Pentingnya Bertaubat Setiap Saat

Pentingnya Bertaubat Setiap Saat

Pentingnya Bertaubat Setiap Saat

Manusia memang tidak luput dari perbuatan dosa. Istilah jawa—lebih tepatnya akronim—menyebut manusia dengan sebutan “menuso”, menus-menus kakean doso. Sementara dalam istilah Arab manusia disebut sebagai al-Insan, mahallul khoto’ wan nisyan, manusia adalah tempat melakukan kesalahan dan lupa. Maka tugas manusia sebagai seorang hamba tidak lain adalah menyembah dan beribadah kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ (56)

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat : 56).

Selain itu, yang tidak kalah penting dari tugas manusia adalah bertaubat. Allah berfirman :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung”. (QS. An-Nur : 31).

Juga Firman-Nya :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)

“Sungguh, Allah menyukai orang taubat dan menyukai orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah : 222)

Dua ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT. menekankan begitu pentingnya taubat bagi manusia. Bagaimana manusia ingin dicintai Allah sementara sifat yang dicintai-Nya tidak dijalankan. Bagaimana manusia ingin beruntung dunia dan akhirat jika perintah taubat-Nya juga tidak dilakukan.

Pentingnya bertaubat di antaranya didasarkan pada hadis riwayat Abu Hurairah :

عَنْ أَبُي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : وَاللَّهِ إِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata ‘aku mendengar Rasulullah saw. bersabda “Demi Allah, sungguh aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari”’ (HR. Bukhari).

Dalam kesempatan lain Abu Hurairah menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat seoarang pun yang paling banyak beristighfar melainkan Rasulullah saw. Padahal, semua orang tahu bahwa beliau sudah dijamin masuk surga dan diampuni dosa-dosa yang telah lampau maupun dosa yang akan datang. Sehingga Aisyah, istri Rasulullah memberanikan diri untuk bertanya kepadanya “Wahai rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini, padahal engkau telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang”. Rasul bersabda : “Tidakkah engkau menyukai aku menjadi hamba yang bersyukur”. Sungguh mulia tiada tara akhlak rasul. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan tersebut hanya dimiliki oleh makhluk terbaik dan terpilih, nabi Muhammad saw.

 

Mekanisme Bertaubat

Ibnu Atha’illah as-Sakandari, seorang ulama besar yang bergelar Turjuman al-‘Arifin, penerjemah para wali, murid tercinta pendiri Thariqah Syadziliyah, Imam Abu Hasan as-Syadzili menyatakan dalam bukunya Taajul ‘Arus al-Haawi li Tadzhib an-Nufus, bahwa bertaubat merupakan tahap pertama seorang hamba untuk ma’rifat kepada Allah.

Selain itu, tokoh yang juga murid tercinta syeh Abul Abbas al-Mursi mengatakan bahwa jika seseorang ingin bertaubat maka yang harus dilakukan adalah senantiasa tafakkur, angan-angan sepanjang hidupnya. Ia harus selalu merenungkan apa yang telah diperbuat selama seharian penuh. Jika ia menemukan bentuk ketaatan pada Allah, maka ia wajib bersyukur kepada-Nya. Namun jika ia menemui dirinya dalam kemaksiatan, maka ia wajib mencela diri dan beristghfar kemudian bertaubat kepada-Nya. Karena tidak ada majlis yang paling bermanfaat di sisi Allah kecuali majlis tempat ia mencela diri sendiri setelah berbuat dosa. Cara mencela diri bukan dengan tertawa apalagi bergembira. Cara yang tepat adalah dengan keseriusan, merengut, dan hati yang sedih. karena dengan itu Allah akan menggantikan kesedihan menjadi kegembiraan, kehinaan menjadi kemuliaan, kegelapan menjadi terang, dan ketertutupan menjadi keterbukaan.

Syeh Makinuddin al-Asmar, salah satu guru imam Ibnu Atha’illah as-Sakandari dan juga salah satu wali Abdal meceritakan bahwa awal perjalanan kerohaniannya adalah dengan bekerja menjadi tukang jahit dan makan dari hasil menjahit. Namun, setiap siang hari ia serius menghitung-hitung percakapannya. Apabila tiba waktu petang, ia berusaha introspeksi diri. Maka ia pun mendapati percakapannya yang sedikit. Jika ia menjumpai kebaikan di dalamnya, maka ia akan memuji dan bersyukur kepada Allah. Namun jika ia mendapati selain kebaikan, maka ia pun segera istghfar dan bertaubat kepada Allah. Ia kemudian mengatakan bahwa tafakkur dan introspeksi diri setiap saat menyebabkannya menjadi wali Abdal.

 

Bahaya Maksiat

Beberapa kajian tasawuf menjelaskan bahwa maksiat merupakan perkara yang harus dihindari dan dijauhi. Karena kemaksiatan akan mengganggu dan menghalang-halangi seseorang untuk ber-taqorrub, mendekatkan diri pada Allah SWT. Kemaksiatan pula lah yang menjadikan hati seseorang akan semakin gersang dan gelap.

Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberi permisalan bahwa seseorang yang berbuat dosa akan jatuh pada kegelapan. Kemaksiatan diibaratkan sebagai api, sementara kegelapan adalah asapnya. Sehingga diibaratan jika seseorang membakar rumah selama 70 tahun, yang terjadi adalah rumah menjadi hangus dan gosong sangat hitam. Begitulah kira-kira hati seseorang yang senantiasa jatuh pada lubang kemaksiatan.

Selain itu, para ulama sufi juga menggambarkan bahwa perbuatan maksiat ibarat kendil; ketel baru yang di bawahnya dinyalakan api. Maka yang terjadi adalah kendil akan berubah warna menjadi hitam walaupun proses menyalakannya cuma sebentar. Jika dengan segera kendil tersebut dibersihkan, maka hilang lah noda hitam. Namun jika kendil tidak segera dibersihkan dan kemudian digunakan untuk memasak berkali-kali, maka yang terjadi adalah warna hitam semakin pekat dan sulit untuk dibersihkan.

Begitulah perbuatan maksiat. Tidak ada cara lain untuk menghapus noda-noda dosa dan kemaksiatan kecuali dengan bertaubat. Karena dengan bertaubat hati menjadi bersih, muncul amal-amal kebaikan, dan aroma diterimanya sebuah amal.

Wallahu A’lam.