Pasal penodaan agama (blasphemy) di Indonesia sudah banyak memakan korban. Pemidanaan Ahok pada 2017 silam adalah salah satunya. Teranyar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang dikabarkan tengah diseret kepolisian dengan delik yang sama. Pemicunya, ia dituduh menyebarkan paham-paham sesat yang kontradiktif dengan ajaran Islam.
Eks Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Heiner Bielefeldt, dalam laporannya menegaskan bahwa delik penodaan agama (blasphemy) adalah ketentuan hukum yang serba cacat. Selain tidak pantas dipertahankan, blasphemy ini merupakan satu dari dua penyebab — yang lainnya berkaitan dengan penyebaran agama (proselytism) dan konversi agama (apostasy) — tingginya pelanggaran kebebasan beragama terhadap kelompok-kelompok non-konformis.
Sayangnya, penilaian Bielefeldt di atas tampak tidak berlaku di Indonesia. Ya, seolah tidak peduli apakah melanggar kebebasan beragama atau tidak, blasphemy ini justru terus dipertahankan lewat UU No.1/PNPS/1965 dan Pasal 156a KUHP.
Berpijak pada alasan-alasan itu, artikel ini tidak hendak mempersoalkan apakah ajaran Al-Zaytun “benar” ataupun “sesat”. Juga tak ingin mengaitkan backing-an al-Zaytun dari antek-antek pejabat atau tidak. Lebih dari itu, ini adalah bentuk respon untuk membaca konstruk blasphemy di negara kita, yang dalam banyak sisi, tidak sepenuhnya berorientasi agamis, malah terkesan politis.
Penodaan dan Heresiologi
Dalam nomenklatur studi agama (religious studies), blasphemy lekat kaitannya dengan kajian heresiologi. Heresiologi sendiri merupakan sebuah dispilin yang mendiskusikan tentang akusisi, tuduhan, dan persekusi terhadap kelompok yang berbada cara pandang. Heterodoksi tidak lain merupakan manifestasi dari pergumulan yang terus menerus terjadi antara kelompok keagamaan yang merasa standar ajarannya paling mapan (ortodoks), menyusul datangnya kelompok-kelompok atau paham-paham lain yang cenderung berlawanan (heterodoks) dengan mereka.
Praktisnya, upaya peneguhan paham-paham ortodoks ini (ortodoksifikasi) tidak hanya diaktori pemimpin agama, melainkan juga melibatkan peran negara atau penguasa. Pada fase inilah proses “politisasi” itu dimulai.
Roger D. Lund dalam The Margins of Orthodoxy: Heterodox, Writing and Culturul Responses 1660-1750 memberikan pendasaran bahwa keterlibatan pemerintah untuk merespon gerakan heterodoks tidak meniscayakan tindakan yang murni ‘religius’, yaitu demi menggawangi kemurnian agama. Lebih dari itu, keterlibatan negara juga kerap sangat politis, yakni menjadi instrumen hegemoni rezim untuk meneguhkan kuasanya.
Pada gilirannya, ladang pertikaian antara kelompok ortodoks dan heterodoks mulai mengenal beberapa konsep kunci, seperti penolakan agama (apostasy), perbedaan penafsiran (heterodoxy), berpaling dari kelompok arus-utama (heresy), termasuk juga penodaan agama (blasphemy).
Singkatnya, tindakan blasphemy yang jamak terjadi akhir-akhir ini tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman terhadap heresiologi. Ia merupakan perpanjangan darinya. Keduanya sama-sama mengkaji model persinggungan kelompok ortodoks dan heterodoks, yang dalam banyak hal tidak hanya merongrong sakralitas agama, tetapi juga sarat akan konstruksi hukum yang serba profan.
The Criminal Libel Act 1819, hukum positif pertama di dunia yang melarang tindakan blasphemy, merupakan salah satu contohnya. Ia tidak secara spesifik dan murni mengatur tentang larangan menghina Kristen, khususnya Gereja Anglikan Inggris, melainkan turut melarang penghinaan terhadap Raja dan Ratu Inggris. Rezim tidak segan-segan akan menghukum berat pelaku penodaan yang dengan sengaja menghina Gereja Anglikan ataupun Raja dan Ratu mereka. Sebab, dalam tradisi Inggris, Raja dan Ratu mereka direpresentasikan sebagai manifestasi Yesus Kristus; menghina Raja dan Ratu berarti menghina Tuhan, pun sebaliknya.
