Siapapun yang percaya agama dengan segala perangkatnya, sulit dipisahkan darinya konsepsi agung bahwa Tuhan adalah Sang Maha Pencipta. Dalam tradisi teologi Islam, sejak kelahiran dan persebarannya hingga era modern, konsepsi Tuhan dengan segala kemahaan yang melekat pada-Nya dirumuskan secara berbeda di kalangan teolog-teolog Muslim. Lalu, bagaimana dengan kemahaan Tuhan sebagai Maha Pencipta? Tulisan ini hendak membahas salah satu ‘perbuatan Tuhan’ di dalam Al-Qur’an, yaitu kha-la-qa (menciptakan).
Kha-la-qa tidak sama dengan to invent yang berarti penemuan terbaru suatu hal melalui proses imajinasi atau eksperimen. ‘Menciptakan’ versi al-Qur’an juga bukan to discover yang berkenaan dengan pengetahuan yang diketahui pertama kali oleh manusia, lebih-lebih to explore yang semata-mata memperkaya studi atau investigasi lanjutan atas apa yang telah diketahui.
Kata kha-la-qa di dalam al-Qur’an jumlahnya melimpah dan kesemuanya diperuntukkan bagi Tuhan, mengingat makna utamanya adalah menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Terdapat beberapa derivasi kata kha-la-qa yang tidak berhubungan langsung dengan Tuhan, misalnya khuluqun (akhlak), ikhtilaaqun (dusta yang diada-adakan), dan khalaaqun (bagian/keuntungan).
Ditegaskan oleh al-Qur’an, mustahil bagi manusia memiliki kemampuan menciptakan sesuatu dari ketiadaan sebagaimana yang Tuhan lakukan (QS ath-Thuur 52:35-36 dan QS al-Waaqi’ah 56:59), apalagi memungkinkan berhala-berhala mati buatan mereka menjadi tuhan-tuhan pencipta (QS al-A’raaf 7:191 dan QS ar-Ra’d 13:16). Sesembahan berhala mereka bahkan tak mampu menciptakan seekor lalat sekalipun (QS al-Hajj 22:73). Mengingat penciptaan menjadi domain Tuhan, tugas manusia hanya perlu merenungi (ta-fak-ka-ra) ciptaan-ciptaan-Nya saja (QS Aali ‘Imraan 3:190-191). Melihat kemahakuasaan Tuhan dalam bidang penciptaan, sebenarnya apa saja yang Tuhan ciptakan?
Di Balik Skenario Tuhan ‘Menciptakan’
Tentu saja Tuhan menciptakan banyak hal, termasuk Bumi, langit, dan seisinya (meliputi hewan ternak, tumbuhan, air dari langit, matahari, bulan, serta peralihan siang dan malam, dan lain sebagainya). Namun demikian, ada hal-hal yang lebih penting dari material fisik yang Tuhan ciptakan dari ketiadaannya.
Dalam telaah saya, ayat-ayat kha-la-qa menyuguhkan sisi lain dari kuasa Tuhan dalam topik penciptaan. Pertama, mempertegas tindakan penciptaan-Nya melalui frasa “…li maa khalaqtu bi yadayya.” pada QS Shaad 38:75. Kata yadun, yang makna harfiahnya ‘tangan’ dan umumnya dimaknai ‘kuasa’ dijelaskan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya sebagai penekanan ke-aku-an Tuhan karena menciptakan Adam tanpa perantara, tidak seperti penciptaan manusia pada umumnya. Momen kemarahan Tuhan ketika itu (jika boleh menyebut demikian) terjadi karena Iblis enggan bersujud kepada Adam.
Kata yadun yang berarti ‘kuasa’, menurut Imam al-Qurthubi, sepadan kedudukannya dengan wajhun pada kalimat, “…wa yabqaa wajhu rabbika.” (QS ar-Rahmaan 55:27), yang tujuannya untuk memuliakan Tuhan dan spesifik menyasar pada aspek kekekalan-Nya. Tanpa penyertaan kedua kata tersebut, makna kedua ayat di atas telah dipahami dengan baik. Di sisi, dimunculkannya kedua kata penegas tersebut bukan sebentuk kesombongan Tuhan melainkan penekanan kemahaan-Nya kepada Iblis dan manusia bahwa kuasa-Nya itu nyata adanya.
Kedua, masih relevan dengan poin pertama, bahwa Tuhan menciptakan manusia by himself. Firman Tuhan, “Dzarnii wa man khalaqtu wahiidaa.” (QS al-Muddatstsir 74:11), jika dimaknai bebas mengandung pesan bahwa Tuhan menciptakan manusia ‘seorang diri’. Selain makna ini, dalam Ma’aanii al-Qur’aan, al-Farra menyatakan ada pendapat lain, yaitu manusia diciptakan dalam keadaan seorang diri, tanpa harta dan keturunan. Lalu, Tuhan menyiapkan baginya berbagai macam rizki (QS al-Muddatstsir 74:12-14).
