Anjing sejak dulu sudah dikenal dengan hewan yang paling mudah dilatih dan diajari. Sehingga hewan-hewan pemburu yang mudah dilatih dalam al-Qur’an disebut dengan istilah “mukallibin” atau hewan yang sudah “menganjing”, artinya sudah terlatih dan memiliki tabi’at seperti anjing.
Berdasarkan histori ilmiahnya dan tidak membahas anjing dari segi fikih, anjing sejak zaman Nabi Nuh as hingga Nabi Muhammad SAW tidak ada masalah polemiknya. Para sahabat juga banyak yang memelihara anjing, saat itu digunakan untuk menjaga kebun. Orang badui saat itu juga banyak yang memelihara anjing untuk menjaga ternak dari terkaman serigala.
Dalam Al-Qur’an, ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang hal apa saja halal? “maka Allah SWT berfirman yang artinya “Wahai Muhammad, katakanlah sesuatu yang halal adalah sesuatu yang suci atau hasil buruan dari hewan yang sudah diajari dan hewan yang sudah diajari tersebutsepandai anjing. Imam Suyuthi menafsirkan dengan anjing itu sendiri, beliau mengatakan “ayyi al-kawasib min al-kilab”, yaitu hewan-hewan pemburu dari beberapa anjing.
Anjing tidak pernah najis dalam semua periode. sahabatkahf atau ashabul kahfijuga bersama anjing, periode sahabat dan tabi’in juga sama, anjing tidaklah najis. Pada periode Imam Syafi’ijuga masih tidak berpolemik dan tidak najis. Namun, ketika periode mazhab syafi’iyah dan mazhab syafi’iyah ini mendominasi masyarakat Indonesia, saat itulah aniing menjadi polemik dan dianggap najis. Konsekuensinya, anjing dijauhi, diburu dan dibunuh. Bahkan dianggap ibadah jika membunuh anjing.
Adapun dalam Fikih, hewan yang halal ada dua, yaitu hewan yang disembelih secara syar’i, hewan yang mati karena diburu atau diburu hewan yang sudah terpelajar atau terlatih. Itu standarnya. Sementara anggapan masyarakat bahwa anjing itu najis yang terjadi pada periode mazhab syafi’iyah tadi sebenarnya melupakan “keistimewaan atau kekhususan dari anjing itu sendiri”di mana al-Qur’an juga telah mengakui bahwa anjing itu hewan istimewa, karena mudah dilatih dan terpelajar sehingga tidak semena-mena untuk dijadikan hewan ternak yang mudah disembelih. Karena itulah najis.
Kenajisan anjing menurut mazhab syafi’iyah sebenarnya adalah khilaf, atau terjadi perbedaan pendapat, dan yang jelas adalah teks (al-Qur’an dan hadis). Adapun teks asli terkait kenajisan anjing yaitu dari hadis Rasulullah SAW yang artinya “Apabila anjing menjilat salah satu tempat makan atau minummu, maka cucilah tujuh kali cucian”(HR. Muslim). Kemudian, ada ijtihad.
Imam Malik berpendapat bahwa tempat minum atau makan (wadah) harus dicuci tidak saat atau tidak pada keadaan najis saja, karena jika tidak dicuci akan berpengaruh pada kesehatan, misalnya. Adapun, untuk mencuci tujuh kali itu hanya ta’abud(bernilai ibadah) dan tidak menjadi patokan hukum kenajisan anjing. Sehingga Imam Malik tetap berijtihad anjing tidaklah najis.
Karena secara logika ijtihad, Nabi menggunakan istilah “wadah” dan “dijilat”, tidak menggunakan istilah “dijilat”. “dipegang dan dijilat” itu berbeda konsekuensinya, lebih berat dijilat. Secara ilmiah, dalam medis misalnya, efek dipegang dan dijilat juga sangat berbeda. Lebih berat efek dijilat. Oleh sebab itu, dicuci sampai tujuh kali, dan di sini Imam Malik mengatakan sebagai bentukta’abud dan tidak ada kaitannya dengan najis. Adapun Imam Syafi’i lebih ketat dalam ijtihadnya, sehingga berpendapat bahwa tidak hanya dijilat, dipegang juga najis, mengelus rambut anjing pun menjadi najis. Diperkuat lagi dengan hadis Nabi SAW yang membahas tentang tidak masuknya malaikat ke dalam rumah yang terdapat anjing.