Meminjam argumen Alain Cabantous dalam Blasphemy: Impious Speech in the West from the Seventeenth, bahwa larangan penodaan pada fase ini sudah jauh dari kata religius. Blasphemy lebih mencolok sebagai piranti hukum yang meregulasi hubungan antar-kelompok keagamaan. Ia banyak difungsikan sebagai larangan untuk memperkeruh ketertiban umum (public order) kelompok-kelompok mainstream dibanding menjaga sakralitas keagamaan sendiri.
Regulasi Karet dan Rekayasan Penodaan
Regulasi blasphemy di Indonesia, khususnya UU No.1/PNPS/1965, kurang lebih sama dengan yang terjadi di Inggris. UU ini juga merepresentasikan dua hal yang sama; bersemainya riak-riak kepentingan beraroma politis dan hilangnya sakralitas keagamaan.
Sejak di alam benih, UU Penodaan Agama memang sudah menampakkan dua kecenderungan itu. Pada satu sisi, lahirnya UU ini didorong oleh desakan kelompok Islam kepada Presiden Soekarno, terutama untuk merestriksi tumbuh kembangnya aliran kepercayaan, yang kala itu dituduh memiliki hubungan mesra dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara, pada sisi yang lain ia difungsikan untuk menjaga agama-agama yang dianut di Indonesia, yaitu enam agama, dari penafsiran yang menyimpang.
Namun, apa yang disebut dengan tindakan menyimpang dan penodaan dalam UU itu, sulit mendapatkan definisi dan tafsir yang stabil dan objektif. Ia sepenuhnya bergantung pada kelompok atau otoritas dominan yang juga tidak kalah karet dan subjektifnya. Sebab itu, kelompok yang merasa agamanya ternodai, biasanya dengan mudah melakukan strategi politis yang oleh Cherian George disebut dengan strategi Pelintiran Kebencian (hate spin).
Mereka sengaja memilintir tafsir berbeda dari kelompok arus-utama sebagai tindakan penodaan agama. Pada tahap eksekusinya, kelompok yang merasa tersinggung itu akan melakukan rekayasa ketersinggungan dan mobilisasi massa. Kasus Aksi Massa 212, mengilustrasikan suksesnya mobilisasi yang dimotori Rizieq Shihab untuk mengusut kasus “rekayasa penodaan” yang dituduhkan pada Ahok. Pada tahap inilah sakralitas agama itu pudar, untuk tak menyebutnya hangus.
No Viral No Justice
Model blasphemy di Indonesia mengandaikan bahwa kasus-kasus yang berkaitan dengannnya hanya akan ditindak pasca ramai di media sosial. Dalam artian yang lain, kasus-kasus blasphemy yang masuk pada meja hijau hanya dipijakkan pada seberapa viral dan seberapa banyak massa yang dikerahkan. Jika kasusnya diam dan tidak ada mobilisasi massa, maka kasusnya otomatis berhenti. Isu soal penodaan agama yang dilakukan Abdul Somad pada 2019 silam merepresentasikan bagaimana melempemnya delik pengaduan blasphemy jika tidak diimbangi dengan mobilisasi yang kuat.
Sudah banyak lembaga yang menunjukkan bahwa UU Penodaan Agama, berikut juga Pasal 156a KUHP, seringkali hanya menyasar kelompok-kelompok non-ortodoks dan dalam banyak hal justru merestriksi kebebasan beragama suatu kelompok ataupun individu. Hal ini juga disinggung oleh Ismatu Ropi dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UIN Jakarta. Menurutnya, negara terkesan mensponsori salah satu model ortodoksi sebagai public morality.
Judicial review dan usulan untuk merevisi UU tersebut juga telah berkali-kali dilakukan. Namun, hingga saat ini tak ada tidak lanjut. Pemerintah tetap memertahankan UU itu dengan alasan menjaga ketertiban umum. Tetapi masalahnya, yang dimaksud ketertiban umum pun juga tampak sangat luas dan lagi-lagi bergantung kepada kelompok dominan.
Apa yang tampak dari kasus Panji Gumilang itu tidak lebih dari sekedar urusan-urusan internal agama, yang seharusnya tidak perlu diintervensi secara jauh, bahkan dihakimi negara. Lagi pula debat soal perbedaan pandangan dalam beragama adalah hal yang absah, biasa-biasa saja, dan perlu disikapi dengan arif (jika boleh disebut, MUI saja yang melebih-lebihkan). Nahasnya, pemerintah telah bergerak terlalu jauh. Kasus blasphemy di Indonesia, tidak hanya menampilkan proses ortodoksifikasi agama, lebih jauh dari itu pemerintah juga terlalu memanjakan kemauan-kemauan kelompok mayoritas yang tak kunjung berkesudahan. (AN)