Merujuk pada kamus politik, People Power di definisikan, “Penggulingan kekuasaan presiden secara paksa melalui aksi demonstrasi rakyat. Seluruh rakyat turun ke jalan agar presiden meletakkan jabatannya karena telah melanggar konstitusi atau melakukan penyimpangan”. Melihat definisi tersebut maka People Power tidak salah jika dikaitkan dengan makar. Tidak jauh beda dengan People Power, makar berarti “perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.”
Hal ini juga tidak jauh beda dengan kudeta. Pada dasarnya kedua kata tersebut (makar dan kudeta) bisa digunakan secara bergantian. Namun secara umum, kudeta merujuk pada istilah politik dan makar merujuk pada istilah hukum. Persamaannya, sama-sama ada usaha untuk menggulingkan pemerintah yang sah dan dengan paksa. Jika People Power didefinisikan tersebut di atas, maka gerakan people power sudah jelas melanggar hukum. Di pasal 107 KUHP pelaku makar akan dijerat hukuman mati, hukuman seumur hidup atau pidana paling ringan 20 tahun.
Gerakan People Power kali ini, sebagaimana yang penulis lihat, tidak hanya murni untuk kepentingan rakyat, tapi juga memuat kepentingan politik yang dibungkus dengan kepentingan agama. Lalu bagaimana agama -dalam hal ini Islam– berbicara tentang penggulingan kekuasaan secara paksa?
Yurisprudensi Islam ternyata telah gamblang membahas gerakan-gerakan penggulingan atau perlawanan terhadap pemerintah. Hal ini dikenal dengan istilah bughat (pemberontakan), hanya saja yang menjadi pertanyaan di benak kami, apakah bughat atau pemberontakan sama dengan People Power?
Menjawab hal ini, mungkin bisa kita bahas secara runut, dimulai dengan beberapa sabda Rasulullah SAW berikut:
من خرج من الطاعة، وفارق الجماعة فمات، مات ميتة جاهلية
“Barang siapa yang keluar dari kepatuhan terhadap pemimpinnya dan berpisah dari golongannya lalu ia meninggal maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah”
من حمل علينا السلاح فليس منا
“Barang siapa yang membawa senjata untuk memerangi kami (umat islam) maka dia bukan dari golongan kami”
Beberapa ahli fikih memberi definisi yang berbeda terhadap bughat, meskipun ada titik kesamaannya. Bughat secara terminologi fikih, seperti yang didefinisikan oleh Ibnu Arafah dari mazhab Maliki adalah: ”Enggan patuh (taat) terhadap pimpinan yang telah sah sesuai dengan kesepakatan. Ketidakpatuhannya bukan karena ada perintah untuk melanggar norma agama, baik terdapat landasan interpretasi ataupun tidak.”
Menurut ulama’ mazhab Hanafi, bughat adalah segolongan orang yang memiliki kekuatan dan persenjataan. Keluar dari kepatuhan terhadap pimpinan yang sah dalam beberapa hal dengan berlandaskan interpretasi serta sudah tampak di sebagian wilayah dengan memiliki prajurit perang, memberlakukan hukum dan undang-undangnya sendiri.
Sedangkan menurut ulama mazhab Maliki, bughat adalah sekelompok orang yang memerangi pemerintah yang sah dengan berlandaskan interpretasi seperti sekte Khawarij dan yang lainnya, sekelompok orang yang tidak patuh terhadap seorang pimpinan atau keluar untuk menjatuhkannya, atau enggan memberi hak yang memang sudah menjadi kewajibannya, seperti enggan membayar zakat, dsb.
Ulama’ Hanbali juga memiliki definisi yang agak sama, yaitu sekelompok orang yang keluar dari kepatuhan pemimpin walau pemimpin tersebut tidak adil dengan berlandaskan interpretasi yang benar, memiliki kekuatan dan persenjataan walaupun tidak memiliki pimpinan yang dipatuhi, dan tidak diperbolehkan keluar dari kepatuhan terhadap pemimpin walaupun tidak adil.
Selain istilah bughat, para ahli fikih juga menampilkan istilah yang berbeda, yaitu al-muharib. Perbedaannya, kalau bughat melawan kebijaksanaan pemimpin dengan berlandaskan interpretasi (dalil), sedang al-muharib melawan dan tidak patuh terhadap pimpinan tanpa berlandaskan interpretasi, murni karena membangkang, tidak patuh dan durhaka terhadap pemimpin.
Dari beberapa pendapat tersebut, titik temu dari beberapa pendapat itu adalah sama-sama mensyaratkan harus memiliki kekuatan dan persenjataan serta perlawanannya berlandaskan interpretasi dalil. Para ahli fiqh juga memberi saran terhadap pemimpin untuk memberi tindakan tegas kepada pelaku bughat, yaitu memerangi dan meminta untuk bertaubat.
Jika bughat tidak memiliki kekuatan dan persenjataan maka pemimpin boleh memenjarakannya hingga mereka bertaubat. Namun jika mereka mempersiapkan segalanya untuk memerangi pemimpin yang sah dan menimbulkan kekacauan dengan kekuatan dan persenjataan, maka pemimpin mengajaknya kembali dan menyudahi pemberontakan. Jika mereka tetap enggan maka pemimpin boleh untuk memeranginya.
Para ulama fikih berpendapat bahwa diperbolehkan untuk melumpuhkan kekuatan bughat dengan cara memerangi atau membunuh pemimpin atau orang yang telah mengatur, merencanakan dan memimpin pergerakan tersebut. Namun tidak diperbolehkan mendahului pembunuhan kepada pelaku bughat kecuali mereka yang terlebih dahulu membunuh.
Nah, makar bisa saja digolongkan bughat jika selaras dengan definisi-definisi yang telah dipaparkan oleh para ahli di atas. Namun untuk menindaklanjuti dan mengantisipasi gerakan makar, tidak serta merta legal memerangi dan membunuh para pelakunya. Patuh dan tunduk terhadap hukum negara dirasa lebih bijaksana.
Para ulama’ di Indonesia pun tidak akan tinggal diam dan akan mengambil sikap jika gerakan People Power yang sedang hangat di perbincangkan ini condong pada perbuatan makar. Para pakar yurisprudensi Islam, yang telah membahas definisi dan ciri gerakan makar ini juga telah menjelaskan antisipasinya dengan bijaksana.
Terakhir, semoga kita semua dapat meniru kebijaksanaan ulama-ulama terdahulu dalam menyikapi keadaan yang sedang terjadi, dengan harapan agar Indonesia tetap damai, aman dan sejahtera.
Wallahu A’lam.