Pemerintahan Pak Jokowi itu ya tidak baik-baik amat. Orang-orang di belakangnya juga tidak bersih-bersih amat, –bahkan banyak yang menurutku nyebeli. Para politisi di seputaran partai koalisi Pak Jokowi, itu ya sama saja sih, mana ada yang bisa jadi panutan?
Coba, sebut satu saja, politisi dari partai-partai di seputar Pak Jokowi, yang menurutmu bersih luar dalam, yang mengabdikan hidupnya secara tulus kepada bangsa, melayani rakyat dengan hati ikhlas tanpa pamrih, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya (bahkan hidup matinya ia persembahkan untuk membela rakyat). Ada nggak yang begitu? Pasti nggak ada. Demi demit setan gundul, tidak ada satu pun.
Secara pribadi Pak Jokowi mungkin bersih. Keluarganya menyenangkan. Anak-anaknya relatif bebas dari KKN (meskipun ada isyu bahwa di antara anaknya ada juga yang punya bisnis tambang batu bara), tapi yaaa tidak seperti anak-anak yang lain lah. Apalagi jika dibandingkan dengan anak-anak Pak Soeharto yang diktator itu.
Ia juga tidak terjerat korupsi, sangat merakyat, terkesan sederhana, dan sikapnya santai suka guyon banyak tertawa. Pokoknya, kalau dinilai secara pribadi, Pak Jokowi itu, yesss, polll, mantap.
Sayangnya, untuk menjadi presiden yang berkuasa penuh dan memiliki kehendak bebas mengendalikan sebuah negara, tidak cukup hanya modal pribadi semata. Tapi juga harus didukung oleh kekuatan partai pengusung, serta partai koalisi yang menjadi mitranya.
Nah, Pak Jokowi tidak punya itu. Ia tidak punya partai. Ia hanyalah anggota partai, dan banyak orang iseng-iseng berhadiah, yang masih tega menyebut bahwa Pak Jokowi adalah “petugas partai”.
Kelemahan itulah yang membuat beberapa kebijakan pemerintahan Pak Jokowi dikritik sebagai tidak pro-rakyat. Kebijakan penetapan naik-naik terus untuk harga BBM misalnya, kenaikan gas dan listrik yang terus-terusan juga naik, tarif tol super mahal yang sama sekali tidak bermanfaat bagi para sopir truk angkutan barang dan bis umum, kebijakan yang tidak pro mazhab pertanian sehingga banyak komoditas pertanian harganya jeblok dan banyak hasil pertanian harus impor, belum lagi kebijakan hobinya ngejar-ngejar pajak pedagang kecil yang kepepet, dan lain-lain dan lain-lain.
Saya yakin, Pak Jokowi mungkin tidak menghendaki semua itu. Untuk tarif tol misalnya (kenapa contohnya harus tol, karena inilah “infrastruktur” hasil ngutang yang paling dibangga-banggakan sebagai puncak pencapaian prestasi super-spektakuler), saya membayangkan bahwa Pak Jokowi inginnya tarif tol itu bisa memberi berkah bagi kepentingan rakyat banyak.
Maka pidato Pak Jokowi saat meresmikan jalan tol akan berbunyi demikian, “Tarif tol mahal hanya berlaku bagi mobil-mobil pribadi. Sedangkan untuk angkutan barang dan angkutan umum, tarif tol saya putuskan “tanpa tarif” alias gratis. Tujuannya apa? Supaya ekonomi hidup, distribusi barang antar wilayah lancar dan murah, sehingga harga-harga kebutuhan pokok rakyat bisa murah.”
Apakah itu bisa? Ya jelas nggak bisa lah. Kekuatan para petualang politik di belakang Pak Jokowi tidak akan mengizinkan hal itu terjadi, bahkan sampai hari kiamat terjadi. Kenapa? Yaaa karena tidak menguntungkan. Loh, kan bisa saja presiden memaksa? Yaa itu kalau presidennya berkuasa.
Alhamdulillah, pemilu 2019 sudah selesai dengan hasil cukup mengagumkan: berimbang. Dua kekuatan, dua blok, telah tercipta dengan masing-masing pendukungnya dianugerahi watak super fanatik yang keras melebihi batu.
Tentu saja, dengan hasil berimbang antara calon rezim dan calon oposisi, yang dua-duanya sama-sama keras bagai batu itu, akan sangat menguntungkan rakyat Indonesia. Kenapa?
Karena siapa pun nanti pemerintah yang berkuasa, ia akan dikontrol dengan sangat ketat oleh oposisi. Maka rezim yang memerintah, tidak akan bisa lagi bermain seenak hati. Fanatisme yang telah terbentuk menjadi satu ideologi, akan menjadikan seluruh rakyat pendukung oposisi, berfungsi menjadi pengawas paling berani.
Maka jangan lagi main-main dengan cara pemerintah menjalankan negara untuk 5 tahun ke depan. Karena jika ada kesalahan dan kengawuran yang merugikan rakyat banyak, barisan oposisi yang isinya adalah sebagian jumlah rakyat Indonesia itu, akan berteriak dengan keras.
Dan jika kengawurannya di ambang batas, tidak menutup kemungkinan gerakkan rakyat yang menjadi oposisi ini, akan berubah menjadi people power yang sanggup menumbangkan penguasa di tengah jalan.