Sejak tiga sampai lima tahun terakhir, sumber masalah hidup banyak berasal dari gawai. Masalah-masalah dunia nyata seperti agresi, pelanggaran etik, dan apapun dari mulai taraf yang dapat dimaafkan hingga yang tak termaafkan―entah berasal dari motif konflik kepentingan, asmara, warisan, miskomunikasi, kecemburuan jabatan, dan lain-lain―melebur dalam ambiguitas serba maya, yang pada gilirannya sering kali mengantarkan kita pada prejudis yang kurang proporsional dan keputusan yang tergesa-gesa.
Di era digital, faktornya didorong oleh sebagian besar dari kita yang jauh lebih percaya ‘fragmen’ dibanding realitas secara keseluruhan. Bahkan, sebab kesadaran kita yang kini tak lagi membedakan antara maya dan nyata, kini pengertian ‘kenyataan’ yang kita pahami adalah berupa: post, tweet, status, story dan screenshoot, bukan dialog verbal, konteks, gestur, detail suasana, mimik ataupun tatapan mata. Dengan kata lain, prejudis kini dibuat berdasarkan potongan-potongan fragmen, bukan dari realitas yang utuh.
Situasi ini terlihat aneh. Pada satu sisi, hidup telah dikelilingi oleh apapun yang serba canggih, namun di lain sisi, mengapa kemampuan interpretasi kita terhadap realita justru tersederhanakan? Biaya apa yang perlu kita bayar atasnya?
Dalam situasi seperti ini, orang yang tidak tulus dapat memanfaatkan berbagai macam upaya digital dan manipulasi fragmen-fragmen untuk mengeksploitasi belas kasihan orang lain untuk sebuah pemaafan. Di lain pihak, orang juga dapat tidak mudah memberi maaf karena proses penyimpulan fragmen suatu kenyataan tidak cukup luas dan mendalam.
Implikasinya, ‘klarifikasi’ menjadi budaya baru. Namun di era digital, klarifikasi membutuhkan klarifikasi lain yang tak berkesudahan. Konflik antar-individu yang termediasi kemudian menjadi tanda tanya: apakah yang salah adalah orangnya? Atau sistem mekanisme pemaafan kita?
Disadari atau tidak, platform-platform media sosial yang sehari-hari kita sentuh memengaruhi bagaimana kita mengatur emosi dan mengubah proses kognisi, yang pada gilirannya memengaruhi bagaimana kita mempersepsikan dan memperlakukan orang lain.
‘140 kata’ di Twitter adalah gramatika yang mengelabui kita kearah simplifikasi detail yang mengatas-namakan ‘to the point.’ Begitu juga story Whatsapp, yang menoleransi absennya konteks unggahan, meski orang lain yang berbeda konteks akhirnya tergiring untuk menduga-duga makna story hingga tersakiti karena salah ambil kesimpulan.
Visualitas Instagram menggantikan pentingnya sikap jujur dan apa adanya dengan ‘logika panggung’, yakni: kerapuhan tampilan lebih ditakuti dibanding kerapuhan substansi. Kehidupan sehari-hari akhirnya dibanjiri oleh fragmen-fragmen yang kalau bukan terlalu simplistik, maka terlalu berlebihan dalam mewakili ‘kenyataan’.
Di era Oral, penghargaan terhadap orang lain muncul sebab komunikasi tak bisa dilakukan secara berjarak, dan pelakunya dirundung ketidak-pastian apakah lawan bicaranya dapat ditemui lagi esok hari atau tidak. Teknologi belum bisa memberikan kepastian pada masa itu, sehingga orang lain menjadi alasan eksistensial bagi seseorang la. Mereka tak bertukar fragmen, tetapi bertukar dunia secara keseluruhan.
Di era tulisan, kondisi dan perlakuannya tak berbeda jauh. Walaupun komunikasi sudah dapat dilakukan secara berjarak, namun orang masih terkendala ketidak-pastian waktu dan lokasi penerima, bukan ketidak-pastian keberadaan. Pada masa ini, fragmen sudah mulai mewarnai praktik komunikasi, meski di dalamnya sering termuat penantian, kegelisahan dan kerinduan―tiga hal yang menjadi beban utama masyarakat era tulisan. Di karya-karya sastra klasik, energi ini banyak mewarnai plot cerita.
