Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkenal sebagai murid Ibnu Taymiyyah al-Harrani. Dalam berbagai karya-karya besarnya seperti Hadil Arwah, Ahkam Ahli Dzimmah, I’lam Muwaqqi’in dan lain-lainya, Ibnu Qayyim tampak seolah selalu mengikuti pandangan-pandangan gurunya tersebut. Mungkin bisa dikatakan bahwa pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tidak lain adalah pandangan Ibnu Taymiyyah.
Hubungan kedekatan antara murid dan guru menjadikan keduanya sangat identik. Kendati demikian, orisinalitas pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tak perlu juga dipertanyakan. Ada satu karya khusus tentang tasawwuf dimana Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sangat tidak bergantung pada pandangan gurunya tersebut. Karya tersebut berjudul Madarij as-Salikin fi Tafsir Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in. Dalam karyanya ini, ada ulasan menarik tentang wara. Wara secara literal berarti sikap berhati-hati dalam menjalani kehidupan.
Namun dalam Madarij as-Salikin, wara adalah langkah pertama dalam perjalanan mendekati Allah. Wara di satu sisi merupakan langkah kecil bagi yang sudah menjadi kekasih Allah namun di sisi lain merupakan langkah terberat bagi para pemula perjalanan menuju kepada-Nya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij as-Salikin membagi sikap wara ke dalam tiga tahapan: pertama, tahap meninggalkan kejelekan; kedua, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan karena khawatir jatuh pada yang dilarang; ketiga, tahap menjauhi segala apa saja yang membawa kita kepada selain Allah.
Sikap wara yang dibagi menjadi tiga tahapan di atas sebenarnya bisa dirangkum melalui tahapan pertama, yakni meninggalkan kejelekan atau sesuatu yang menuju ke arah kejelekan. Menurut pandangan tasawwuf, setiap kejelekan yang kita lakukan akan selalu berbekas dalam hati. Kejelekan tersebut akan menjadi noda hitam yang mengotori hati kita. Semakin banyak kita melakukan kejelekan, semakin kotor pula hati kita dibuatnya. Lebih parahnya lagi, mungkin hati kita malah menjadi kotoran itu sendiri.
Dalam tahapan pertama wara ini, menjauhi perbuatan jelek berarti bisa dikatakan juga sebagai usaha untuk menjaga dan memelihara diri. Menjauhi perbuatan jelek sebenarnya mencegah diri kita dari kerusakan fisik dan mental.
Di samping sebagai bentuk pemeliharaan diri, usaha menjauhi kejelekan akan membantu kita untuk meningkatkan kebaikan. Pada saat yang sama, dengan melakukan banyak dosa, kebaikan dalam diri kita akan hilang. Rajin bangun malam, senang membaca Alquran, sering menghadiri majelis taklim merupakan kebaikan-kebaikan. Kebaikan ini akan hilang jika disertai dengan perbuatan buruk seperti menggunjing orang lain, memfitnah dan mencaci maki dan seterusnya. Intinya kebaikan individual akan hilang karena keburukan sosial dan amalan kita akan sirna jika amalan tersebut tidak membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.