Abdullah bin Ubay bin Salul adalah orang terpandang di Madinah. Andai saja Kanjeng Nabi Muhammad SAW tidak datang ke Madinah, tentulah dia yang akan muncul sebagai pemimpin utama di antara kabilah-kabilah Madinah.
Hadirnya Kanjeng Nabi SAW pelan demi pelan menggeser pengaruh Abdullah bin Ubay. Atas kondisi tersebut, ia diam-diam memusuhi Kanjeng Nabi SAW. Musuh dalam selimut, seselimut tapi memusuhi.
Putranya adalah salah satu sahabat Kanjeng Nabi . Beliau SAW sangat menyayangi putra Abdullah bin Ubay itu, dan di antara wujud kasih sayang itu ialah dengan selalu menjaga hubungan agar baik-baik saja dengan Abdullah bin Ubay pula.
Tatkala Abdullah bin Ubay meninggal, putranya memohon kepada Kanjeng Nabi SAW agar menghadiahkan serbannya untuk dijadikan selimut bagi jenazah. Kanjeng Nabi SAW pun menghadiahkannya. Lebih lanjut, putra almarhum memohon Kanjeng Nabi SAW berkenan menshalati dan mendoakan almarhum. Kanjeng Nabi SAW pun bangun dan bergegas….
Sayyidina Umar mengingatkan Kanjeng Nabi Saw sampai memegang baju beliau SAW agar tidak melakukan hal itu. Ayat 80 dari surat at-Taubah jadi rujukan Sayyidina Umar (cek ya, jangan malas).
Kanjeng Nabi SAW menjawab kepada Sayyidina Umar, “Aku akan beristighfar kepadanya lebih dari 70 kali….”
Dalam surat al-Munafiqun ayat 6 yang isinya sekandung dengan at-Taubah 80, kiranya dipahami oleh Kanjeng Nabi SAW bukan sebagai larangan mutlak. Sikap Beliau SAW yang mengatakan hendak mengirimkan bacaan istighafar lebih dari 70 kali kepada almarhum bersumber dari agungnya kasih sayang dan welas asih Beliau SAW kepada siapa pun, termasuk Abdullah bin Ubay, serta wujud penghormatan dan kasih sayang kepada putranya yang memohonkan hal tersebut kepada Beliau SAW.
Kanjeng Nabi SAW pun menshalatinya memenuhi permohonan putranya. Rupanya, langkah dan pemahaman Kanjeng Nabi SAW dalam hal ini tidak diijinkan oleh Allah SWT. Maka diturunkanlah ayat 84 dari at-Taubah yang terang-terang melarang Kanjeng Nabi SAW (dan umat mukmin) untuk menshalati dan mendoakan kaum begituan (dengan momen khusus melalui wafatnya Abdullah bin Ubay).
Atas dasar itulah, tak kurang dari mufassir besar senacam Rasyid Ridha, apalagi Sayyid Quthub, menyatakan tegas keharaman menshalatkan dan mendoakan orang-orang yang munafik dan kafir. Bahkan Ibnu ‘Asyur yang biasanya sangat kontekstualis dalam takwil-takwilnya juga mengamini sikap begitu.
Yang buat saya menarik sekali ialah pandangan tafsir Prof. Quraish Shihab di sini. Kalian akan terkesima oleh kedetailan dan kedalamnya membaca ayat, dalil, khazanah, dan konteks kekinian-kekitaan. Terkesima belum? (Haza jelazz belommm)
Beliau di satu sisi mengamini pandangan tersebut (bukti berpegang teguhnya beliau dalam menakwil kepada pandangan umum, jumhur, dan konteks turunnya ayat, serta dalam banyak contoh ialah ketakdhiman beliau kepada pengertian teks asali), lalu meneruskan dengan menukil hadis riwayat Imam Bukhari yang cukup terkenal bahwa Kanjeng Nabi SAW berdiri ketika ada jenazah Yahudi lewat. Sahabat bertanya dengan perasaan ganjil, mengapa Engkau berdiri kepadanya, bukankah dia Yahudi? Beliau SAW menjawab: bukankah dia juga manusia?
Prof. Quraish lalu berargumen di sisi lainnya bahwa riwayat hadis tersebut dapat dipahami sebagai kebolehan bagi seorang mukmin untuk menghadiri prosesi pemakaman orang yang tidak beriman sekalipun, atau mengunjungi kuburannya untuk suatu keperluan dan sebagainya, dengan tidak perlu melakukan shalat dan doa khusus kepadanya.
Tidak melakukan shalat dan doa kepada almarhum dimaksudkan sebagai kepatuhan seorang mukmin kepada perintah Allah Swt sesuai ayat 84 at-Taubah itu. Toh sangat jelas teksnya jikapun seseorang melakukannya, maka amaliah tersebut tidak ada nilainya di mata Allah SWT, malah dikhawatirkan menjadi pelencengan bagi kepatuhan rohani tadi.
Adapun jika terdapat orang yang tetap ikut menghadiri proses penguburannya, atau menghadiri acara ziarah, dan sejenisnya, semata dimaksudkan sebagai amal maslahat lahiriah sosial antarsesama manusia (mungkin setetanggaan atau sesahabatan), yang dulu juga dilakukan oleh Kanjeng Nabi SAW berdasar hadis Bukhari tadi. Sikap ini kiranya logis dan patut untuk kita terima pada arah maslahat relasi sosial majemuk kita, dan di waktu sama ia tidak melaju melampaui batas apa pun pada arah keterangan dalil-dalil, seperti at-Taubah 84 tersebut.
Piye, sudah terpukau, to?