Pentingnya Perdamaian dalam Al-Qur’an: Tafsir QS. Al-Anfâl Ayat 61

Pentingnya Perdamaian dalam Al-Qur’an: Tafsir QS. Al-Anfâl Ayat 61

Mengapa masih saja terjadi konflik di antara umat Islam, padahal al-Qur’an memerintahkan kita untuk hidup damai.

Pentingnya Perdamaian dalam Al-Qur’an: Tafsir QS. Al-Anfâl Ayat 61

Kehidupan yang penuh kedamaian merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu manusia. Nabi Muhammad bahkan diutus untuk membumikan perdamaian, khususnya masyarakat Arab waktu itu yang hidupnya selalu dibayangi peperangan dan perpecahan. Untuk itu, menggunakan agama (khususnya Islam) sebagai alat memecah belah persaudaraan dan persatuan adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang semestinya.

Banyak ayat dalam al-Qur’an yang mendorong untuk selalu menjaga perdamaian serta mencela adanya pertengkaran dan perpecahan. Hal ini menunjukan konsistensi Islam dalam upaya membumikan perdamaian bukan hanya pada masa Nabi Muhammad saja. Semua ini karena berdasarkan kepercayaan umat islam bahwa al-Qur’an bukan hanya dikhususkan bagi masyarakat Arab masa lalu tetapi untuk umat manusia selanjutnya hingga hari kiamat nanti.

Diantara yang akan kita bahas dalam kesempatan kali ini terkait ajaran perdamaian dalam Al-Qur’an adalah QS. Al-Anfâl ayat 61. Allah berfirman:

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Disebutkan dengan tegas bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai “rahmat” serta untuk menyempurnakan akhlak. Disebut “rahmat”, karena Nabi memiliki semangat mulia dalam ajaran yang dibawanya, yakni mewujudkan kehidupan yang damai, harmonis, saling menghargai, adil, dan bersatu padu tanpa melihat perbedaan agama, etnis, bahasa, warna kulit.

Abu Bakar Jâbir Al-Jazâirî ketika menjelaskan QS. Al-Anfâl ayat 61 dalam kitabnya, Aisar Al-Tafâsir, menyebutkan, Allah memberikan instruksi kepada Nabi agar berkenan menerima tawaran perdamaian apabila pihak yang memusuhi Nabi menawarkan hal tersebut. Menurutnya, hal tersebut adalah karena Nabi Muhammad diutus di dunia sebagai “rahmat” bukan “adzab”. Hal ini menunjukan bahwa rahmat memiliki pertalian dan hubungan yang kuat dengan perdamaian.

Kekacauan, perpecahan, dan sikap saling membenci digambarkan sebagai lawan dari semangat rahmat yang dibawa Nabi. Ini berarti, menggunakan agama untuk menimbulkan perpecahan bertolak belakang dengan semangat ajaran Nabi. Dan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekacauan dan perpecahan ketika mengatasnamakan ajaran Nabi selama ini adalah akibat kesalahan dalam membaca sejarah Nabi. Ada upaya untuk mengaburkan sejarah Nabi yang semestinya.

Menurut Abû Hasan Al-Mawardi dalam Al-Nakt wa Al-’Uyûn atau lebih terkenal dengan sebutan Tafsîr Al-Mâwardî, ayat ini memiliki tiga sudut pandang dalam upaya memahaminya. Pertama, apabila pihak yang berseberangan dengan Nabi menawarkan upaya damai, maka terimalah usul tersebut. Kedua, apabila orang-orang yang memerangi Nabi melakukan genjatan senjata, maka Nabi sudah sepatutnya untuk melakukan hal yang sama. Ketiga, apabila mereka menerima ajaran yang dibawa Nabi, maka terimalah mereka dan tidak perlu untuk mempermasalahkan dan curiga apakah yang mereka lakukan adalah atas dasar kerelaan secara dhahir dan bathin atau tidak.

Sudut pandang yang ditawarkan oleh Al-Mawardi mengarah pada satu kesimpulan, yakni teruslah untuk berupaya sekuat tenaga membumikan nilai-nilai perdamaian, persatuan, dan kehidupan yang harmoni meskipun tidak jarang mengalami kegagalan dan motif terselubung pihak-pihak yang menyalah artikannya. Dari sini semakin terlihat dengan jelas bahwa Nabi begitu dituntut untuk mewujudkan perdamaian dan menyampaikan kepada umat-umatnya tentang perdamaian tersebut.

Nilai dan semangat perdamaian adalah ajaran utama dari syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini senada dengan yang pernah disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsirnya, Tafsîr Al-Munîr, bahwa perdamaian lebih utama dari pada peperangan. Menurutnya, Islam adalah agama perdamaian, hidayah, dan cinta. Peperangan yang terjadi pada waktu itu adalah dalam kondisi terpaksa karena tidak ada alternatif lainnya.

Disini, penulis memahami bahwa peperangan yang terjadi pada masa Nabi adalah kesalahpahaman, dan jenis peperangannya adalah untuk mempertahankan nyawa yang sudah terpepet dan terancam. Apabila dibiarkan, maka akan sirnalah nyawa tersebut. Istilah lainnya adalah Jihad Difâ’î (Jihad Ofensif).

Sebelum kita tutup penjelasan ini, perlu kiranya kita menengok sebentar apa yang telah disampaikan oleh Ibnu ‘Arâbî dalam Ahkâm Al-Qur’an-nya. Ketika ditemukan keterangan-keterangan yang menyebutkan bahwa QS. Al-Anfâl ayat 61 telah dihapus (naskh) dan tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan hukumnya, Ibnu ‘Arâbí justru menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk menghapus keberlakuan hukum ayat ini tidak terpenuhi dengan baik. Ini menandakan bahwa dalam pandangan Ibnu ‘Arâbî ayat ini masih relevan untuk dijadikan acuan dan berlaku hingga sekarang.

Dalam kesimpulan Ibnu ‘Arâbî, apabila dibalik perdamaian mengandung kemaslahatan atau mampu untuk menangkal keburukan, maka tidak menjadi masalah apabila yang pertama kali menawarkan atau melakukan perdamaian adalah pihak umat Islam. Bahkan, menurutnya, Nabi telah banyak melakukan perjanjian perdamaian, diantarnya dengan masyarakat Khaibar, Hudaibiyyah, Najran, dll.

Akhirul kalam, Nabi dengan agama Islam begitu mendorong perdamaian. Menggunakan agama untuk memecah belah persatuan adalah upaya mebelokkan ajaran agama dari semestinya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir, sedang menyelesaikan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.