KH Bahaudin Nur Salim al-Hafidz, pengasuh Pesantren LP3IA Narukan, Kragan, Rembang menjelaskan tentang bagaimana hukum jilbab? Menurutnya, jilbab dilihat dari sudut pandang lelaki, hukumnya dikembalikan kepada lelakinya, tidak dibebankan kepada perempuan.
Jika ada perempuan memakai jilbab kemudian ada lelaki yang memandang wajahnya, hukumnya tetap haram. Perempuan tidak berjilbab, namun lelaki lain tidak memandang auratnya, hukumnya tidak haram.
Kata kunci keharaman bagi laki-laki adalah mata yang jelalatan atau tidak. Kepada perempuan yang berjilbab atau tidak selama lelaki bisa mengontrol pandangan dengan baik, maka tidak akan terkena dosa.
Berbeda jika dilihat dari sisi perempuan. Bagi muslimah, perilaku berjilbab itu sendiri hukumnya wajib.
Sebelum Islam datang, para perempuan jahiliyyah dahulu tidak memakai jilbab. Mereka membuka auratnya di depan lelaki lain. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat yang salah satunya dengan cara berjilbab. Ukuran seberapa besar orang berjilbab yang paling mendasar di dalam Al-Quran Allah berfirman:
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
Dengan pakaian tersebut, menjadi simbol para perempuan menjadi mudah dikenali. Dengan dikenali, perempuan menjadi tidak disakiti. (QS Al-Ahzab: 59)
Pada masa Rasulullah ﷺ, para perempuan memakai pakaian dengan busana dan sikap yang menunjukkan kesediaannya jika diajak untuk berlaku senonoh. Dengan ayat tersebut Alah memberikan aturan berpakaian yang menunjukkan apabila diajak ke arah mesum pasti tidak mau. Waktu itu, jilbab merupakan simbol pakaian yang menunjukkan pemakainya pasti enggan diajak berlaku asusila.
Meskipun begitu, tidak bisa disalahartikan apabila ada perempuan berjilbab namun masih tersenyum genit yang mengekspresikan kemauannya jika diajak melakukan hal buruk lalu hukumnya menjadi boleh. Hal ini lah yang menjadikan aturan bahwa jilbab itu wajib, sedangkan senyum genit yang mengarah kesediaan untuk bertindak asusila itu tetap haram. Tidak berarti jika sudah berjilbab menjadi bebas.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا (32) [الأحزاب: 32]
Istri-istri Nabi diberi pesan oleh Allah supaya jangan seperti perempuan-perempuan yang jika di depan lelaki lain, bicaranya dengan bahasa sopan dan halus. Sebagian lelaki, apabila mendapati perempuan yang bicaranya lembut, bisa membangkitkan pikiran yang ngeres (negatif), maka perlu dihindari. Karena hal tersebut bisa menimbulkan persepsi bahwa perempuan tersebut mau apabila diajak untuk berbuat asusila.
Sebaiknya, bagi para perempuan cantik, apabila ada lelaki lain bertanya, jangan dijawab dengan sopan, namun jawablah dengan bahasa kasar, supaya tidak menimbulkan persepsi bahwa dia adalah perempuan murahan. Hal ini sesuai ayat di atas:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
Artinya: “Jangan sopan saat berbicara!”
Demikian filosofinya jilbab dan kesopanan. Apabila perempuan mudah sopan santun kepada semua lelaki, akan menimbulkan:
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Orang yang otaknya ngeres, kesopanan perempuan akan diterjemahkan sebagai kesediaannya untuk berbuat serong.
Sopan santun mempunyai konteks. Senyum adalah ibadah tentunya juga mempunyai konteks.
Dalam kesempatan lain, Gus Baha menjelaskan bahwa pengikut ahlussunnah di Indonesia di bidang fiqih mengikuti madzhab empat, tidak hanya satu madzhab. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Orang Indonesia secara umum mengikuti madzhab Syafi’i, tapi dalam madzhab Syafi’iyyah mewajibkan menutup muka bagi perempuan di luar shalat. Sedangkan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan berjilbab tanpa menutup wajah mengikuti madzhab Hanafi. Sehingga muslimah Indonesia, dalam hal menutup aurat wajah, mengikuti madzhab Hanafi. Wallahu a’lam.