
Narasi agama muncul dalam perang antara Iran dan Israel. Yang terjadi bukan hanya dentuman senjata, melainkan gema narasi yang mengikutinya. Di tangan kelompok radikal, konflik-konflik ini berubah menjadi alat propaganda. Isu global dibingkai sempit sebagai perang agama, lalu disebarluaskan untuk membakar emosi umat.
Jika kita menelusuri media sosial milik kelompok-kelompok radikal, tampak jelas bahwa konflik Timur Tengah dibingkai sebagai perang agama antara Islam dan Yahudi. Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks: terdapat persaingan geopolitik, perebutan pengaruh kawasan, serta dinamika ekonomi dan energi. Penyederhanaan ini sengaja dilakukan karena ada motif politik di baliknya.
Kita tahu betul, setiap kali terjadi perang di Timur Tengah, kelompok intoleran di Indonesia sering memanfaatkan isu itu sebagai momentum untuk menyulut emosi umat Islam. Harapannya adalah menciptakan kegaduhan dan menyebarkan kebencian. Ketika kebencian masyarakat meningkat, maka akan memicu polarisasi. Dan bila polarisasi terjadi, sendi-sendi kebangsaan pun dapat terguncang. Inilah situasi yang ditunggu oleh kelompok radikal untuk dimanfaatkan sesuai kepentingan mereka.
Mantan Amir Jamaah Islamiyah, Para Wijayanto, telah mengamati pola ini. Ia menegaskan bahwa isu-isu global kerap dimanfaatkan untuk kepentingan lokal yang berbahaya.
Baca juga: Diplomasi, Mengapa Iran Sebaiknya Menolak Negosiasi
Menurutnya, konflik di Timur Tengah, termasuk antara Iran dan Israel, tidak semata-mata berlatar belakang agama. Konflik tersebut lebih banyak dipicu oleh kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan kawasan. Umat Islam, menurut Para, seharusnya tidak terjebak dalam narasi perang agama, karena narasi tersebut justru menjadikan mereka pion atau proksi dari kepentingan global tertentu (BNPT, 2023).
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). Lembaga tersebut menyatakan bahwa selama ini narasi global seperti konflik Palestina, Suriah, dan Iran–Israel sering digunakan oleh kelompok jihadis di Asia Tenggara untuk membenarkan aksi kekerasan. Mereka menganggap konflik tersebut sebagai bagian dari perjuangan global umat Islam, padahal di baliknya terdapat motivasi politik dan strategi kekuasaan yang kompleks (IPAC Report No. 77, 2022).
Dalam konteks konflik Iran–Israel, kelompok radikal melalui media sosialnya membingkai Iran sebagai “benteng Islam” melawan “Zionisme”, sementara kelompok lain justru menuduh Iran sebagai Syiah sesat. Propaganda dan polarisasi semacam ini adalah strategi klasik. Mereka sengaja menciptakan musuh bersama dan memperkuat identitas kelompok. Dalam narasi mereka, Israel, Amerika Serikat, dan negara-negara Barat, termasuk negara non-Muslim, digambarkan sebagai “musuh global Islam”.
Apakah narasi ini berhasil? Dalam beberapa kasus, iya. Narasi semacam ini memudahkan pembentukan solidaritas semu—di mana siapa pun yang tidak setuju langsung dicap sebagai “pengkhianat”, “liberal”, “Muslim moderat yang pura-pura beragama Islam”, bahkan “anti-Islam”.
Mereka memanfaatkan tragedi kemanusiaan sebagai pintu masuk untuk membangkitkan emosi kolektif umat Islam. Bukan sekadar menyampaikan informasi, mereka melakukan agitasi. Bukan menerapkan empati, melainkan mengeksploitasi emosi.
Saat ini, kelompok radikal tengah aktif memanfaatkan platform media sosial, khutbah keagamaan, hingga forum daring untuk menanamkan paham ekstrem dan membingkai konflik sebagai pertarungan “Islam versus non-Islam”. Mereka menyebarkan foto-foto korban tanpa konteks, disertai narasi tentang “perang suci” atau “kewajiban jihad” membela Islam.
Risiko Polarisasi dan Perpecahan Sosial
Ketika konflik luar negeri diimpor tanpa konteks ke dalam wacana publik Indonesia, risiko polarisasi sosial sangat besar. Polarisasi ini tidak hanya membelah masyarakat secara horizontal (antarumat beragama), tetapi juga secara vertikal (antara masyarakat dan negara atau otoritas resmi). Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan kepercayaan terhadap institusi dan memicu kekerasan berbasis ideologi.
Konflik antara Iran dan Israel, misalnya, memiliki dimensi geopolitik yang sangat spesifik: persaingan pengaruh regional, isu pengembangan senjata nuklir, serta keterlibatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. Menginterpretasikan konflik ini secara sempit sebagai “perang agama” justru menciptakan kesesatan berpikir dan menutup peluang penyelesaian secara diplomatik.
Karena itu, kita yang hidup dalam keragaman agama, budaya, dan etnis harus memperkuat kemampuan memilah antara solidaritas kemanusiaan dan jebakan ideologis. Kepedulian terhadap korban konflik global memang penting, tetapi tidak boleh menjadi celah bagi infiltrasi ideologi transnasional yang anti-Pancasila.
Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar narasi tandingan, melainkan literasi konflik yang kuat. Masyarakat perlu memahami bahwa konflik global tidak bisa disederhanakan menjadi konflik agama. Kita harus mampu membedakan antara empati kemanusiaan dan mobilisasi ideologis. Solidaritas boleh, tetapi tidak boleh menjadi alat penyebaran kebencian.
Pemerintah, akademisi, tokoh agama, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab bersama untuk membongkar narasi-narasi berbahaya ini. Pendidikan kritis, moderasi beragama, serta penguatan platform digital yang sehat adalah bagian penting dari strategi ketahanan sosial.
Pendidikan literasi media dan penyebaran narasi moderat sangat penting untuk memperkuat daya tahan masyarakat terhadap propaganda ekstremis. Pemerintah, melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Agama, dan organisasi masyarakat sipil, perlu terus membangun ruang dialog yang sehat dan memperkuat pendekatan deradikalisasi berbasis komunitas.
Sikap kritis masyarakat terhadap konflik global seperti Iran–Israel juga perlu diarahkan untuk memperkuat posisi politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berbasis pada keadilan serta kemanusiaan. Indonesia telah berulang kali menyerukan penghentian kekerasan dan pentingnya solusi damai melalui PBB dan organisasi internasional lainnya. Dukungan masyarakat terhadap langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam memainkan peran sebagai mediator yang netral dan kredibel. Untuk itu mari lawan propaganda radikal dan dukung langkah Indonesia untuk mediator perdamaian dunia.