Siang itu, dalam perjalanan kereta api menuju Jakarta, saya menyaksikan sebuah kejadian yang cukup unik. Mungkin tidak bagi kebanyakan warga sekitar Jakarta. Kejadian yang sesungguhnya lumrah, sederhana, dan rutin.
Di tengah sesak-jubal penumpang dan hilir mudik pedagang asongan serta penjaja koran, seorang lelaki muda berbaju takwa putih dan berpeci itu muncul sambil terus melantunkan beberapa lagu shalawatan. Sebungkus kantong plastik bekas permen pun tak ketinggalan dibawa. Kantong plastik itu dijadikan penadah uang receh sebagai imbalan dari jerih payah menghibur orang. Untuk itu ia disebut “pengamen”.
Meski tak semerdu suara Hadad Alwi ataupun Opick, dua pelantun shalawat dan religi ternama itu, puluhan tangan tapak memasukan beberapa uang recehan ke dalam kantong pembawa rizkinya. Setelah dirasa cukup, pemuda itupun berlalu.
Tak lama, seorang lelaki tunanetra setengah baya pun beraksi seperti sang pemuda tadi. Bedanya, lagu-lagi yang dibawakannya berirama padang pasir atau gambus ala Indonesia. Tujuannya mungkin sama: mendapat hasil yang cukup untuk menjalani hidupnya yang pas-pasan. Tak lebih dari itu.
Lantas di mana letak menariknya pemandangan yang dilakonkan kedua pengamen itu? Ya… ketika kita bertanya mengapa keduanya memilih lagu-lagu shalawatan dan berpenampilan seperti itu? Tidak lagu-lagu pop dengan penampilan yang biasanya dikerjakan para pengamen ibu kota yang semakin hari semakin menjamur? Keduanya pasti punya pertimbangan tertentu. Memilih lagu-lagu yang dapat lebih mudah mendapatkan uang.
Saya berasumsi, boleh jadi salah satu pertimbangannya lantaran shalawatan atau lagu-lagu padang pasir ini dianggapnya sebagai simbol Islam. Sebuah simbol agama yang bagi mayoritas masyarakat muslim –dan mungkin mayoritas para penumpang kereta itu—dianggap penting dan sakral. Simbol yang memiliki energi untuk mengikat emosi keagamaan seseorang. Bahkan bisa menjadi pertimbangan apakah seseorang memberi uang recehan atau tidak untuk sang pengamen.
Lantas, haramkah hukumnya jika keduanya memakai simbol Islam demi mendapatkan uang receh? Apalagi tak semua penumpang dalam kereta api itu beragama Islam. Suka atau tidak, toh kenyataan ini selalu terjadi di masyarakat kita. Kedua pengamen ini, mungkin hanya satu dari sekian ribu orang yang juga menggunakan simbol-simbol sekaligus memaknainya.
Sebut saja para pelantun shalawat nasyid, atau lagu-lagu kerohanian yang sering nongol di layar televisi. Bukankah mereka menggunakan simbol-simbol Islam? Diinginkan atau tidak, toh mereka mendapatkan keuntungan dari profesinya itu. Baik dalam bentuk materi maupun popularitas. Lalu apa bedanya dengan dua pengamen tadi? Dalam beberapa hal, tak ada bedanya. Mungkin yang berbeda hanya soal tempat dan kesempatan.
Jadi soal halal-haram dalam hal ini bukan persoalan pokok. Justru letaknya pada apakah benar jika simbol itu hanya boleh dimaknai, dipakai, dan ditentukan oleh satu kelompok tertentu? Tidak untuk yang lain.
Apakah simbol agama berupa lagu-lagu atau pakaian yang disebut islami itu hanya boleh dimiliki para penyanyi berkelas, tidak bagi sang pengamen? Atau tertutup hanya untuk yang beridentiats Islam? Padahal soal memberi atau tidak, bukan dilihat dari apakah kita beragama Islam atau non-Islam. Tetapi sejauh mana kita menilai apakah mereka itu membutuhkan uluran tangan orang lain atau tidak.