Pengalaman Saya Menghadiri Nawruz dan Cerita Menarik Bagaimana Umat Baha’i Memaknai Puasa

Pengalaman Saya Menghadiri Nawruz dan Cerita Menarik Bagaimana Umat Baha’i Memaknai Puasa

Dari umat Baha’i, saya belajar bahwa puasa adalah hijab bagi nafsu. Jadi sebetulnya tak perlu ada intensi untuk merazia dan menutup satu per satu warung yang beroperasi pada siang hari.

Pengalaman Saya Menghadiri Nawruz dan Cerita Menarik Bagaimana Umat Baha’i Memaknai Puasa

“Islam itu pantang mengikuti acara agama lain,” ucap salah seorang muslimah paruh baya ketika acara perayaan Nawruz di salah satu kediaman umat Baha’i di Klaten sedang berlangsung.

Kebetulan saya berkesempatan hadiri di sana. Ibu-ibu paruh baya itu kemudian melanjutkan bahwa niatnya menghadiri acara itu adalah untuk silaturahmi.

“Kami ke sini diundang niatnya untuk silaturahmi. Kami tidak tahu Nawruz itu apa,” ujarnya kepada Rohmah (nama sengaja saya samarkan), sang tuan rumah yang notabene adalah umat Baha’i.

Ibu Rohmah sendiri berasal dari keturunan agama Baha’i di Makassar, Sulawesi Selatan. Salah satu daerah yang dikunjungi oleh pembawa agama Baha’i, yakni Sayyid Mustafa Rumi dan Jamal Effendi yang bermula pada tahun 1880-an di Indonesia.

“Baha’i sendiri percaya pada kesatuan umat manusia. Kita kan berasal dari Tuhan yang sama”, kata suami dari Ibu Rohmah ketika memberi sambutan Nawruz.

Memang, di satu sisi agama Baha’i di Indonesia masih invisible. Mereka seolah tidak terlihat kendatipun keberadaan pengikutnya cukup eksis dan membaur di tengah masyarakat seantero Indonesia.

Membicarakan Baha’i, mungkin ingatan kolektif orang Indonesia hanya terbatas pada statement Menteri Agama (Gus) Yaqut Cholil Qoumas 2021 lalu. Ucapan “Selamat Nawruz” Gus Yaqut kepada umat Baha’i di Indonesia waktu itu membuah geger, dan sontak membuat publik Indonesia heboh dan (juga mungkin) tersadar akan keberadaan umat Baha’i di Indonesia.

Selain itu, tahun 2014 silam, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag merilis penelitian tentang agama Baha’i yang menyebut bahwa agama Baha’i adalah agama independen dan universal serta bukan bagian dari sekte/aliran agama lain, termasuk Islam.

“Kata Bersama” adalah Kunci

“Justru karena tidak tahu, ibu sekalian saya undang ke sini untuk merayakan Nawruz bersama-sama,” jawab Ibu Rohmah, merespons pernyataan ibu-ibu sebelumnya.

“Ibu kan tahunya saya seorang (yang menganut agama) Baha’i, tapi mungkin tidak tahu apa itu Baha’i. Nah, di forum seperti ini ibu sekalian bisa tahu,” tambah Ibu Rohmah.

Sekilas saya mengamati bagaimana Ibu Rohmah begitu telaten meladeni satu per satu pertanyaan yang datang padanya, khususnya ketika memang ibu-ibu yang hadir pada waktu itu sama sekali belum pernah mendengar—apalagi mengetahui apa itu Baha’i, terlebih serangkaian hari-hari besar dan hari raya keagamaannya.

Bagi saya sendiri, Nawruz adalah Halal bi Halal-nya umat Baha’i. Jadi, ia semacam open House begitulah.

“Memang tiap 21 Maret kami merayakan yang disebut Nawruz, ibu-ibu,” ucap Ibu Rohmah melengkapi jawabannya.

Di titik ini, saya menyadari perlunya “Kata Bersama” atau a common word dalam percakapan seperti yang ditunjukkan Ibu Rohmah dan ibu paruh baya tersebut.

