Peran Penyalin Naskah dalam Sejarah Perbukuan Islam

Peran Penyalin Naskah dalam Sejarah Perbukuan Islam

Peran Penyalin Naskah dalam Sejarah Perbukuan Islam

Jarang ada kebudayaan lain di mana dunia tulis-menulis memainkan peranan yang begitu penting seperti dalam peradaban Islam. Ilmu, yang berarti seluruh dunia pemikiran, menarik perhatian orang-orang muslim lebih dari segalanya. ~ (Pedersen, 1996: 57)

Apa yang terlintas dalam pikiran kita saat melihat karya-karya ulama masa lalu yang berjilid-jilid dan beribu bahkan berpuluh ribu halaman? Bagaimana mereka menulisnya? Dan bagaimana proses persebarannya hingga sampai ke tangan para pembacanya di mana mesin cetak belum ada?

Ketekunan dan keuletan para sarjana klasik dalam menghasilkan sebuah karya tulis sungguh sangat mengagumkan. Ibn Nadhim, dalam al-fihrist, mengatakan bahwa al-Marzubani (W. 11 H) telah menulis karya lebih dari tiga puluh ribu lima ratus delapan puluh (37.580) halaman. Sarjana-sarjana besar lain seperti sejarahwan Ibn Jarir at-Thabari, Imam al-Ghazali, dan lain sebagainya telah berhasil menulis puluhan karya dan berjilid-jilid tebal, hingga yang konon pencetak rekor penulis paling produktif dalam sejarah intelektual Islam, Imam Jalaludin as-Suyuthi, yang telah berhasil menghasilkan 600 judul buku. Untuk meneguhkan kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu, dalam salah satu karya yang mirip sebuah karya otobiografinya “husnul munadzarah fi tarikh al-mishr wa al-Qahira“, as-Suyuthi, dengan percaya diri mengatakan bahwa ia menguasai semua disiplin ilmu dan telah menuliskannya, kecuali ilmu matematika.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kehidupan para penulis besar yang melakukan pekerjaan mulia yang menghabiskan seluruh waktunya untuk mengerahkan segala tenaga dan kemampuan mereka? Menurut Pedersen (1996: 54), ada sejumlah jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, kebanyakan di antara mereka menjalani kehidupannya dengan perasaan menerima. “Belajar,” yaitu kehidupan intelektual; mempunyai ikatan yang erat dengan ajaran agama. Membaktikan diri untuk belajar memberi kepuasan batin serta dijadikan sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan yang di hari Kiamat kelak nanti akan menjadi nilai tambah bagi orang-orang yang melaksanakannya. Hal ini tidak saja membuat para penulis sudi menerima kemiskinan; tetapi lebih dari itu, orang lain pun akan terdorong untuk memberikan bantuan bagi mereka.

Sumbangan Para Penyalin Naskah

Perkembangan dunia tulis menulis dalam sejarah intelektual dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari jasa para penyalin naskah yang disebut dengan “al-Warraq” (berasal dari kata waraq yang bermakna lembaran atau kertas). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: pertama, karena setiap orang yang berkecimpung dalam dunia penelitian, maka posisi warraq secara alamiah dibutuhkan sebagai pencatat dalam aktivitas pencatatan-pencatatan. Kedua, untuk memperbanyak naskah, para penulis membutuhkan “tangan kedua” dalam rangka menyebarkan buku yang ditulisnya. Ketiga, para pembaca yang menginginkan naskah sebuah karya harus menuliskannya sendiri. Keempat, orang-orang kaya yang di dalamnya termasuk para pejabat yang juga menginginkan naskah, bersedia membayar para al-warraq demi mendapatkan copian naskah tersebut.

Bahkan al-Warraq pada gilirannya menjadi semacam sebuah profesi tersendiri. Seorang Filosof Arab terkenal, Yahya Ibn ‘Adi (w. 974) mencari nafkah sebagai seorang penyalin, ia telah menyalin komentar Ibnu Jarir at-Tabari atas al-Quran (tafsir at-Thabari) sebanyak dua kali, yang dalam edisinya sekarang terdiri dari tiga belas jilid tebal (Pedersen, 65).

Para penyalin bekerja baik untuk para penulis maupun untuk pembacanya sekaligus. Hal ini menurut Pedersen (65) terjadi pada masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah (sekitar tahun 800), ketika gerakan penulisan mulai memperoleh momentum dan kegiatan penerjemahan literatur kuno mulai disemarakkan, terutama di pusat pendidikan di masa khalifah al-Ma’mun yang diberi nama Bait al-Hikmah.

Dalam muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa perkembangan yang terjadi dalam dunia kesusasasteraan telah melahirkan sebuah pekerjaan bagi al-warraq, di mana tugasnya adalah menuliskan ulang naskah, membacakan ulang, menjilid, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan segala sesuatu tentang buku dan pekerjaan kantor.

Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan al-warraq sangat penting sekali dalam transmisi dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan di masa di mana mesin cetak belum ada. Di masa sekarang, ketika sebagian besar buku yang diedarkan telah dicetak dengan menggunakan mesin cetak, keberadaan “al-warraq” dengan sendirinya sedikit atau banyak telah tergantikan oleh mesin.

Akan tetapi, bukan berarti pekerjaan al-warraq telah punah dan sudah tidak dibutuhkan lagi. Para ilmuwan, baik dari Eropa maupun Timur sering membutuhkan salinan manuskrip dari perpustakaan di Timur, Dan ini telah memberikan pekerjaan bagi penyalin (al-Nassakh), seperti di masa-masa awal perkembangan dunia tulis. Sekitar lima belas tahun yang lalu, di Kairo dan Damaskus, ada beberapa penyalin yang menawarkan jasa ini. (Pedersen,  76-77)

 

Wallahu A’lam bisshawab