Kalau ada Nabi yang diketahui mampu menggunakan rasionya untuk mematahkan argumen kemusyrikan maka itu adalah Ibrahim alaihisalam.
Yang paling terkenal adalah ketika Nabi Ibrahim memporandakan patung sesembahan di istana Namrud dan menyisakan satu berhala paling besar.
Alih-alih mengaku, ketika disidang oleh algojo kerajaan Nabi Ibrahim justru menunjuk salah satu berhala terbesar sebagai biang kehancuran sesembahan Namrud yang lebih kecil.
Seketika, orang-orang pun menginsyafi bahwa selama ini mereka telah ditipu oleh Namrud. Awan gelap kemusrikan pun ditebas oleh logika Nabi Ibrahim.
Kisah yang kedua adalah ketika Nabi Ibrahim membungkam kesombongan Namrud dengan tantangan untuk menerbitkan matahari dari Barat ke Timur. Hal ini terekam dalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 258.
Ilustrasi singkat di atas menjadi penting untuk dihadirkan kembali ketika pelajaran logika belakangan ini dianggap sebagai fakultas yang mengancam ketauhidan.
Padahal, kalau mau lebih jernih lagi membaca dinamika sejarah peradaban umat Islam, ilmu logika atau mafhum disebut mantiq justru menjadi pilar penting dalam menopang kebertuhanan.
Azis Anwar Fachrudin dalam buku Mantiq: Catatan Ngaji Logika Al-Ghazali menjelaskan secara baik bagaimana logika memiliki elan vital dengan aspek ketauhidan dan keberislaman.
Sebagaimana terterang lewat judul bukunya, rujukan utama yang digunakan oleh penulis adalah kitab Mi’yar al-‘Ilm fil Mantiq karangan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau lebih masyhur dikenal sebagai Imam Al-Ghazali.
Buku ini terbagi menjadi tiga bab; ‘Pendahuluan‘, ‘Mantiq dalam Teori‘, dan ‘Mantiq dalam Terapan‘. Setiap topik dari masing-masing bab dibahas dalam satu esai yang ringkas dan padat.
Berbagai contoh bertaburan sebagai pelengkap dari penjelasan. Penulis juga memberikan lebih dari satu contoh sebagai alternatif penjelasan. Contoh-contoh yang dihadirkan pun dekat dengan keseharian, sehingga membuat buku ini menjadi bacaan yang tepat bagi siapa pun yang ingin mempelajari Ilmu Mantiq.
Pada bab pertama, penulis mengungkapkan dua alasan mengapa Ilmu Mantiq penting untuk dikaji-pelajari. Pertama, fungsinya sebagai rancang-bangun gramatikal Bahasa Arab, atau dalam tradisi pesantren disebut sebagai ilmu alat.
Selama ini, ilmu alat yang umum dipelajari hanyalah Nahwu–Shorof. Padahal, khazanah klasik Islam turut menyebut Mantiq sebagai ilmu alat.
“Mantiq (logika), bersama dengan Nahwu–Shorof (gramatika) serta Balaghah (retorika), membentuk apa yang disebut sebagai trivium. Mengacu pada abad pertengahan Eropa, trivium merupakan tiga dari tujuh ilmu yang terhimpun dalam liberal arts. Empat ilmu yang lain (quadrivium) adalah matematika, musik, geometri, dan astronomi,” tulisnya (hlm. 15).
Kedua, Mantiq berfungsi untuk menelaah semua jenis pengetahuan rasional. Dalam pengertian ini mantiq menjadi landasan bersama dalam berargumentasi dengan siapa saja.
Logika menjadi ‘bahasa’ yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang dari latar belakang apa pun. Khusus bagi muslim, Ilmu Mantiq-lah yang membuat aqidah diterima oleh akal sehat.
Kelak, di bagian akhir buku, penulis menerjemahkan beberapa paragraf dari kitab Tahdzib Syarh as-Sanusiyyah: Umm al-Barahin untuk menunjukkan betapa mantiq lekat sekali dengan aqidah/teologi.
Tentu, belajar Mantiq tidak semata sebagai bekal adu mulut dengan orang lain. Setelah membaca buku ini, saya merasa cara berpikir saya lebih tertata dan memahami duduk perkara persoalan menjadi lebih mudah. Ibarat melakukan pemrograman, ada flowchart yang merunut pikiran dari start hingga stop.