Ketiga, penciptaan yang dilakukan Tuhan sangat profesional. Selain dilakukan secara serius (QS al-Anbiyaa’ 21:16), ciptaan Tuhan dijamin terhindar dari unsur kesia-siaan (QS Shaad 38:27) karena dipertimbangkan keterpaduannya (QS ad-Dukhaan 44:39), dalam arti berjalan dalam rumus sunnatullaah (sistem Tuhan) dan sistem itu telah ditetapkan-Nya (QS al-Qamar 54:49). Sebagai ciptaan Tuhan, manusia diciptakan sebaik mungkin oleh Tuhan (QS at-Tiin 95:4). Tiada cela dan hina padanya, namun Tuhan mengharuskan adanya evaluasi dan pertanggungjawaban pada diri manusia selama hidup di dunia (QS al-Mu’minuun 23:115 dan QS Yaasiin 36:65).
Hal-Hal Penting Seputar Penciptaan Manusia
Penciptaan langit dan Bumi yang dianggap lebih penting dari penciptaan manusia (QS Ghaafir 40:57), menurut Tafsiir al-Maawardi, dikarenakan maksud dari ‘penciptaan manusia’ tersebut memiliki 3 makna. Frasa akbaru min khalqi an-naasi dijelaskan al-Mawardi mencakup fakta-fakta bahwa penciptaan langit dan Bumi (1) lebih besar dari penciptaan Dajjaal, (2) lebih besar dari proses dibangkitkannya manusia dari kubur, dan (3) lebih besar dari sakitnya siksa kuffar dan pengasingan yang kuffar timpakan kepada Nabi Muhammad selama mendakwahkan Islam.
Meski penciptaan manusia dan pembangkitannya dari kubur lebih mudah, nyatanya Tuhan tak segan memuliakan manusia. Selain diciptakan dalam bentuk bentuk terbaik, pada diri manusia ditiupkan sebagian ruh Tuhan (QS al-Hijr 15:29 dan QS Shaad 38:72). Potensi baik ini kelak perlu dikelola dengan baik agar manusia bisa memenuhi standar penilaian ketaqwaan dari Tuhan (QS al-Hujuraat 49:13) sambil berjibaku menjinakkan hawa nafsu yang selalu mendorong kepada keburukan, la ammaaratun bi as-suu’ (QS Yuusuf 12:53).
Selain itu, Tuhan juga berlaku adil kepada manusia dengan membebaskan apapun tindakan manusia asalkan sanggup mempertanggungjawabkannya kelak di Akhirat (QS al-Kahf 18:29 dan QS al-Israa’ 17:7). Sikap adil Tuhan kepada manusia sangat egaliter, seperti tertuang dalam kisah Nabi Ibrahim yang dikisahkan pada QS ash-Shaaffaat 37:96.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa potongan bagian akhir ayat tersebut, “…wa maa ta’maluun.” memiliki banyak kemungkinan makna. Antara lain: (1) material batu dan kayu yang dipahat dan dijadikan sebagai berhala oleh umat Nabi Ibrahim; (2) pernyataan bernada merendahkan sekaligus mempertanyakan, “Apa yang kamu lakukan itu?”; atau (3) bermakna ‘tidak’ pada kata maa dan jika diterjemahkan keseluruhan ayatnya akan berbunyi demikian, “Padahal Allah yang menciptakan kamu, dan kamu tidak melalukan suatu apapun.”
Ada makna alternatif lain yang selama ini menggugah rasa penasaran saya, yaitu dengan memaknai klausa maa ta’maluun sebagai ‘tindakan manusia’. Maka, terjemahan ayat tersebut menjadi, “Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu lakukan.” Fakta bahwa ayat ini diucapkan Nabi Ibrahim kepada para penyembah berhala, mengharuskan terjemahan ayat tersebut berbunyi, “Allah menciptakan kamu dan sesembahanmu.” Ada kontradiksi di sini. Namun, saya tidak sendirian.
Menurut M. Quraish Shihab, pemaknaan menyangkut perbuatan manusia telah diperbincangkan di kalangan Ahlussuunah Wal Jamaah, tepatnya di kalangan Asy’ariyyah karena gagasan ini dicetuskan oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Dijelaskan bahwa bahkan apa yang dilakukan manusia, apapun tindakan itu, merupakan ciptaan Tuhan. Manusia ‘hanya’ kebagian proses kasb atau proses pendayagunaannya saja. Manusia hanya terlibat dalam proses fungsi dan guna, bukan menciptakan tindakannya.
Dari konsep kasb ini, timbul di benak saya fantasi liar bahwa Tuhan telah menginstalasi operating system (sistem operasi) di pikiran kita, layaknya gawai pintar masa kini dan di dalamnya tersaji menu tindakan yang lengkap. Semua menu tindakan bebas dijalani manusia tanpa campur tangan Tuhan. Hanya kepada Tuhan semua tindakan manusia kelak akan dipertanggungjawabkan. Demikian. Wallaahu a’lam.