Dialog lintas-tradisi iman yang berbeda dengan koleksi perbendaharaan kata kita yang masing-masing terbatas, kita memerlukan Kata Bersama untuk sama-sama membangun pemahaman di atas perbedaan-perbedaan kita.

Tanpa hal tersebut, yang dipupuk hanyalah rasa saling curiga—mengira banyu, air dan water adalah hal yang berbeda.

Percakapan kita hanya di sana dan tak pernah beranjak di komunitas masyarakat yang majemuk dengan ragam puspa warna keimanan seperti Indonesia.

Tak ayal, cara kita beragama, sekadar berhenti pada keterbatasan bahasa atau kata-kata yang kita miliki di komunitas agama kita masing-masing. Makin ironis lagi jika kita justru terpenjara di sana dan tak pernah keluar menelusuri bahasa yang lain, bahasa yang berbeda dengan bahasa kita.

Ibu paruh baya tersebut mungkin saja punya keterbatasan dalam memahami cara Ibu Rohmah menerangkan tentang Baha’i dan juga Nawruz.

Tapi memberi pemahaman bahwa Nawruz tak ubahnya seperti Halal bi Halal—seperti yang selama ini dilakoni juga ibu paruh baya tersebut sedikit membantunya untuk memahami konteks Nawruz.

Yang demikian itu saya kira akan lebih signifikan ketimbang sekadar mengatakan bahwa “pantang Islam menghadiri acara atau perayaan agama lain” yang berpotensi untuk menebalkan tembok pemisah, sedangkan keduanya notabene adalah tetangga satu RW.

Puasa sebagai “Simbol”

Percakapan saya dengan Ibu Rohmah pun berlanjut. Beliau menjelaskan bagaimana sebelum Tahun Baru atau Nawruz diawali oleh puasa di bulan terakhir dalam pengkalenderan agama Baha’i. Dan, puncaknya adalah Nawruz ini.

“Semacam Lebaran Idul Fitri kalau di tradisi Islam,” ungkap Ibu Rohmah mencoba mencari paralelisasi dengan saya.

“Bedanya, kami (umat Baha’i) dengan umat Islam adalah puasa kami cuma sembilan belas hari, karena dalam tiap bulan kalender Baha’i hanya terdapat sembilan belas hari,” tambahnya.

Menurut Ibu Rohmah, umumnya tradisi agama itu memiliki puasanya sendiri.

“Puasa itu cuma simbol menahan diri,” kata Ibu Rohmah kepada para tamu yang hadir di kediamannya pada waktu itu.

Sejenak saya tertegun mendengar istilah “simbol” yang dikatakan oleh Ibu Rohmah. Rasanya dalam tradisi Islam, menyebut puasa sebagai “simbol” mungkin jarang disebut, atau bahkan mungkin nyaris tidak terdengar tradisi berpuasa umat Muslim dan menyebut puasa itu simbol menahan diri.

Saya lalu sejenak berpikir bahwa mungkin saja ada benarnya ungkapan tersebut. Tapi selain itu, saya kira puasa itu tak ubahnya adalah hijab umat Muslim.

Ya, puasa adalah hijab yang menutupi warung-warung yang sedang buka di siang hari. Jadi tak perlu ada intensi untuk merazia dan menutup satu per satu warung yang beroperasi pada siang hari, sebab kita sedang memakai hijab, yakni berpuasa.

Hijab itulah yang akan menutupi nafsu yang tak pernah kenyang untuk terus-menerus dipehuni. Nafsu yang tak ubahnya kuda liar yang bisa menabrak kemana-mana. Hijab yang mestinya membawa pada kesadaran diri. Sehingga dari kesadaran diri ini menjelma pada kesadaran sosial dan juga kesadaran ekologis.

Atau mungkin umat Islam yang sedang menunaikan puasa Ramadan ini ingin dihargai karena berpuasa atau ingin menjadi mereka yang menghargai orang lain yang tidak berpuasa?

Selamat berpuasa dan selamat menemukan jawabannya.