Dinamika (Ilmu) Logika
Bagaimana perjalanan Ilmu Mantiq dari Yunani ke Dunia Islam?
Upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan oleh Azis Anwar dengan mendaras kembali proyek pembukuan dan penerjemahan buku-buku filsafat di masa Dinasti Abbasiyah.
Katanya, logika formal Aristotelian yang terkumpul dalam Organon, pada abad ke-3 M diberi pengantar oleh Porphyry. Pengantar yang ditulis Porphyry ini diberi judul Isagoge. Kelak, karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi “isaghuji”.
Pada abad pertengahan, para sarjana muslim banyak menulis kitab dalam bidang ini menggunakan judul isaghuji. Salah satunya adalah Isaghuji fil Mantiq karangan Al-Abhari (13 M). Karya Al-Abhari ini menjadi landasan Al-Akhdhari (16 M) untuk menyusun nadzom As-Sullam Al-Munawraq yang hari ini banyak dipelajari di pesantren-pesantren.
Baitul Hikmah menjadi pusat penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke bahasa Arab. Pusat studi ini mencapai puncaknya di masa Khalifah Al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid yang bertakhta pada 813-833 M.
Nah, sosok penerjemah Isagoge yang disebut di atas adalah Ibn al-Muqaffa’, salah satu translator utama di Perpus Baitul Hikmah.
Meluruskan Tuduhan Miring
Seringkali, Al-Ghazali dituding sebagai penyebab kemunduran Filsafat dalam dunia Islam. Benarkah demikian?
Umumnya, sarjana peneliti Al-Ghazali membagi periodisasi karya-karyanya menjadi tiga. Mi’yar al-‘Ilm, kitab yang menjadi rujukan utama buku ini, ditulis oleh Al-Ghazali pada periode pertama, yaitu ketika menjadi guru besar Madrasah Nizhamiyyah Baghdad di usia 32-37 tahun.
Pada masa ini pula, Al-Ghazali menulis kitab Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah.
Sejumlah sejarawan menyatakan bahwa Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) memiliki substansi yang mirip dengan Danesh-Name Alai, karya utama Ibnu Sina di bidang Filsafat yang ditulis dalam bahasa Persia.
Maqashid berisi pemaparan mengenai tiga ilmu: logika (mantiq), filsafat alam (thabi’iyyat), dan metafisika (ilahiyyat). Di bagian akhir, Al-Ghazali menuliskan bahwa kitab ini merupakan pengantar bagi Tahafut.
Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) berisi argumentasi yang menolak sejumlah pandangan filsuf muslim Aristotelian seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Perlu digarisbawahi bilamana Al-Ghazali menyusun Tahafut menggunakan metode filsafat dan istilah-istilah para filsuf Aristotelian itu sendiri.
Al-Ghazali menyatakan secara terang dalam Tahafut bahwa ia memiliki masalah dengan metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari filsafat alam (thabi’iyyat) Ibnu Sina, bukan dengan cabang filsafat lain, apalagi keseluruhan filsafat.
Dalam Mi’yar al-‘Ilm (Standar Ilmu), Al-Ghazali menguraikan logika yang mendasari cara berpikirnya dalam Tahafut, juga menjelaskan istilah-istilah teknis di dalamnya.
Mi’yar sendiri pada intinya mengandung uraian logika Aristotelian, di mana sumber pengetahuan Al-Ghazali tidak dapat dilepaskan dari karya-karya Ibnu Sina.
Dengan demikian, Al-Ghazali tidak benar-benar menolak filsafat. Bahkan, ia berkontribusi besar memasukkan logika (mantiq) menjadi bagian dari ‘ortodoksi’: semula terasing di pinggiran, lantas menjadi bagian dari arus utama keilmuan Islam.
Bagi saya, buku Mantiq: Catatan Ngaji Logika Al-Ghazali memberikan gambaran umum dari Ilmu Mantiq yang dengannya kita bisa mengolah-sampaikan suatu informasi atau realitas secara logis.
Memang, buku ini belum memuat semua yang dipelajari dalam Ilmu Mantiq maupun yang ditulis Al-Ghazali dalam kitab Mi’yar. Akan tetapi, penulis memberikan banyak referensi bagi yang ingin mempelajari Ilmu Mantiq lebih lanjut maupun diskursus di sekitarnya. Dan, ini menjadi bargaining yang bakal bikin Anda geleng-geleng ketika membacanya.