Baru kemudian setelah peradaban manusia mengenal institusi persuratan, alamat rumah, dan catatan sipil sudah cukup inklusif merangkul alamat orang-orang non-elit feodal, komunikasi tulis mulai memberikan kepastian. Potret sastra pun berubah. Di dalamnya sudah mulai termuat potret bagaimana penghargaan terhadap orang lain mulai turun, putus hubungan dengan sengaja mulai terjadi, dan hasutan jarak jauh mulai dipraktikkan.
Di era digital. Komunikasi jarak jauh dapat terlaksana dengan penuh akurasi dan kepastian. Makna dan penghargaan terhadap orang lain kemudian turun signifikan. Sejak era digital, memutus hubungan lewat telepon, sms, ataupun chat tanpa ruang dialog dan klarifikasi mulai terjadi. Di saat yang sama, tanggung jawab atas ucapan juga turun. Apa yang telah terunggah bisa disunting, dihapus dan ditarik. Potret sastra pun berubah lagi. Isinya sudah mulai banyak memotret soal keterkejutan dan kekecewaan terhadap orang lain.
Fragmen-fragmen dan gramatika platform media sosial yang sehari-hari kita selami, dengan kata lain, adalah pedang bermata dua. Pada satu sisi dapat menenggelamkan kita pada kebanalan kolam emosi, di lain sisi dapat mengecoh kita pada logika penafsiran yang sepihak. Era digital, dengan kata lain, telah mengungkap bahwa betapa tanpa persiapannya kita hidup di periode ini.
Kasus pecahnya antar anggota keluarga akibat beda pilihan politik di grup Whatsapp, kasus pecahnya hubungan teman ataupun pasangan muda di lintas media sosial, dan kasus riuhnya klarifikasi antar tokoh publik, adalah beberapa contoh yang menunjukkan rapuhnya kognisi dan afeksi kita dalam memahami orang lain saat tenggelam dalam mediasi teknologi. Yang biasanya, konflik-konflik itu justru menemukan titik terang pasca-tatap muka: detail mulai terungkap, konteks terpasang dengan baik, dan semua orang saling menyimak. Sebaliknya, tanpa tatap muka, konflik-konflik itu membatu.
Simplifikasi dalam menyimak dan menginterpretasi adalah dua hal yang kini banyak menjauhkan orang-orang terdekat. Padahal menguatnya simplifikasi dalam menyimak dan menginterpretasi di kehidupan sehari-hari justru mengantarkan kita pada keabu-abuan standar mekanisme bagaimana kita memafkan orang lain. Pemaafan dan rekonsiliasi mustahil terjadi tanpa pemahaman yang komprehensif. Dan pemahaman, mustahil tanpa interpretasi yang rigit.
Dalam keabu-abuan itu, sering kali common sense, ego-sepihak, naluri reward dan punishment masih sangat diandalkan. Walaupun substansinya mudah sekali diretas oleh pemikiran-pemikiran yang kalah bijak dibanding produk pemikiran ratusan tahun lalu. Resikonya, banalitas semakin menguat, dan meski hidup telah dikelilingi teknologi serba canggih, namun kita justru belum tentu lebih canggih memperlakukan orang lain dibanding masyarakat era Oral.
Hal ini seharusnya menjadi wilayah tambahan yang perlu dituntaskan oleh jargon literasi digital, yang selama ini terkonsentrasi dalam persoalan hoaks dan adiksi internet. Padahal, sehari-hari kita berinteraksi dengan fragmen, dan ini telah menyakiti banyak orang.
Di era digital, penghormatan terhadap kawan, keluarga dan orang terdekat adalah dengan selalu memberikan pendengaran yang seksama dan interpretasi yang bervariasi sekaligus mendalam. Dengan begitu, marah akan jauh lebih sulit dan memaafkan akan jauh lebih mudah. Kalaupun mereka tidak memberikan hal serupa, maka cukup diinsyafi bahwa: hanya karena mereka lebih terbatas dibanding kita, bukan berarti mereka kurang humanis dan tidak layak diperlakukan dengan adil.