakan untuk memberi makan keluargaku?”

Alih-alih menghardik ataupun marah, Rasulullah malah tersenyum hingga beberapa gigi beliau yang indah berkilau terlihat, sambil berkata: “Baik…ambillah ini dan berikan untuk makan keluargamu.”

Menyimak kisah yang termuat dalam kitab hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Imam Nasai.

Para ahli fiqh merumuskan hukum bahwa jika seseorang berhubungan suami istri di siang hari bulan ramadan, maka pelaku akan dikenakan sanksi melakukan salah satu dari tiga alternatif berurutan, yakni: 1). membebaskan budak atau 2). jika tidak mampu maka melakukan puasa di luar Ramadan dua bulan berturut-turut tanpa henti. Atau jika masih tidak mampu, 3) maka memberi makan sebanyak 60 orang miskin.

Salah satu alternatif tersebut mesti dilakukan jika yang bersangkutan ingin terbebas dari beban dosa akibat perbuatannya. Hal menarik yang ingin penulis ulas lebih lanjut adalah bagaimana jika si pria di atas menghadap ke kita?

Bisa jadi kita akan  merah, dia telah berdosa dan ingin terbebas dari dosa, sekaligus ingin mendapatkan keuntungan dari penebusan dosanya sehingga dia lantas bisa memberi makan keluarganya. Itu bisa jadi adalah gambaran sikap kita, yang terkadang oportunis

Hikmah yang bisa kita petik dari kisah ini, bagaimana kita meneladani kearifan kanjeng Rasul dalam menyikapi sebuah masalah keagamaan. Begitu bijak dan menyalahkan orang, tapi penuh kebajikan dan keramahanan. Tentu ini bisa dijadikan contoh, terlebih oleh mereka yang mengaku paling Islami sementara sikap dan perilakunya jauh dari teladan Nabi []

Kholid Saerozi,  Koordinator Kajian dan Penelitian di Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP).