Sebelum pesawat kami terbang ke Madinah, pembimbing umroh kami, Ust Ahmad, memberi wejangan terakhir ke para jemaah: “Pokoknya saat di Madinah dan Mekah kita harus mengamalkan fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Biasanya di sana akan ada saja orang-orang yang berbuat baik dan memudahkan urusan kita nantinya.” Saya manggut-manggut mendengar penjelasannya.
Sesampainya di Madinah, aktivitas ibadah sudah dimulai sejak pukul 02.00 dini hari. Kami memulainya dengan melakukan solat tahajud berjamaah, menyusuri kompleks masjid, dan diakhiri dengan ziarah ke makam Nabi sambil menunggu adzan Subuh.
Selepas solat Subuh, saya kebelet kencing yang sesungguhnya sudah saya tahan-tahan sejak rakaat pertama. Saya langsung bergegas mencari WC terdekat. Setelah beberapa menit mondar-mandir nyari toilet, akhirnya saya melihat dari kejauhan ada 1 WC dengan pintu setengah terbuka yang menandakan nggak ada orang di dalamnya.
Saya mempercepat langkah kaki saya sambil berpikir dan bertanya dalam hati: kenapa WC sebelahnya masih ada dua orang yang mengantre jika ada WC yang kosong? Jika WC yang kosong tersebut memang nggak ada orang kenapa mereka yang mengantre nggak langsung masuk saja?
Saya penasaran lalu menghampiri dan bertanya ke orang Arab yang sedang mengantre.
“Apa toilet nomor 324 ini kosong dan bisa digunakan?” tanya saya.
“Ya bisa. Kosong kok,” jawab orang Arab.
“Kamu nggak mau pakai duluan aja? Kan saya datangnya belakangan,” ujar saya.
“Kamu duluan aja deh. Saya nggak buru-buru. Saya nunggu toilet 323 saja. Kamu sepertinya lebih perlu,” katanya sambil senyum manis dan mengulurkan tangannya ke pintu toilet.
Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dan langsung teringat pesan pembimbing umroh kami. “Oh mungkin ini yang dimaksud berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Alhamdulillah. Ternyata benar adanya,” batin saya.
Saya membuka pelan-pelan pintu toilet 324. Setelah dicek memang benar sudah nggak ada orang di dalam toilet. Nggak ada yang salah dari perkataan orang Arab tersebut. Namun, yang nggak dikatakannya adalah tai pengguna toilet sebelumnya masih ada di dalam toilet. Kotoran itu belum disiram dan berceceran ke mana-mana.
“Ya Allah, apa salahku? Apa dosaku?” saya bergumam.
Di detik itu jujur saya bingung harus berbuat apa. Terjadi konflik batin dalam diri saya. Saya berdebat dengan diri saya sendiri dan merasa terjebak di sebuah persimpangan. Satu sisi saya ingin langsung ke luar saja dan mencari toilet lainnya yang lebih bersih. Tapi, saya berpikir nanti jadi merasa ikut berdosa jika pengguna toilet lainnya yang sedang kebelet-kebeletnya — mendapatkan “surprise” semacam itu dan harus mengantri lama lagi karena toilet penuh.
Di sisi lain, saya teringat kembali pesan Ust Ahmad yang mengutip potongan dari Al Quran Surat Al Baqarah ayat 148: fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Apakah ini saat yang tepat untuk mengamalkannya? Bukannya sejak SD guru kita juga suka mengajarkan kalau kebersihan itu sebagian dari iman?
Di situasi yang pelik seperti ini, saya teringat sebuah frasa yang terkenal dalam novel Hamlet karya William Shakespeare: to be or not to be. Hamlet merenung di tengah situasi yang sangat dilematis: apakah ia harus terus hidup atau menjadi (“to be”) atau mengakhiri saja hidupnya atau tidak menjadi (“or not to be”). Seperti halnya Hamlet, lantas keputusan mana yang harus saya ambil? Jalan mana yang harus saya tempuh? Berbuat jahat atau kebaikan?
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memilih untuk mengamalkan fastabiqul khairat di toilet Masjid Nabawi. Saya siram dan bersihkan kotoran orang yang berceceran itu. Setelah toilet bersih, saya buka celana pangsi saya perlahan dan air kencing berhamburan mengucur deras. Syurrrrrrrrr.
Saya percaya ada jutaan kebaikan di Madinah, tapi bagi saya kebaikan yang paling elegan dan berkesan adalah membersihkan kotoran orang lain yang nggak kita kenal dengan penuh rasa ikhlas dan syukur.
Mungkin Goenawan Mohamad benar: hidup adalah riwayat keputusan-keputusan. Pertanyaannya: apakah membersihkan kotoran orang merupakan sebuah keputusan yang baik yang ganjaran pahalanya juga akan berlipat ganda seperti halnya saya solat di Masjid Nabawi?
Wallahu a’lam bishawab.